HIDUPKATOLIK.com – Cinta Tuhan mengalahkan mata pedang. Cinta Tuhan meruntuhkan tembok kebencian. Cinta Tuhan menyatukan yang berbeda. Pesan Maria Bartolomea Bagnesi untuk keluarga Kristen.
Sebuah cerita mengejutkan datang dari Maria Bartolomea Bagnesi. Suatu ketika seorang pemuda dari Venesia, Italia merasa putus asa atas hidup perkawinannya. Dia merasa bertanggungjawab atas gagalnya perkawinan, karena sang istri meninggalkannya. Dalam kemelut itu, sang pemuda ingin mencari bantuan rohani. Saat melewati Florence, Italia, ia mendengar ada seorang biarawati saleh bernama Sr Maria Bagnesi.
Pemuda tersebut lantas bertemu Sr Maria yang terbaring di tempat tidurnya. Sang pemuda meminta nasihat kepadanya. “Apa yang harus aku perbuat agar bisa menyelamatkan perkawinanku?”
Sontak, biarawati Ordo Ketiga Santo Dominikus (Third Order of Saint Dominic/TOSD) itu pun berkata, “Jangan mengambil keputusan saat menghadapi masalah. Pulang dan berdoalah di hadapan Sakramen Maha Kudus. Bila Anda tulus berdoa, Tuhan turut campur tangan dalam keluargamu,” demikian pesan Sr Maria.
Sang pemuda itu pun kembali ke Venesia dan menuruti pesan Sr Maria. Sebuah keajaiban terjadi: sang istri akhirnya kembali. Keluarga ini menjadi keluarga Kristen yang taat. Di usia uzur, pasutri ini mengikuti teladan Sr Maria menjadi anggota Ordo Ketiga Dominikan. “Cinta Tuhan mengalahkan mata pedang. Cinta Tuhan meruntuhkan tembok kebencian. Cinta Tuhan menyatukan yang berbeda,” ujar Sr Maria suatu ketika.
Kurang Perhatian
Keprihatinan Sr Maria kepada keluarga Kristen berangkat dari pengalaman keluarganya sendiri. Maria, seorang gadis yang menjalani masa anak-anak dalam kultur keluarga yang kurang harmonis. Meski dilahirkan sebagai orang Katolik, tetapi kesalehan hidup jauh dari keluarga Carlo di Rinieri dan Alessandra Oriandrini.
Sebagai anak bangsawan, kedekatan dengan Gereja hanyalah tameng untuk mendapatkan kekuasaan. Carlo terkesan dekat dengan Gereja agar memperluas kekuasaan. Zaman itu, suara Gereja sangat didengarkan. Wajar bila Maria dan tiga saudaranya juga kurang peduli perihal kehidupan Kristiani.
Kelahiran Florence, 15 Agustus 1514, tak terbiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban agama. Ia berharap, kesalehan hidup datang dari sang ibu, Alessadra. Tetapi nyatanya tidak, Alessadra lebih tertarik kenikmatan duniawi ketimbang keluarganya.
Dalam kesibukan ini, Maria dan tiga saudaranya dirawat oleh seorang tante yang kebetulan menjadi Suster Ordo Pengkhotbah. Hampir setiap hari, biarawati tersebut menjadi orang tua bagi mereka. Dari sini, Maria pelan-pelan mengenal Kristus. Ia mulai terbiasa berdoa dan belajar tentang tradisi dalam Gereja.
Pelan tapi pasti, Maria mulai mencintai kisah hidup orang-orang kudus. Maria sangat tertarik dengan cerita St Bartolomeus, satu dari 12 Rasul Yesus. Ia bahkan berniat, kelak bisa menjadi seperti orang-orang kudus.
Memasuki usia 15 tahun, sang ibu meninggal dunia. Peristiwa duka ini membuat Maria sangat tertekan. Ia merasa kedekatan dengan Tuhan tidak berdampak positif kepadanya malahan harus kehilangan anggota keluarga. Duka ini pula membuat Maria lebih ingin terus menjadi pengantin bangsawan ketimbang pengantin Kristus.
Rasa-rasanya, menjadi bangsawan jauh lebih menjanjikan, ketimbang berkelut dalam hidup rohani, yang banyak dibatasai nilai moralitas. Ia benar-benar menjaga jarak dan menolak segala ajaran yang diberikan tantenya. Ia merasa, dirinyalah yang bertanggungjawab terhadap masa depannya, bukan Tuhan, apalagi tantenya.
Hampir lima tahun, Maria bergelut dalam pola pikir. Maria menjalankan hidup sebagai wanita bangsawan yang gemar berfoya-foya. Riak-riuk kehidupan rohani sengaja dikuburkan, kalau bisa selamanya. Ia melupakan cita-cita menjadi biarawati.
Pola pikir ini berubah ketika Tuhan mengetuk hatinya. Tahun 1531, Carlo dengan tegas meminta kepadanya agar menikah. Permintaan ini sontak membuat nyali gadis 17 tahun ini ciut. Ia merasa, dengan pernikahan segala sesuatu dibatasai, termasuk harus belajar taat kepada suami. Dalam gejolak itu, Maria berkukuh pada pendiriannya. Ia menolak permintaan sang ayah, karena baginya, menikah sama saja memperpendek umurnya.
