HIDUPKATOLIK.com – Memasuki tahun-tahun elektoral, tren banyak tokoh menulis biografi untuk mendongkrak citra dan simpati publik. Glorifikasi personal yang terkadang mengarah narsisme menjadi merek dagang jenis buku-buku yang ramai mewarnai toko-toko buku di Indonesia.
Hal yang berbeda ditemukan dalam buku otobiografi Uskup Agung Emeritus Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap. Buku ini tidak menggiring pembacanya untuk berdecak-kagum atas capaian bersifat profan di seputar pangkat, jabatan, harta dan kuasa. Sebaliknya, otobiografi ini lebih menyentuh alam sadar dan empati kita. Dari sana buku ini mencoba mengenali lika-liku, makna, dan hakikat kehidupan seseorang, yang dulunya menganut kepercayaan animistik lalu berhasil merebut hati Takhta Suci. Ia lalu menjadi pemimpin Gereja bagi setengah juta lebih umat Gereja Katolik di Sumatera Utara dan Aceh.
Karenanya, buku ini menjadi semacam “oase” untuk memahami hakikat kehidupan di atas prinsip kesederhanaan dan suka cita. Mgr Anicetus menunjukkan kepada pembaca bagaimana mengenali kembali esensi penting roh kepemimpinan sebagai penyerahan diri kepada karya Ilahi. Ia benar-benar pembawa cahaya iman dalam keluarga. Kedua orangtuanya dan keluarga besarnya pun ikut masuk Katolik. Dua orang dari keluarganya juga lalu menjadi imam.
Parmalim atau agama animistik Suku Batak adalah awal kehidupan Mgr Anicetus. Dia lahir di alam kemiskinan agraris pedesaan Sumatera Utara yang bertopang pada sektor pertanian subsisten. Ia lalu dibaptis dengan upacara mistik animistis, yang sarat dengan takhyul dan praktik perdukunan. Di samping petani gurem, ayahnya sendiri bernama “Malim”, artinya “Imam”. Ia adalah pemimpin ritual animisme parmalim. Ibunya, sebagaimana dia akui sendiri, adalah dukun yang meyakini kekuatan supranatural alam lingkungan fisik di sekitar pemukiman desanya.
Uniknya, Mgr Anicetus tidak lantas membuang jauh-jauh sistem kepercayaan tradisional animistik parmalim itu, di saat dia berjumpa dengan peradaban baru dan Gereja Katolik. Usai ditahbiskan menjadi pastor Kapusin dan kemudian mengikuti program S2 Studi Teologi Moral di Roma (Alfonsiana) Lisensiat (1972), ia justrumengabadikan dasar ajaran agama asli suku Batak parmalim itu ke dalam karya ilmiahnya. Saat menyelesaikan studi doktoral di bidang Teologi Dogmatik di Catholic University of Louvan, Belgia (1975), ia menulis disertasi berjudul “The High God of the Toba Batak: Trancendence and Immanence (1981).
Buku yang terdiri lima bagian ini bukan hanya berbicara mengenai biodata Uskup Mgr Anicetus. Buku ini menggambarkan sejarah lahir dan berkembanganya Gereja Katolik di Sumatera Utara. Awalnya, hanya puluhan gereja yang dibangun misionaris dari Belanda dan dengan jumlah umat ratusan. Kini jumlah itu menjadi 650 ribu jiwa dan tersebar di 65 paroki, ratusan gereja, ratusan pusat pendidikan di semua level hingga universitas. “Benih” itu juga merasuk dalam puluhan rumah sakit dan ribuan Credit Union. Lalu, gedung Catholic Center yang besar berdiri di pusat Kota Medan adalah ide dan salah satu legacy Mgr Sinaga.
Semua perkembangan mengesankan itu tertulis dengan rapi di dalam buku yang enak dibaca. Gaya penulisan tampil sangat sederhana, menampilkan Mgr Anicetus yang periang.
Buku ini juga melukiskan, sebuah babak terpenting Gereja di KAM mulai dari inkulturasi, gerakan ekumenis, reorganisasi hierarki keuskupan dengan pembentukan kevikepan, dan restrukturisasi pelayanan gereja dengan memberi peran kepada umat. Selain itu, estafet kepemimpinan hierarki Gereja Katolik di Sumatera Utara dari misionaris Belanda ke pastor-pastor pribumi dari aneka kongregasi juga menjadi salah satu babak cerita.
Judul : Dari Imamat Parmalim ke Imamat Katolik
Penyunting : Dr Salaman Habeahan
Penerbit : Obor, Jakarta Cet 1 2019
Tebal : 414
Kastorius Sinaga
HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019