HIDUPKATOLIK.com – Hujan deras. Udara dingin. Kedua kaki merapat. Tangan terkatup di dada. Angin semakin ribut. Alang-alang atap rumah beterbangan. Percikan air membasahi dinding bambu. Kayu api semuanya basah. Babi terus berteriak. Kambing ikut mengembik. Ayam semakin merapatkan bulu dan sayapnya.
“Kristian, ambil kayu bakar di luar,” pinta mama sembari meniup api di tungku.
Aku bangkit dari kursi kayu. Badanku terasa dingin. Aku tak mau basah kuyup karena hujan. Daun pisang yang kuletakkan di dekat pintu dapur bisa melindungiku dari hujan. Tanpa menunggu lama aku bergegas mengambil kayu bakar. Dengan penuh kekuatan, aku melawan dingin yang semakin melemahkan badan.
“Letakkan di atas para-para, biar kering!” Teriak mama sambil tunduk mencari biji padi yang belum menjadi beras.
Badanku pendek. Tinggi para-para membuatku sulit menggapainya. Aku mengambil jerigen jumbo yang setengah bagiannya masih terisi air. Kayu-kayu basah itu kuletakkan di atas tungku api. Air mendidih. Mama mengambil dua gelas kaca yang sudah terisi gula dan kopi. Uap air tampak mengepul di udara.
“Nikmat sekali kopi ini. Udara dingin akan menyerah ketika aku menyeruputnya. Apa lagi jika ditemani jagung goreng dan lombok jeruk,” ungkapku setengah berimajinasi.
Air di periuk masih banyak. Mama mengambil cerek lalu menuangkan air dingin di jerigen kecil. Kemudian dia mengisi air panas ke dalam cerek itu. Dengan tergesa-gesa dia mengambil nyiru di atas gentong air. Beras yang sudah ditapis dimasukan ke dalam periuk. Dengan cekatan mama mengambil irus di sela dinding rumah yang terbuat dari bambu. Dengan tenaga yang tersisa, dia mengaduk beras di dalam periuk.
“Kristian, saat tutupan periuknya terbuka, kamu mengaduk beras dalam periuk dengan irus. Nah, kalau airnya sudah kering, kamu harus meratakan bara api biar nasinya matang,” pesan mama.
Dia mengambil kedua gelas kopi dan menuju ruang tengah. Luasnya tidak berbeda dengan dapur. Dua menit berselang gelembung-gelembung putih menjatuhkan tutupan periuk nasi.
“Prakkk ,” tutupan periuk membentur tungku api.
“Cepat keluarkan kayu bakar dan ratakan bara api biar nasinya matang!” Teriak mama dari ruang tengah.
Teriakannya mengagetkanku. Suara mama dan bunyi guntur tiada berbeda. Maklumlah bahwa budaya telah membentukku seperti itu. Suara besar bernada sopran selalu menghiasi hari-hari hidupku. Karakterku dibentuk oleh orangtua dan alam. Inilah mengapa aku dikenal keras di mata teman-teman.
Alam yang keras menjadi mama kedua yang selalu merawatku. Hal ini akan bertahan turun-temurun sampai anak cucu nanti. Apakah faktor keturunan juga memiliki pengaruh besar dalam hidupku? Aku sedikit ragu dengan sikap yang dipengaruhi oleh gen dalam keluarga.
Banyak sahabatku lahir dari keluarga yang tergolong keras. Namun, mereka memiliki sikap dan karakter yang berbeda dari keluarga. Mereka lembut hati dan tidak sombong.
***
Hujan semakin deras. Angin pun tak kalah ganas. Waktu menunjukkan pukul 18.30 WITA. Dari bilik bambu kulihat mama sedang asyik menyeruput kopi. Dia meletakkan dua gelap kopi di atas meja kecil. Gelas yang satu tidak disentuhnya. Aku tahu dia sedang menunggu seseorang.
Matanya redup saat kilat mulai menggila. Dia menarik nafas dalam-dalam. Ada beban di kepalanya. Dia gelisah dalam penantian. Sesekali mama bangkit dan membuka kain jendela. Harapannya sia-sia. Dia menanti seseorang untuk menemaninya menyeruput kopi malam ini.
“Kristian, kalau nasinya sudah matang kamu bisa makan duluan,” ungkapnya sambil duduk di kursi.
“Iya, Mama sebentar lagi. Aku belum lapar,” balasku.
Inilah kebiasaan keluargaku. Kami tidak pernah makan bersama. Waktu makan ditentukan oleh perut masing-masing. Kebiasaan makan bersama selama hidupku bisa dihitung dengan jari. Aku jarang merasakan indahnya hidup berkeluarga saat makan bersama. Kesibukan pribadi menciptakan jarak di antara kami. Aku sungguh merasakan itu.
Terkadang aku merasa cemburu dengan teman-teman. Mereka selalu mengisahkan kehidupan keluarga dengan sukacita. Aku terpukul ketika mendengar kisah hidup mereka. Kapan aku bisa makan bersama keluarga? Kapan aku bisa menerima ikan dan udang dari tangan bapa? Aku rindu menuangkan air untuk bapa dan mama. Aku rindu melayani mereka mengambil nasi di periuk.
