HIDUPKATOLIK.com – Dalam hidup menggereja, bukan etnis yang ditonjolkan tapi kekatolikan kita.
Balon diikat berjejer pada tali yang panjangnya tujuh meter di lorong samping kiri Gereja Paroki Kristus Raja, Medan, Sumatera Utara atau lebih dikenal Paroki Nusantara pada Selasa, 5/2. Aroma Nusantara kian terasa kala puluhan anak bersiap siaga sembari menengadah ke puluhan balon. Sementara Pastor Paroki, Joanes Yandhie Buntoro CDD
mulai memegang erat ujung tali. Dalam hitungan ketiga ia menarik tali itu. Satu per satu balon-balon itu pecah dan uang-uang kertas yang ada di dalamnya berjatuhan. Hal ini membuat anak-anak girang dan merebut isi balon tersebut.
Pastor Yandhie begitu akrab disapa menjelaskan, bahwa ketika Perayaan Imlek berlangsung, biasanya ada tradisi pembakaran mercon (Bao Zhu). Menurutnya, tradisi tersebut bisa dijalankan akan tetapi mempertimbangkan aspek keamanan. Memecahkan balon merupakan alternatif pengganti mercon ini. Memecahkan balon sangat praktis namun memiliki aspek seni dan keindahan.
Permainan ini pun memiliki pesan yang kuat. Uang yang jatuh dari atas menjadi simbol rezeki yang turun dari langit. Rezeki tersebut merupakan pemberian orangtua terhadap anaknya. Meskipun demikian, hal ini tidak serta merta mengajarkan bahwa uang adalah segalanya. Pemberian yang utama adalah pendidikan terhadap anak. “Saya pikir, ini sejalan dengan Arah Dasar Pastoral Keuskupan Agung Medan (KAM) yang mengutamakan keluarga. Hal yang utama adalah bagaimana orangtua mengajarkan yang baik kepada anaknya termasuk menggunakan uang,” ujarnya.
Refleksi Imlek pun juga sama. Imlek secara utuh merupakan tradisi kekeluargaan. Imlek itu sebenarnya merayakan musim semi yang datang. Musim hujan telah berlalu dan kini musim semi telah tiba, membawa keberuntungan dan rezeki bagi setiap orang. “Saat itu semua anggota keluarga berkumpul, menikmati makan dan minum bersama, saling memaafkan, membuang kesalahan masa lalu, melunasi hutang dan mempererat hubungan,” ujar Pastor Yandhi lagi.
Didirikan pada 25 November 1934 oleh Pastor Marcellinus Simons, kini paroki ini telah berkembang menjadi 16 wilayah dengan berbagai keragaman di dalamnya, baik suku, ras maupun budaya. Sebagian besar umat paroki adalah keturunan Tionghoa.
Pastor Yandhie mengungkapkan, dengan porsi umat seperti itu, Imlek dijalankan secara meriah. Mulai dari liturgi yang menggunakan bahasa Mandarin, lagu hingga doa. “Ini sudah menjadi tradisi yang dilaksanakan setiap tahun dan melibatkan seluruh umat, tidak hanya yang keturunan Tionghoa,” jelasnya.
Pastor Donatus Jensi CDD menambahkan, perayaan ini memiki pesan persaudaraan dan kekeluargaan yang kuat. Ini bukan lagi soal budaya Tionghoa tapi menjadi perayaan bersama karena melibatkan mereka yang berasal dari budaya lain seperti Batak, Nias, Jawa, Timur dan lain sebagainya. “Ini bukanlah sektaraniasme. Ini adalah perayaan persaudaraan,”tuturnya.
“Dalam hidup menggereja, bukan etnis yang ditonjolkan tapi kekatolikan kita. Umat yang dari berbagai suku bangsa bersatu berziarah menuju Kristus,” imbuhnya.
Willy Matrona (Medan)
HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019