HIDUPKATOLIK.com – Usianya sudah kepala tujuh. Selama lima belas tahun, biarawati yang sudah berusia senja ini berusaha keras membahagiakan opa oma di panti wreda.
“Hapa impianmu?” tanya pendamping retret. “Andaikata saya diberi kesempatan, saya ingin sekali merintis sebuah panti jompo yang banyak pepohonan, teduh, dan sepi,” jawab Suster In dalam sebuah retret yang didampingi Romo Gerardus Koelman SJ. Jawaban biarawati Kongregasi Putri Maria dan Yosef itu bukan mimpi di siang bolong. Kala itu, ia masih berkarya di Yayasan Sosial Soegijapranata (YSS) Semarang, Jawa Tengah. Ia juga kerap melayani opa oma di panti jompo. “Saya sudah jatuh cinta dengan opa oma,” kenangnya.
Impian itu pun disampaikan biarawati bernama lengkap Suster Veronica Indrawati PMY kepada sang pimpinan. Impian itu tak bertepuk sebelah tangan. Kongregasi PMY sudah pernah membicarakan hal itu dengan Kuria Keuskupan Purwokerto.
Tuhan punya rencana. Keuskupan Purwokerto dengan sejumlah donatur memang sedang merencanakan pendirian panti wreda. Juni 2004, Suster In purnakarya dari YSS. Ia pun langsung diberi mandat merintis panti jompo di Kaliori, Banyumas, Jawa Tengah. Lokasinya hanya sepelemparan batu dari kompleks Gua Maria Kaliori. “Saya senang sekali dengan tugas ini,” ujar kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah.
Ke Kaliori
Satu bulan kemudian, Suster In sudah menginjakkan kaki di bumi Kaliori. Ia segera melihat lahan bakal didirikan panti jompo. Ia kaget, lantaran kontur tanahnya miring dan masih banyak semak belukar serta pohon-pohon besar. Meskipun orang baru, Suster In langsung terlibat dalam upaya mendirikan panti jompo. Tak perlu waktu lama, Oktober 2004, batu pertama panti wreda diletakkan.
“Banyak sekali tantangan ketika awal, apalagi saya kan orang baru di sini ( Kaliori-Red). Tapi puji Tuhan, banyak sekali yang ikut membantu mendirikan panti ini,” ujar biar- awati yang lahir pada 13 Maret 1948 ini.
Dua tahun berselang, tepatnya 10 Juni 2006, Panti Wreda Catur Nugraha diresmikan. Nama “Catur Nugraha” disematkan untuk mematri empat pilar pendiri panti wreda ini, yakni Keuskupan Purwokerto, tarekat imam Oblat Maria Imakulata (OMI), Kongregasi PMY, dan para donatur.
Mula-mula hanya ada lima pasien yang menjadi penghuni panti jompo ini. Suster In mesti keluar masuk lingkungan dan kampung untuk mencari pasien. Suster yang mengucap kaul kekal pada 1977 ini selalu menerapkan metode; datang, melihat, lalu jatuh cinta. Artinya, Suster In senantiasa mengunjungi pihak keluarga sebelum opa atau omanya dititipkan di panti jompo. “Ini menyenangkan sekali, karena saya bisa langsung melihat situasi keluarga. Dengan begitu, kami bisa mengerti kondisi kesehatan, ekonomi, dan yang lainnya.”
Seperti yang dilakukan Suster In akhir Januari lalu. Ia pergi ke Purbalingga, Jawa Tengah untuk melihat kondisi seorang calon pasien. Setelah sampai di lokasi, Suster In melihat kondisinya tak memenuhi syarat dibawa ke panti jompo. Sang calon pasien tinggal di sebuah kamar kecil. Pakaian kotor menumpuk di sudut-sudut kamar. Popoknya sudah penuh dengan kotoran. “Baunya minta ampun,” cerita Suster In. Tak ada seorang pun yang mau masuk ke dalam kamar itu. Namun hati perempuan yang mahir menjahit ini tergerak. Ia memutuskan untuk menerimanya sebagai pasien di Panti Wreda Catur Nugraha.
Suster In sudah hampir 15 tahun berkarya di Panti Wreda Catur Nugraha. Panti jompo di bawah naungan Yayasan Wahyo Bawono, Keuskupan Purwokerto ini sudah melayani 269 orang lanjut usia. Suster In juga menjadi saksi bagi wafatnya 167 penghuni panti.
Saat ini, Suster In ditemani Suster Magda len Dwi Apriliyanti PMY merawat 38 lansia. Mereka dibantu 22 karyawan dan tiga sukarelawan. Tak semua penghuni panti jompo ini Katolik. Dari 38 orang, hanya 18 orang yang beragama Katolik. “Kami memang tidak hanya melayani umat Katolik. Panti ini terbuka bagi siapa pun,” tutur Suster In kala ditemui Senin (4/2).
