HIDUPKATOLIK.com – Presiden Joko Widodo tahun 2016 mengungkapkan rencana pemerintah mengembangkan pembangunan 10 prioritas destinasi wisata di Indonesia. Salah satunya kawasan Danau Toba, Sumatera Utara. Kawasan dan telaga raksasa dengan luas 1.130 km persegi dan danau vulkanik terbesar di dunia ini akan disulap menyerupai Monako di Eropa, Monaco of Asia! Untuk merealisasikan impian itu, pemerintah membentuk Badan Otoritas Danau Toba (BODT).
Rencana besar ini disambut antusias oleh pemerintah setempat, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan delapan Pemerintah Kabupaten yang bersentuhan langsung dengan rencana ini. Namun, tidak demikian halnya dengan organisasi non pemerintah. Terbelah. Ada yang gembira alias pro, namun ada pula yang bernada sumbang. Muncul harapan dan kekhawatiran. Harapan akan dampak pembangunan yang akan menimbulkan multiplier effect pada turbin perekonomian penduduk setempat. Kekhawatiran terbesar adalah tergerusnya nilai-nilai lokal (local wisdom) yang selama ini masih diyakini sebagai tiang penyangka kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Hedonisme dan konsumersime serta merta akan merangsek ke semua level.
Bagaimana dengan sikap Gereja, dalam hal ini Keuskupan Agung Medan? Uskup Agung Medan Mgr Anicetus B. Sinaga OFMCap, saat itu, dalam sejumlah kesempatan menyampaikan sikap dan pandangan. Dalam sebuah seminar di Jakarta misalnya, Mgr Sinaga menegaskan, perlunya semua pihak mengantisipasi dampak positif, dan, terutama yang berpotensi mengakibatkan pengaruh negatif (buruk) jangka panjang.
Salah satu yang disinyalir Uskup Sinaga, memberi dukungan penuh pada upaya menjunjung tinggi norma agama dan budaya. Konkretnya, adanya Zona Sakrokultural dengan mendukung Pemerintah Kabupaten Samosir yang melarang pembangunan dalam bentuk apapun di wilayah sakral Batak di Pusuk Buhit, Ronggur Nihuta, situ-situs sakral daerah seperti di Pangaribuan, Palipi. “Demi hormat kepada nenek moyang seluruh suku Batak dalam perbagai marga, yang menganggap diri berasal dari desa di Pusuk Buhit, dan menjaga kelestarian fasinositas pariwisata Danau Toba, lokasi ini harus dinyatakan pemerintah sebagai zona sakral dan pusat religiositas kultural Batak. Segala kegiatan profan modern tidak pantas merambah zona sakral ini.” Ia pun meminta penguatan desa adat, penataan lokasi wisata modern, memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup (ekologi).
Gereja Katolik telah hadir di kawasan Danau Toba sejak ratusan tahun lalu. Gereja Katolik memberi tempat pada tradisi kultural Batak sebagai tradisi yang mengandung nilai-nilai yang tidak bertentangan dengan katolisitas, semisal falsafah Dalihan Natolu. Tak jarang pula ditemukan gereja berarsitektur Batak (Toba, Simalungun, dan Karo). Minimal menyisipkan elemen budaya dalam bangunan gereja. Begitu pula dengan lagu dan musik (gondang) Batak, masuk dalam “ruang dalam” Gereja sebagai persekutuan umat beriman. Maka, jika Gereja mengartikulasikan sikap kritisnya terhadap megaproyek di atas, misalnya, adalah karena Gereja harus menjalankan peran kenabiannya di tengah gonjang-ganjing dunia modern ini.
HIDUP NO.13 2019, 31 Maret 2019