HIDUPKATOLIK.com – Mereka itu layaknya mutiara dalam palung laut yang gelap. Mereka memiliki kemampuan yang luar biasa.
Braille merupakan huruf timbul yang terdiri dari enam titik. Dengan ini, penyandang tunanetra dapat membaca. Sedangkan untuk menulis braille, seseorang membutuhkan alat tulis yang disebut reglet dan pen. Media inilah yang menjembatani penyandang tunanetra dengan dunia luar. Karena tak mampu melihat, mereka memanfaatkan indra peraba untuk menulis dan membaca.
Di SLB/A Karya Murni Medan, Sumatera Utara, braille sudah menjadi bagian dari keseharian. Dalam keterbatasan, setiap penyandang tunanetra yang bersekolah di tempat ini terus berjuang. Anak-anak yang saling berpegangan tangan saat memasuki ruang kelas menjadi bukti begitu besar semangat mereka.
Sr Christine Pasaribu, KSSY mengungkapkan, berkat braille penyandang tunanetra dapat mengenal dunia. “Mereka benar-benar anak yang luar biasa, masing-masing mereka memiliki bakat dan talenta yang terpendam. Tugas kita sebagai pembimbing adalah membidani kelahiran bakat-bakat mereka tersebut,” ungkapnya.
Gadis Ponikem
SLB/A Karya Murni berada di bawah naungan Yayasan Karya Murni. Awalnya, pada zaman kemerdekaan, ada seorang tentara Belanda yang berjumpa dengan seorang tunanetra bernama Ponikem. Tentara itu sontak membawa anak usia 13 tahun itu ke Susteran Santo Yosef, Jl. Hayam Wuruk Medan. Ia lalu menyerahkan anak itu kepada Sr Ildefonsia van de Watering KSSY.
Sejak itu, Ponikem diasuh oleh para suster. Sr Christine menceritakan, para suster kala itu memutuskan untuk mengasuh dan membimbing anak itu. Mereka tidak ingin, Ponikem terus terkungkung dalam tabir kegelapan. “Para suster ingin agar nasibnya berubah dan bertumbuh seperti anak-anak yang lain. Kelak ia tidak bergantung pada orang lain. Agar hidupnya lebih bernilai dan memiliki arti,” ujarnya.
Terinspirasi dari Ponikem, para suster berencana membuka sebuah sekolah bagi anak-anak penyandang tunanetra. Seiring waktu, para suster menampung penyandang tunanetra. Mereka semula hidup terlunta-lunta di sekitar Kota Medan. Setelah itu, menyusul dua orang yang datang. Dari sini lah, sekolah untuk penyandang tunanetra mulai berkembang meskipun belum berlangsung secar resmi.
Pada 26 Agustus 1953 dibentuklah badan Santa Oda Stichting. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1964, dibuka sekolah untuk anak-anak tunarungu atau bisu tuli. Sekolah ini kemudian menjadi Yayasan Karya Murni yang hingga saat ini tetap fokus pada penyandang tunarungu dan tunanetra. Hingga kini, yayasan ini dikelola oleh Kongregasi Suster Santu Yosef. Yayasan Karya Murni mengelola pendidikkan SLB-A Karya Murni, SLB-B Karya Murni, serta asrama Karya Murni.
Rintangan
Anak-anak yang belajar di SLB/A dan B Karya Murni semuanya merupakan anak-anak yang perlu mendapat perhatian khusus. Sr Christin menerangkan, banyak kesulitan yang dihadapi. Kesulitan yang paling utama adalah mendapatkan guru bagi anak-anak. Menurutnya, begitu banyak guru yang datang, tapi hanya bertahan sebentar saja. Mereka sangat kesulitan untuk mengajar anak-anak disabilitas ini. “Kebanyakan dari mereka tidak betah dan kurang sabar. Akhirnya mereka memutuskan untuk mengundurkan diri,” ujarnya.