Bagi Suster In ada lima hal yang mesti diperhatikan dalam mengelola panti jompo, yakni opa oma penghuni panti, gedung panti, perawat, karyawan, dan donatur. Semua itu mesti dikelola dan diperhatikan saban hari.
Biaya di panti jompo ini cukup murah. Bagi pasien dikenakan biaya Rp 750 ribu per bulan atau per hari Rp 25 ribu. Selain untuk biaya konsumsi, dana itu juga untuk ongkos cuci dan perawatan kesehatan. Meski sudah amat murah, Suster In mengakui, banyak keluarga pasien yang tidak mampu membayar. “Tapi ada juga yang memang tidak mau membayar.”
Situasi ini membuat Suster In mesti memutar otak agar operasional panti wreda dapat terus berjalan. Donasi menjadi solusi. Suster In pun menggalang aneka bentuk donasi. Selain berupa dana, Suster In juga menggandeng beberapa penjual makanan ringan. “Saya minta kepada mereka agar sisa snack yang tak terjual diberikan kepada saya, untuk makanan tambahan bagi opa oma,” ujar Suster In. Jadi, setiap sore dan malam, ada karyawan yang mengambil sisa-sisa snack itu, lalu dimasukkan ke dalam lemari pendingin agar awet. Baru esok harinya, snack itu dihangatkan lagi, lantas disantap bersama-sama.
Dari sejak awal berkarya di panti jompo ini, Suster In telah mematrikan niat ingin membahagiakan opa oma. Maka, ketika pengunjung masuk gerbang panti akan langsung melihat sebuah tulisan, “Bahagiakanlah dalam usia senjaku”. “Banyak di antara pasien di panti ini yang menderita saat masuk. Nah, saya ingin panti ini membuat mereka bahagia di sisa usia mereka,” ucap Suster In.
Saya Menangis
Jalan menuju bahagia tak selalu penuh senyum dan tawa. Ia kadang harus berbalut air mata. Sabtu, awal Februari lalu, seorang penghuni panti meninggal. Mula-mula, kaki sang pasien yang sedang mengikuti Misa mengeluarkan darah. Matanya memang sudah tak bisa melihat. Ia nampak sangat capek duduk di kursi rodanya. Suster Magdalen pun segera
membawa sang pasien ke ruang perawatan. Setelah lukanya dibersihkan, sang pasien minta tiduran, tidak melanjutkan Misa. “Setelah Misa, opa itu sudah tidak ada,” cerita Suster In.
Suster In sigap menghubungi keluarga. Ponakannya berhasil dikontak. Si ponakan mengatakan, agar jenazah sang opa diurus sampai dikremasi. “Katanya, ponakan ini mau datang sore hari,” tutur Suster In. Dalam tempo satu jam, jenazah sudah siap. Tapi kemudian, si ponakan mengatakan bahwa dia tidak bisa datang, dan abu jenazah sang opa yang akan esok hari oleh kakaknya, lalu segera dilarung. Akhirnya, Suster In ditemani Suster Magdalen dan satu prodiakon mengantar jenazah itu tempat kremasi.
“Saya sedih. Saya menangis.” Suster In berhenti berkata. “Saat sudah menjadi jenazah, opa itu seperti sampah, dibuang begitu saja oleh keluarganya,” tutur Suster In sembari menyeka air yang menggenang di ujung pelupuk matanya.
Kisah seperti ini kerap dihadapi Suster In. Ia juga kerapkali kena tipu. “Opa atau omanya dititipkan di panti ini. Katanya mau rutin membayar. Tapi hanya bulan-bulan pertama membayar, setelah itu menghilang, tak bisa dihubungi lagi,” ceritanya. Suster In hanya bisa mengelus dada beberapa kali saat berbagi kisah menyedihkan itu.
Membahagiakan
Kini, suster yang telah sepuh ini berusaha tidak terlampau banyak melakukan aktivitas di panti. Meski demikian, ia masih mengunjungi panti setiap hari. Semua urusan mulai dilimpahkan kepada Suster Magdalen yang diharapkan akan meneruskan karya ini. “Saya tentu akan pensiun dan karya ini mesti diteruskan oleh para suster yang muda,” harap Suster In.
Namun Suster In masih mengenggam harapan agar ada dokter sukarelawan yang bersedia secara rutin memeriksa kesehatan opa oma di panti. Ia juga berharap, agar perawat dan karyawan panti wreda ini melayani opa oma seperti orangtua sendiri.
Mesti berjalan dibantu tongkat, Suster In tetap setia melayani opa oma. “Saya mencintai mereka yang telah rapuh seperti mencintai diri sendiri,” ujarnya.
Y. Prayogo
HIDUP NO.08 2019, 24 Februari 2019