HIDUPKATOLIK.com – Kunjungan rutin novisiat Jesuit menjadi batu penjuru bagi paroki ini.
Frater novis berjubah putih panjang mengayuh sepeda onthel tuanya menyusuri jalan setapak berbatu demi mengunjungi umat. Seperti Yesus yang mengutus para murid-Nya pergi berdua-dua, demikian para novis Jesuit diutus. Setiap Senin sore pukul 15.00 hingga 20.00 WIB para novis akan mengadakan kunjungan mengajar ke area stasi dan tiap lingkungan. Tidak hanya anak-anak yang diajar, tetapi orang muda serta orangtua mendapat pengajaran. Kenangan akan kesetian mereka mengunjungi umat ini begitu membekas di sanubari Sr Magdalen PMY dari Wonosobo.
Hingga kini tradisi kunjungan itu masih dipelihara oleh novisiat Jesuit. Pastor Paroki Girisonta, Wahono Wegig SJ menjelaskan bahwa dalam satu bulan para novis diharapkan dapat menjangkau ke seluruh lingkungan. Saat kunjungan, mereka akan mengajarkan cara berdoa, katakese singkat, serta mengunjungi umat yang sakit dan jompo. Medan sulit harus siap mereka hadapi. “Bersepeda di daerah sini luar biasa, turun naik. Juga ketika berjalan kaki. Kadang harus memanggul sepeda,” ungkap Romo Wahono, sapaannya.
Lahirnya Paroki St Stanislaus Girisonta memang tidak terlepas dari berdirinya Rumah Retret dan Novisiat Serikat Jesus yang dimulai dengan peletakan batu pertama pada 3 Oktober 1930. Nama Girisonta sendiri berasal dari kata ‘Giri’, berarti ‘gunung’, dan ‘Sonta’ yang berarti ‘suci’. Sesuai dengan namanya, Girisonta dimaksudkan sebagai tempat di kaki gunung yang sepi untuk bersemedi dan menyucikan diri.
Hingga pada 1932, Girisonta menjadi Komunitas Serikat Jesus (SJ). Ketika itu, di daerah sekitar Karangjati hamper tidak ada orang Katolik, hanya di Ungaran ada kelompok kecil. “De Katholieke Missie” tahun 1993 mencatat, jumlah penganut Katolik di Ungaran dan Girisonta hanya 99 orang. Buku permandian perdana yang dicatat oleh Pastor G.Schmedding, SJ pada 22 Februari 1932, menjadi tonggak awal berdirinya Paroki St Stanislaus Girisonta.
Awal 1990 dan dalam perkembangannya, kini terdapat lebih dari 100 industri garmen di sekitar gereja Girisonta. Terjadilah pergeseran budaya. Umat yang sebagian besar berprofesi petani pada mulanya, kemudian memilih sebagai buruh pabrik untuk menggantungkan hidupnya. Otomatis, kegiatan menggereja sepert ibadat sabda, Misa lingkungan, atau latihan kor tidak dapat diikuti, mengingat waktu kerja yang terbatas.
Meski demikian hal itu tidak mengurangi kebersamaan antarumat yang berjumlah 5.174 jiwa, tersebar di 13 wilayah dan 46 lingkungan. Hal ini disampaikan oleh pegawai Sekretariat Paroki, Susanto yang telah bekerja selama 30 tahun.
Kekhasan lainnya adalah lonceng gereja yang didentangkan setiap pukul 6, 12 dan 6 sore, untuk mengajak umat Katolik untuk berdoa malaikat Tuhan (angelus). Namun, lonceng yang dibunyikan pada pukul 09.30 secara khusus menjadi pertanda berpulang nya seorang imam yang akan disemayamkan di gereja untuk melangsungkan Misa arwah (requiem) dan selanjutnya dimakamkan di komplek pemakaman Girisonta.
Nama “Girisonta” itu sendiri yang telah dikenal sejak masa Perang Dunia II (1939-1945), hingga penjajahan Jepang (1942-1945). Nama ini lebih meyakinkan dari nama kecamatan Bergas Lor yang belum tentu diketahui. Tetapi dengan mengatakan Girisonta, sopir bis atau travel sudah mengenalnya, melebihi nama desa. “Efek ini, selain di transportasi, juga untuk alamat pengiriman pos surat, Girisonta titiknya ini,” jelas Pastor Wahono yang telah berkarya selama lima tahun di Paroki Girisonta.
Antonius Bilandoro
HIDUP NO.06 2019, 10 Februari 2019