Kendala lain yang dihadapi adalah kebutuhan dana pendidikan yang sangat tinggi, terutama kebutuhan belajar dan mengajar. Untuk mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang berkualitas, lanjut Sr Christin, fasilitas pendidikan juga harus yang memadai. “Alat-alat pembelajaran mereka sangat mahal. Meskipun demikian selalu saja ada penyelenggaraan ilahi,” ujarnya.
Kurikulum untuk anak-anak SLB merupakan kurikulum khusus. Kepala Sekolah SLB Karya Murni Sr Andreani Mada KSSY menjelaskan, buku dan peralatan pengajaran juga tidak bisa sembarangan. Mereka harus mendapat perhatian ekstra agar nantinya dapat dengan mudah untuk menyesuaikan diri di sekolah umum.
Untuk mendidik anak-anak penyandang disabilitas, tentu diperlukan perhatian yang labih juga. Guru-guru yang mengajar, mereka harus bekerja berkali-kali lipat. Dalam hal ini, fasilitas yang memadai akan mempermudah interaksi antara guru dan murid.
Sr Andreani mengungkapkan, anak-anak di SLB sebenarnya punya kemampuan yang luar biasa. Mereka juga sama seperti anak di luar sana, bahkan ada beberapa yang kemampuannya jauh dari anak-anak normal. Ia menegaskan, apabila kemampuan mereka tidak diasah karena fasilitas kurang, maka ini sangat disayangkan.
Masyarakat umum juga belum banyak yang memahami dan mengerti tentang anak-anak disabilitas, baik di lingkungan masyarakat, bahkan juga di lingkup Gereja sendiri. Sr Andreani mencontohkan, saat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi, mereka sulit diterima di beberapa universitas. Masih belum cukup, mereka juga ditolak saat melamar pekerjaan di perusahaan-perusaaan baik pemerintah maupun sewasta.
Menurutnya, pemerintah harus menggenjot perhatian terhadap anak-anak luar biasa ini. Peraturan Pemerintah melalui UU No 8 tahun 2016 sudah ada. Akan tetapi dalam pelaksanaanya di lapangan hanya terjadi di beberapa tempat di Inonesia seperti Jakarta misalnya. “Itu yang sedang kami perjuangkan. Minimal terutama untuk menjaga hak mereka,” tegas Sr Andreani.
Mengasah Talenta
Pelatihan dan pendidikan diberikan kepada mereka agar talenta mereka terasah. Pelatihan tersebut seperti pertukangan kayu, salon kecantikan, pijat, hingga keterampilan menjahit. Sr Andreani mengungkapkan, mereka juga berbakat dalam bidang musik, menulis, hingga olahraga. “Mereka seperti mutiara dalam laut yang gelap, mereka memiliki potensi dan bakat-bakat yang luar biasa,” tuturnya.
Sr Andreani menceritakan, anak asuhannya Gabby Ridearni Saragih, pernah menyabet juara pertama Lomba Nyanyi Solo Tingkat Nasional. “Waktu itu perlombaanya di Bangka Belitung. Anak itu juga memenangkan lomba cipta lagu secara online yang berlangsung di Yogyakarta,” ujarnya.
Selain itu ada juga yang menjadi juara Tingkat Nasional Lomba Tolak Peluru yakni Elavanta Tarigan kelas IX. Lomba ini diselenggarakan oleh National Paralympic Committee (MPC). Di bidang olah raga, Fransiskus Bale Zebua menyabet emas tingkat nasional pada kejuaraan lari 100 meter yang diselenggarakan MPC tahun 2017 di Solo, Jawa Tengah.
Sr Andreani menambahkan, Tuhan telah menganugerakan mereka talenta yang luar biasa. Tuhan menyembunyikan karya-karya besar di dalam anak-anak yang memiliki keterbatasan. Oleh karena itu, ia meminta setiap orang perlakukan mereka dengan baik pula.
Willy Matrona
HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019