HIDUPKATOLIK.com – Ia sempat menjadi office boy atau jongos selama beberapa tahun. Kini, ia punya sejumlah perusahaan dan satu lembaga pendidikan. Anehnya, ia ingin tetap menjadi jongos.
Hidup bagi Bernardus Yosep Te Victoria bak sebuah drama. Setiap orang bebas memilih peran: menjadi sutradara, pemain, atau hanya penonton. Jos, demikian panggilannya, ingin menjadi sutradara. Ia ingin yang memegang kendali dan menentukan alur “episode” kehidupannya.
Tekad itulah yang membuat anak dari keluarga petani transmigran di Lampung ini tak percaya kepada nasib. “Saya tak pernah percaya kepada nasib. Jadi saya tak percaya dengan ucapan, ‘Wah nasibmu jelek atau segala macam’. Saya selalu percaya bahwa nasib itu bukan semata-mata dari Tuhan, tapi yang utama dari kita sendiri yang menentukan,” ucap bungsu dari enam bersaudara pasangan Fransiskus Xaverius Sutarno dan Maria Meisinah ini.
Menapaki karier mulai dari sebagai office boy atau diistilahkan jongos, kini Jos memiliki empat perusahaan beromzet miliaran rupiah, serta satu yayasan pendidikan yang fokus di bidang perhotelan dan pelayaran. “Jujur, fokus, yakin, terakhir baru berdoa. Tuhan tak ujug-ujug memberi. Jangan selalu meminta, melainkan harus selalu bersyukur kepada-Nya. Dalam setiap doa, saya selalu berterimakasih untuk berkat yang diberikan oleh-Nya,” ungkap umat Paroki St Arnoldus Bekasi, Keuskupan Agung Jakarta, saat ditemui di kantornya, di Jakarta Selatan, Jumat, 18/1.
Akrab Kemiskinan
Jos akrab dengan kemiskinan saat belia. Rumah yang ia tinggali bersama orangtua dan saudara-saudarinya di Lampung baru beratapkan seng tahun 1994. Sebelumnya, atap rumah mereka terbuat dari anyaman bambu. Mereka tak memiliki ranjang. Jos dan keluarganya tidur beralaskan galar.
Sewaktu duduk di bangku SMP dan SMA, saat teman-temannya yang lain mampu untuk membeli es, Jos selalu minum air sumur demi menghilangkan dahaga usai pelajaran olahraga. Kemiskinan juga membuat Jos sama sekali tak punya angan untuk bisa kuliah. Selain perkara biaya, dalam keluarga besarnya pun tak ada yang kuliah.
Demi menambah penghasilan, Sutarno berjualan bakso. Sementara, Meisinah berdagang tahu. Kendati punya usaha sampingan, Sutarno-Meisinah belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan rumah tangga. Maka, mereka menitipkan empat dari enam anak, termasuk Jos, kepada handai tolan.
Sutarno-Meisinah melatih anak-anaknya untuk hidup mandiri sejak dini. Sejak masuk SD, Jos sudah mencuci baju sendiri. Ia juga harus menyapu rumah dan menggarap sawah. Di luar kewajiban harian, Jos mengangon kerbau milik kakeknya. Ia juga menjadi tukang ojek sewaktu SMA untuk menambah uang saku. “Sejak kecil, kami sudah diajari mandiri dan dididik untuk punya rasa tanggung jawab. Ini bermuara pada pendidikan karakter. Ketika lulus SMA dan lepas dari orangtua, kami siap dan tak tergantung kepada orangtua lagi,” kenang kelahiran Lampung, 8 September 1978.
Lahir dan tumbuh di tengah keluarga sederhana bahkan cenderung kekurangan, Jos masih menemukan “mutiara” berharga di sana, yaitu semangat bekerja dan pantang menyerah dari orangtuanya. Selain itu, keluarganya juga menjaga kehidupan rohani secara baik. Setiap malam sang kakek mengajak seluruh keluarga untuk berkumpul dan mendaraskan Rosario. “Biasanya berlangsung selama 30 menit, setiap malam, gak boleh absen,” kenang Jos.
Jos tergolong sebagai siswa cerdas di sekolah, meski juga termasuk anak nakal di sana. Jos selalu masuk rangking lima besar saat SD. Ia juga peringkat satu selama tiga tahun mengenakan seragam putih abu-abu.
Lantaran prestasinya itu, banyak guru memaklumi kebandelan sekaligus memujinya. Salah satu celetukan yang paling Jos ingat adalah dari Suwarti, “Kalian itu sudah nakal, gak pintar pula. Coba kalian tiru Jos, walau bandel tapi pintar,” ujar Jos, mengulang pujian guru Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila itu.
Babak baru drama kehidupan Jos dimulai ketika memutuskan untuk hijrah ke Jakarta tahun 1996. Ia ingin berkembang. Berbekal ijazah SMA, Jos bekerja apa saja untuk bertahan hidup di kota besar. Pekerjaan awal yang didapatnya adalah menjadi sales. Hanya beberapa bulan sebagai sales buku, Jos bergabung dengan ANTV. Ia menjadi jongos.
