HIDUPKATOLIK.com – Aku sasando yang bukan lagi sasando. Aku tinggal daun lontar, bambu dan senar. Aku terpisah-pisah, harga diri ini tercerabut. Penggalan puisi ini diambil dari novel Sasando Sunyi (hal 256). Empat larik ini merupakan sedikit percikan yang menggambarkan isi novel ini. Karya sastra ini bukanlah sebuah upaya membangkitkan romansa dengan alam Nusa Tenggara Timur (NTT) yang memiliki bentangan alam savana yang luas, pohon lontar yang berdiri kokoh dan nyanyian sasando mengiringi gembala sapi. Novel ini pada dasarnya merupakan upaya untuk membongkar kotak pandora kemiskinan struktural di NTT.
Melalui tokoh Tiena, novel ini bercerita tentang upaya menjembatani realitas keterpurukan NTT. Tiena merupakan seorang dara yang tinggal di Kefa, Kupang, NTT. Seorang gadis polos yang sejak kecil suka main tali merdeka bersama teman-temannya: Agata, Maria Jeany dan Maria Bernadeth. Keadaan ekonomi keluarga yang memburuk membuat ia tidak hanya berhenti main tali, tetapi juga berhenti dari bangku sekolah (kelas 5 SD).
Semenjak ditinggalkan oleh ayahnya yang merantau ke negeri Jiran, ia ingin membantu ibunya. Atas bantuan pamannya, Om Sam, ia bekerja di rumah Bu Pius di Kupang. Di sanalah ia kemudian bertemu dengan Bosco yang merupakan jantung hatinya. Dari kekasihnya itu, ia berkenalan dengan Bram, penyalur tenaga kerja ilegal ke Malaysia.
Pertemuan itu membuat tekadnya mencari kerja dan ayahnya ke Malaysia semakin bulat. Ia diiming-imingi oleh pekerjaan dan penghasilan yang layak di Malaysia. Ditambah lagi mendengar kisah sukses orang-orang sekampungnya yang pernah ke Malaysia. Akan tetapi, pertemuan tersebut ternyata menjebaknya dalam praktik human traffi cking. Ia bersama 26 gadis desa lainnya dibawa oleh penyalur tenaga kerja ilegal itu menuju Malaysia. Mereka berhenti di Batam di sebuah tempat penampungan yang telah disediakan oleh komplotan calo migran. Dari sana mereka akan diberangkatkan ke Malaysia menggunakan kapal penyeberangan.
Berminggu-minggu Tiena dan kawan-kawannya dibekap oleh penyalur tenaga kerja ilegal dalam penampungan. Di sana mereka diperlakukan tidak manusiawi bahkan dilecehkan. Beruntung Tiena berhasil lolos dan diselamatkan. Ia dan kawan-kawannya di bawa ke Rumah Kasih, tempat pemulihan bagi korban human trafficking. Di sana mereka mendapat keterampilan sembari mendapat pemulihan dari pihak Rumah Kasih.
Kisah Tiena adalah sebuah kesunyian. Sama seperti sasando yang sunyi, Tiena kehilangan harga dirinya, ia tidak lagi bernyanyi dengan riang. Sebagaimana dilukiskan novel ini, apalah jadinya jika sasando kehilangan dawai-dawainya? Jika kekuatan penentu musik khas NTT itu kehilangan kekuatan dan kemagisannya. Tidak ada lagi suara syahdu mendayu pengiring tarian Bonet, Bidu, ataupun Ote Nakaf. Musik sasando layaknya hidup manusia itu sendiri. Ketika hak-haknya dicabut maka ia bukanlah lagi manusia itu sendiri. Ia kehilangan martabat dan jati dirinya sebagai manusia.
Novel ini bisa menjadi rujukan pemerintah setempat dan juga Gereja untuk bersama-sama melihat persoalan human trafficking di NTT ini. Pemerintah dan Gereja harus berkomitmen untuk bersama-sama mengentaskan persoalan ini. Novel ini adalah suara kaum marjinal di mana kerapkali didiamkan begitu saja. Karya ini juga ingin memperjuangkan agar sasando terus bernyanyi syahdu di bentangan Savana Timur sana. Begitu pula harkat martabat manusia di daerah ini sewajarnya terus menjadi perjuangan bersama.
Judul : Sasando Sunyi
Penulis : Lidwina Ika
Penerbit : Lamalera, 2018
Tebal : Vii-259
Willy Matrona
HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019