web page hit counter
Senin, 23 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Mengalir Bersama Sejarah

Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tidak dapat ditepis lagi bahwa dalam proses perjalanan perjuangan Indonesia, masyarakat Katolik Indonesia tidak pernah ketinggalan kereta. Apalagi hanya jadi penonton saja.

Selama ini, banyak umat Katolik yang kurang menyadari kewajiban dan perannya dalam kerasulan politik. Bahkan, mereka masih bertanya apakah umat Katolik boleh terjun dalam dunia politik? Politik seakan tabu bagi orang Katolik.

Menanggapi hal ini, sejarawan Anhar Gonggong meminta orang Katolik untuk belajar dari sejarah lahirnya pergerakan masyarakat Katolik Indonesia. Ia melihat kesadaran baru ini bisa sebagai sebuah cara evanggelisasi dalam dunia moderen yang berakar pada sejarah bangsa. Berikut petikan hasil wawancara HIDUP dengan Anhar:

Mengapa masyarakat Katolik Indonesia terbentuk dan menjadi bagian dari sejarah Indonesia?

Masyarakat Katolik Indonesia terbentuk karena banyak yang menaruh curiga kalau-kalau orang Katolik adalah kaki tangan kolonial Belanda. Agar bisa mendapatkan kepercayaan, maka berdirilah organisasi-organisasi Katolik seperti Wandawa tahun 1913. Banyak tokoh yang punya peranan dalam usaha mengindonesiakan Katolik. Salah satunya adalah Pastor Franciscus Georgius Josephus Van Lith SJ, yang tidak taat pada Belanda.

Lewat pendidikan pribumi, ia mendirikan Normaal School (1900), sekolah guru berbahasa Belanda atau Kweek School (1904). Sekolah Muntilan ini bisa dikatakan rahim bagi lahirnya tokoh-tokoh Katolik seperti Ignatius Joseph Kasimo, Frans Seda, dan tokoh lainnya. Mereka hadir dengan cara mereka membangun bangsa. Merekalah kemudian yang membesarkan Masyarakat Katolik Indonesia.

Hal strategis apa yang dilakukan oleh tokoh Katolik dalam memperjuangkan Indonesia?

Pastor Van Lith tahun 1922 pernah menulis sebuah brosur berjudul “De Politiek van Nederland ten Opzichte van Nederlandsch Indie”. Brosur ini berisi Gereja Katolik mendukung perjuangan orang pribumi mencapai pemerintahan sendiri. Tulisan ini bahkan disambut baik oleh putra-putri pribumi seperti Seokarno, Ahmad Dahlan, dan Agus Salim. Lalu muncul muridnya Kasimo yang berjuang di Volksraad (Parlemen) Hindia Belanda bersama Mohamad Husni Thamrin dan lainnya ikut menandatangani Petisi Soetardjo yang menuntut Indonesia merdeka.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Selanjutnya ketika terjadi ancaman NKRI, pada masa Agresi Militer II, Kasimo bersama yang lainnya bergerilya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan Mgr Albertus Soegijapranata SJ yang mewariskan nasionalisme di dalam Gereja dengan selogan “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia”. Dialah yang megirimkan surat kepada Vatikan untuk memberikan pengakuan kepada kemerdekaan Indonesia.

Bagaimana relasi masyarakat Katolik Indonesia dengan organisasi Katolik?

Keadaan dan nasib yang sama sebagai bangsa yang terjajah menyulut semangat antara organisasi, yang satu dengan organisasi yang lain. Inilah yang disebut dengan perasaan senasib. Organisasi di Indonesia mulai berkembang setelah Kebangkitan Nasional pada tahun 1908. Beberapa diantaranya Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan, Nahdlatul Ulama oleh Hasjim Asy’ary dan Abdul Wahab Hasbullah. Tentu saja sebagai organisasi ada kontak-kontak tertentu sebagai bagian dalam proses yang memiliki tujuan yang sama kala itu.

Kasimo tampil sebagai tokoh pendiri Partai politik Katholiek Djawi (Partai Politik Katolik Indonesia/PPKI). Partai-partai ini berangkat dengan evangelisasi di bidang tertentu. Katolik sangat fokus pada pendidikan dan kesehatan, sementara Muhammadiyah lebih getol soal pendidikan pesantren. Menarik bahwa kemerdekaan Indonesia ini berawal dari orang-orang yang lulus dari Sekolah-sekolah Katolik dan Sekolah Islam terkenal. Jadi komunikasi sebagai bangsa yang terjajah sudah terwujud di masa itu.

Berarti kerjasama lintas agama dalam bidang politik bukan asing lagi bagi Indonesia?