Sangat Antusias
Menjadi OB ternyata menjadi salah satu episode penting dalam perjalanan hidup Jos. Ia sangat antusias memperhatikan kru televisi bekerja. Jos pun acap bertanya kepada mereka berbagai hal tentang dunia penyiaran dan multimedia. Ia tertarik pada bidang tersebut.
Kesempatan belajar makin luas saat Jos pindah ke MTV Indonesia, juga sebagai OB. Di sana, Daniel Tumiwa, salah seorang pendiri MTV Asia yang menjabat sebagai Head of Marketing, memberi akses belajar seluas-luasnya kepada Jos.
Sembari bekerja, mengenal fasilitas, dan belajar produksi televisi, Jos menyadari pentingnya keterampilan berbahasa asing. Hal ini dipicu sebuah kejadian. Suatu hari, Jos pernah mengangkat telepon dari seseorang dengan berbahasa Inggris. Jos gelagapan. Karena tak paham maksud penelepon, ia menyerahkan telepon ke orang lain.
Peristiwa itu membuat Jos ingin belajar Bahasa Inggris. Beberapa waktu kemudian, ia kursus di English First lalu mendaftar menjadi mahasiswa jurusan Bahasa Inggris di STBA LIA. Namun, karena kesibukan bekerja, Jos tak merampungkan kuliahnya.
Daniel memuji etos kerja OB-nya itu. Menurutnya, Jos adalah pekerja keras dan punya inisiatif. “Biasanya, OB kan hanya duduk menunggu instruksi, menunggu disuruh. Tapi Jos beda, ia punya inisiatif. Itu bukti bahwa dia engage. Dia bekerja seefektif dan secepat mungkin, agar pekerjaannya cepat selesai dan bisa duduk dengan tenang,” puji Daniel, seperti tertuang dalam buku autobiografi Jos, I’m Jongos.
Daniel tak heran jika Jos meraih kesuksesan sekarang. Katanya, ketika Jos menjalani dengan sungguh pekerjaan sebagai OB, ia tahu akan berkenalan dengan orang yang bisa mengubah hidupnya. Ketika meyakini ketertarikannya menangani peralatan shooting, Jos tahu suatu hari ia akan memiliki banyak alat untuk memproduksi film. Jos meyakini, kenapa harus tahu manajemen, karena ia tahu akan memimpin banyak orang suatu waktu. Dan semuanya terwujud.
Episode penting lain dalam kehidupan Jos adalah jatuh-bangun membangun rumah tangga. Sang istri, Maria Setiawati Supatra, adalah teman kuliahnya sewaktu di LIA. Dua sejoli itu berasal dari latar belakang ekonomi dan ras berbeda. Maria adalah anak keluarga pengusaha keturunan Tionghoa yang lama bermukim di Semarang.
Bahtera rumah tangga mereka mengalami banyak cobaan. Tantangan paling terasa adalah persoalan ekonomi. Jos saat itu masih sebagai OB. Gajinya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan standar keluarganya. Mereka pernah berhutang di warung. Mereka juga pernah kesulitan untuk membeli susu untuk anak. Kondisi pelik itu sempat mengusik relasi Jos dengan mertua. Namun, peristiwa itu justru memotivasinya untuk terus berusaha.
Tetap Jongos
Jos mensyukuri kehadiran Maria dalam kehidupannya. Bagi Jos, sang istri amat setia, penyayang, dan penyabar. Maria juga tak pernah mengeluh atau menuntut kepadanya. Energi positif yang dipancarkan sang istri itu pula yang menguatkan hidup Jos. “Kalau energi yang kita bawa itu negatif, seperti suka mengeluh atau putus asa, semua yang tercipta juga negatif termasuk bagi keluarga. Sebaliknya, jika berpikir positif maka energi positif pula yang terpancar,” pesan ayah dengan tiga anak ini.
Kini, meski tak lagi menjadi OB, Jos mengaku dirinya masih tetap menjadi jongos yang artinya adalah pelayan. Ia menjadi ‘jongos’ bagi keluarganya dan juga keluarga para karyawannya. Di tengah kesibukannya sekarang, pria yang menyukai warna oranye itu, ingin pensiun pada usia 45 tahun. Jos bertekad membangun Rumah Pintar bagi anak-anak yatim piatu dan miskin.
Di sana, terang Jos, anak-anak akan dibekali dengan berbagai keterampilan mulai dari berkebun, beternak, perbengkelan, hingga multimedia. Semua itu untuk menanamkan jiwa dan kemampuan berwirausaha, mengikis mental meminta namun memupuk semangat memberi. “Hidup bukan semata soal hitung-hitungan. Ada saatnya memberi pelayanan,” pungkas pria yang juga dikenal dengan panggilan Jos Oren ini.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.06 2019, 10 Februari 2019