Aku ingin mempersiapkan makanan untuk bapa dan mama. Aku mau melihat senyum indah di wajah mama. Aku mau menuangkan air untuk bapa. Aku punya mimpi akan semua ini. Tuhan, apakah keinginan ini hanya menjadi nyata dalam mimpi? Beri aku jalan, Tuhan. Aku mau merasakan indahnya kebersamaan saat makan bersama keluarga.
***
Lampu pelita di dapur sudah mulai redup. Sebentar lagi akan mati. Aku melihat mama terus menyandarkan badannya di dinding rumah. Kopinya hampir habis. Gelas yang satu belum tersentuh. Uapnya tidak terlihat lagi dan mulai dingin.
“Minyak tanah, mama simpan di samping lemari piring. Masukan ke dalam pelita biar bisa menyala lagi,” tukas mama dengan nada yang lembut.
“Iya, Mama,” balasku sambil berjalan menuju samping lemari piring.
Suara mama kembali terdengar, “Apakah kamu sudah menghafal doa-doa harian. Ingat sebentar lagi Komuni Pertama?”
Dengan penuh percaya diri aku menjawab, “Sudah Mama. Aku mau lulus dalam ujian doa. Aku rindu menerima Komuni Pertama. Aku ingin menyatu dengan Yesus. Aku yakin Dia akan menjadi penolong dalam hidupku. Kerinduan pada Yesus membakar semangatku untuk menguasai semua doa harian. Namun, sampai sekarang aku sulit menghafal doa iman dan harapan, mama.”
“Nak, kamu harus berusaha untuk menguasainya. Mama juga susah menghafal kedua doa itu. Hingga sekarang mama masih belum bisa menghafalnya. Kristian, satu hal yang perlu kamu renungkan. Dalam iman dan harapan, kasih Tuhan akan menjadi nyata. Kamu harus percaya. Mama yakin kamu pasti bisa,” nasihat mama sambil berjalan menuju kamar tidur.
***
Hujan masih berguyur membasahi bumi. Aku terus menghafal doa iman dan harapan. Tiba-tiba hatiku berdetak kencang. Suara gemuruh terdengar dari sungai yang ada di kampungku. Sungai itu meluap dan menghancurkan jembatan. Waktu menunjukkan pukul 20.00 WITA. Karena hujan, warga kampung sudah lelap bersama dewi malam.
“Bangun. Bangun. Jangan tidur. Bangun. Banjir datang. Cepat lari. Selamatkan diri kalian. Ingat anggota keluarga. Jangan membawa barang-barang. Cepat lari. Banjir bandang menuju kampung kita,” teriak seorang tua.
Aku mengenal suara itu. Ya, suara yang tidak kudengar selama sehari ini. Aku mendengar suara itu saat dia mengucapkan selamat tidur malam tadi.
“Itu suara bapa,” yakinku dalam hati.
Tanpa menunggu lama, aku membangunkan mama. Suara banjir semakin mendekat. Aku mendengar seorang mengetuk pintu rumah dengan keras.
“Kristian, bangun. Cepat lari. Banjir sudah mendekat. Mama di mana? Cepat bangunkan mama!” teriak Bapa.
Setelah membuka pintu rumah, aku mendapati bapa dengan wajah yang pucat. Dia telah menyelamatkan seluruh warga di kampungku. Dia berlari keliling kampung untuk membangunkan warga yang sedang tidur. Aku bangga padanya. Dalam hati aku bersyukur bisa memiliki bapa yang berjiwa pahlawan. Tanpa bapa, warga kampung mungkin tidak selamat. Dia sungguh pahlawan malam ini.
Suaranya membelah kesunyian malam dan melebihi gemuruh banjir. Semua warga kampung mengungsi ke tempat yang aman. Kini kami bisa menjalani hidup dengan baik. Mimpiku untuk makan bersama keluarga akhirnya terwujud. Setiap hari kami selalu makan bersama. Aku bisa melayani bapa dan mama. Aku sangat bahagia.
“Tuhan, aku bersyukur atas semua rencana-Mu. Kuasa-Mu sungguh nyata dalam hidup kami. Terima kasih atas kebahagiaan makan bersama ini. Engkau telah memenuhi mimpiku. Kini aku percaya bahwa dalam iman dan harapan, kasih-Mu menjadi nyata,” ungkapku dalam doa makan bersama bapa dan mama.
Tuhan menyempurnakan kebahagiaanku saat aku menerima-Nya dalam hatiku. Aku lulus dalam doa dan bisa menerima komuni pertama. Aku mendapat doa “Aku Percaya”. Doa yang aku takuti bukan menjadi penghalang bagi Yesus tinggal dalam diriku. Aku semakin percaya bahwa rencana Tuhan sungguh indah. Saat menerima Komuni Pertama, Tuhan mengundang bapa, mama dan aku untuk makan bersama-Nya. Kini kebahagiaanku telah disempurnakan dalam Tuhan.
Iman, harapan dan kasih membuatku percaya bahwa Tuhan memiliki kado indah untuk keluargaku. Tuhan selalu mengundang kami untuk masuk dalam perjamuan-Nya, yakni Ekaristi Kudus. Kami selalu mengundang Tuhan untuk masuk dalam perjamuan keluarga kami setiap hari.
Aten Dhey CMF
HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019