Kerjasama itu sudah terjalin di masa perjuangan kemerdekaan. Pendiri-pendiri organisasi baik Islam atau Katolik. Tujuan mereka satu untuk melepaskan bangsa dari ikatan penjajahan. Hubungan ini juga bisa dijelaskan misal, Van Lith punya hubungan baik dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan pernah diusulkan sebagai anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Partai Serikat Islam dengan pemimpinnya teman dekat Van Lith, Agus Salim. Akan tetapi ia menolak karena mengingat dirinya adalah seorang klerus.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Kendati begitu, ia bahkan mendorong Tjokroaminoto menjadi anggota Volksraad. Kasimo juga memiliki kedekatan dengan Masyumi. Kasimo bahkan bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) mencoba menolak sistem politik Soekarno pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966). Ia menolak gagasan Nasakom dari Bung Karno dan tidak menyetujui Kabinet yang diprakarsai Soekarno dan terdiri dari empat partai pemenang Pemilu 1955: PNI, Masyumi, NU dan PKI. Kala itu Masyumi dan Partai Katolik Indonesia menolak kerjasama dengan PKI di kabinet.

Apakah perjuangan masyarakat Katolik Indonesia bersifat politis atau lebih kepada nilai?

Kalau kita melihat lebih jauh tidak boleh hanya dari segi politik saja. Karena Katolik dalam sejarahnya memperjuangkan banyak hal seperti pendidikan. Gereja punya pengaruh tertentu dalam perkembangan pendidikkan ini. Bahkan melahirkan tokoh-tokoh intelektual ternama. Mereka lahir dari rahim Sekolah Katolik. Banyak juga orang Islam bejalar dari sekolah Katolik seperti Akbar Tandjung. Selain itu sisi kesehatan di mana dibukanya rumah sakit yang bertahan hingga kini.

Masyarakat Katolik Indonesia juga memberi sumbangan tertentu termasuk kebebasan pendapat melalui Koran Kompas yang didirikan oleh Jakob Oetama, termasuk juga Majalah HIDUP dan lainnya. Majalah Basis di Yogyakarta jangan dilihat lahir di sana, tetapi juga majalah intelektual yang punya pengaruh di lingkungan budayawan, sastrawan, dan seniman. Kemudian setelah Orde Baru berkuasa ada Lembaga Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang dibangun oleh Ali Moertopo bersama tokoh Katolik.

Saat Era Bung Karno, salah satu tokoh yang penting saat itu adalah Frans seda. Ia salah satu tokoh untuk melakukan lobi ke luar negeri. Muncul tokoh lain sebagaimana Kasimo, Dick Hartoko walaupun peranakan Belanda, filsuf terkenal Pastor Nikolaus Driyarkara SJ, juga Mgr Soegijapranata. Mereka memegang nilai-nilai terutama nasionalisme. Jadi sebenarnya nilai perjuangan tidak saja di bidang politik tetapi semua lini kehidupan, di situ ada orang Katolik.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apa tantangan hidup berkebangsaan saat ini khususnya di bidang politik?

Tidak dapat ditepis lagi bahwa dalam proses perjalan perjuangan Indonesia, Masyarakat Katolik Indonesia tidak pernah ketinggalan kereta, apalagi menjadi penonton saja. Masyarakat Katolik Indonesia mengalir bersama sejarah Indonesia. Saat ini sangat jelas identitas kebhinnekaan kita yang terancam apalagi di tengah praktik politik pragmatis saat ini.

Masyarakat Katolik Indonesia harus terus mengembangkan rasa nasionalisme ini. Perlu ada refleksi di mana sebentar lagi Indonesia sudah 75 tahun. Kita belajar dari kehancuran negara lain Uni Soviet jadi komunis hanya 70 tahun dan akhirnya ambruk. Negara Yugoslovakia hanya berapa tahun, ambruk juga. Indonesia yang kemajemukannya lebih besar dari yang lain akan bertahan jika menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika.

Bila demikian, apa nilai yang diusung masyarakat Katolik Indonesia bagi para politisi Katolik saat ini?

Kemerdekaan itu bukan milik mayoritas atau minoritas, bukan pula milik politis dan masyarakat. Kemerdekaan itu hak semua orang Indonesia. Maka keterlebitan dalam politik tak lain untuk melengkapi dan melanjutkan karya-karya yang pernah dibuat oleh para pahlawan Katolik. Karena itu setiap politisi harusnya sadar bahwa kedudukan itu anugerah Tuhan yang sewaktu-waktu bisa dikembalikan. Maka itu politik bersih, sehat, melupakan kepentingan pribadi dan anggota harusnya menjadi irama perpolitikan orang-orang Katolik. Politik orang Katolik harusnyamenyasar pada kebutuhan umat yang lemah dan tak berdaya seperti Yesus sendiri. Ini bisa menjadi spiritualitas bagi para politikus Katolik masa moderen ini.

Willy Matrona/Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.07 2019, 17 Februari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles