HIDUPKATOLIK.com – Setiap manusia diciptakan unik di mata Tuhan. Kitalah yang sering membedakan.
Alkisah di dalam laut hiduplah Raja Paus dan Ratu Buntel dari Kerajaan Banyu Biru. Saat itu, seluruh masyarakat kerajaan sedang menantikan kelahiran seorang putri. Baik raja dan ratu mengharapkan memiliki putri yang pintar dan bijaksana agar dapat meneruskan takhta kerajaan. Ahli waris Kerajaan Banyu Biru pun lahir. Bayi mungil itu diberi nama Putri Amelia. Namun saat Putri Amelia beranjak dewasa, seluruh harapan itu pupus.
Oleh gurunya, Putri Amelia diarahkan untuk bergabung ke sekolah luar biasa. Alasannya, meskipun Putri Amelia dikenal sebagai pribadi yang rajin, ia kerap kesulitan mengikuti pelajaran. Apa yang ia pelajari hari ini, sudah tak berbekas lagi keesokan hari. Dengan kata lain, Putri Amelia didiagnosa menderita difabilitas inteligensi berat. Untuk itu, Putri Amelia harus berpisah dengan orangtuanya guna melanjutkan pendidikan. Disana Amelia bersahabat dengan sekelompok anak yang dikenal dengan Genk Percit.
Di tengah kemasyugalan berpisah dari putri semata wayangnya datanglah Alien. Tamu asing di bawah komado Genorimo ini berniat menyerang Kerajaan Banyu Biru. Seluruh kerajaan dicekam ketakutan. Mereka kehilangan harapan dan meminta pertolongan Dewa Neptunus. Doa mereka pun didengar. Akan tetapi, bala bantuan itu datang dari sekelompok anak yang dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Apakah mereka bisa menyelamatkan Kerajaan Banyu Biru?.
Kisah tersebut merupakan sepenggal cerita dari pementasan Drama Musikal “Amelia dan Alien” yang diperankan oleh penyandang tunagrahita asuhan Yayasan Tri Asih, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Sabtu, 16/3.
Pertunjukan tersebut melibatkan 43 anak penyandang tunagrahita dan 20 pendamping. Mereka mulai berlatih sejak September dan secara intensif bulan Februari. Tiga minggu sekali selama dua jam, anak-anak tunagrahita diajak untuk memantapkan pertunjukkan. Bagi mereka menghafal naskah adalah perkara sulit karena memiliki memori jangka pendek.
Sutradara drama, Maria Dewi Arjani, menuturkan, tema ini diangkat sebagai bentuk kepedulian akan minimnya cerita anak-anak. Selain itu, kisah ini juga bertujuan untuk menggugah hati masyarakat agar peduli terhadap perjuangan penyandang tunagrahita dan memberikan mereka kesempatan.“Kisah ini merangkum harapan, kekecewaan, kepasrahan, dan kebangkitan dari masalah,” imbuhnya.
Tak ketinggalan, Uskup Keuskupan Agung Jakarta, Mgr Ignatius Suharyo turut hadir menonton karya kasih ini. Mgr Suharyo menyampaikan apresiasinya kepada Yayasan Tri Asih yang selama 50 tahun setia melayani tunagrahita. “Martabat manusia apapun keadannya harus dihormati. Semoga kita semua yang hadir di dalam drama musikal ini tidak sekadar menonton pertunjukkan, tapi terketuk hati untuk terus berusaha memuliakan martabat manusia dan belajar dari semua yang dikerjakan oleh Yayasan Tri Asih untuk terlibat mempunyai perhatian dan berbela rasa terhadap penyandang tunagrahita,” ungkap Uskup Suharyo.
Pastor Andang Binawan SJ yang menjadi bintang tamu memerankan tokoh Dewa Kebaikan menyampaikan, “Mencintai mereka yang layak dicintai itu biasa dan manusiawi, tapi jika kita mau mengikuti Yesus Kristus maka mencintai mereka yang kurang layak dicintai membuat iman kita bertumbuh dan berbuah lebih manis dan lebih baik lagi. Tri Asih telah memberi kesaksian itu,” pungkas ahli hukum Gereja alumnus The Catholic University of America ini.
Felicia Permata Hanggu
HIDUP NO.12 2019, 24 Maret 2019