Carlo, seorang pria yang kuat dalam pendirian. Tanpa persetujuan Maria, ia meminta pihak calon suami Maria agar segera menentukan tanggal pernikahan. Dalam situasi itu, Maria menjadi depresi lalu jatuh sakit. Ia menderita Penyakit Hemiplegia (kondisi dimana bagian tubuh tertentu tidak berfungsi alias lumpuh).
Dalam penderitaan itu, Maria ingat Tuhan. Ia yakin tidak ada jalan lain yang dibuat selain bertobat dan dekat dengan Tuhan. Ia berdoa siang dan malam agar sembuh dari penyakitnya. Ia bernazar, jika Tuhan mengabulkan doanya seluruh hidupnya untuk Tuhan. Ia ingin menjadi biarawati, yang mau melayani Tuhan selama sisa hidupnya.
Cita-cita ini pun dibawakan dalam doa. Lambat laun, ia pun terbebas dari penyakitnya. Maria mengaku, saat itu ia disembuhkan bukan karena dukungan keluarga, tetapi berkat doanya kepada Tuhan. Penyakit ini membuat dirinya menjadi wanita yang penyabar, setia, dan pendoa.
Mukjizat Doa
Dalam usia 33 tahun, permintaan menjadi biarawati didengarkan Tuhan. Di dalam kamar penderitaan itu, Maria memutuskan menjadi biarawati. Dalam suasana damai, ia bergabung sebagai Anggota Ordo Ketiga Dominikan tahun 1544. Ia mengucapkan profesi pertamanya tahun 1545. Ia mengambil nama Suster Bartholomea, sesuai teladan hidup St Bartholomeus.
Maria mengucapkan profesi pertamanya di kamar perawatan di hadapan Pater Vittorio de Mattheo. Meski terbatas secara fisik, tetapi karyanya sangat besar. Banyak orang datang bertemu dengannya dan minta didoakan. Doanya penuh khasiat. Banyak mukjizat terjadi lewat perantaraan Sr Maria.
Sr Maria menjadi wanita yang selalu punya hati untuk keluarga-keluarga Kristen yang mengalami kehancuran. Ia menjadi biarawati penghubung suami-isteri yang berpisah. Banyak keluarga menjadi selamat berkat campur tangan dan doa Sr Maria. Kata-katanya yang penuh pesan Ilahi membuat dirinya dianggap malaikat keluarga.
Wanita penuh mukjizat ini menjadi biarawati yang mendedikasikan hidupnya dalam devosi kepada Bunda Maria. Sr Maria juga menjadi pendoa bagi karya kerasulan Ordo Ketiga Dominikan. Ia menjadi Rasul Kristus yang turut mendoakan dunia yang saat itu mengalami gejolak perang saudara zaman itu.
Kamar Ziarah
Dari mulut ke mulut khasiat doa Sr Maria membuat kamarnya sekejap menjadi tempat ziarah. Nasihat dan kebijaksanannya membuat setiap orang yakin akan mukjizat Tuhan. Dalam penderitaan itu, Sr Maria berupaya ambil bagian dalam penderitaan Kristus. Hasrat kekudusannya terpancar dengan membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kudus.
Ada satu kisah, suatu hari Sr Maria Maddalena de ‘Pazzi, O. Carm (kemudian hari menjadi orang kudus dan dikanonisasi oleh Paus Klemens X pada 28 April 1669) pernah berjumpa dengan Sr Maria dalam dalam sebuah visium. Dalam pertemuan itu, Maddalena de ‘Pazzi melihat Sr Maria mengalami kejadian serupa dengan penderitaan Kristus. Kendati begitu, Sr Maria tetap berpasrah dan berdoa kepada setiap orang yang membencinya. “Saya ingin kelak bisa mendengarkan cerita-cerita menarik dari diri Sr Maria,” ungkap Sr Maddalena suatu ketika.
Di akhir-akhir hidupnya, Sr Maria menerima Ekaristi tiga hingga enam kali seminggu. Dia mempersiapkan hatinya dalam keheningan menyambut Tuhan. Wanita pendoa ini pun menghadap Tuhan dengan senandung pujian para malaikat. Sr Maria meninggal dalam kehangatan persaudaraan kolegianya pada 28 Mei 1577 di Florence, Italia.
Proses beatifikasinya dibuka oleh Keuskupan Agung Firenze (Florence/Fiorentina) pada 1798. Pada 11 Juli 1804, Paus Pius VII membeatifikasinya di Basilika Santo Petrus Vatikan. Beatifikasi ini sehubungan dengan mukjizat doa lewat perantaraan Sr Maria. Sebuah keluarga di Florence selamat dari perceraian setelah berdevosi kepada Sr Maria.
Beata Maria dikenang sebagai pendoa bagi keluarga-keluarga Kristen yang mengalami masalah. Teladan hidupnya menjadi contoh bagi keluarga-keluarga Kristen zaman ini. Ia dikenang setiap 28 Mei.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019