HIDUPKATOLIK.com – Jejak Tjilik Riwut di Kalimantan Tengah dapat menjadi representasi pribadinya. Ia punya andil besar bagi bangsa dan gereja.
Sebagai rasul awam, Tjilik Riwut memiliki spirit kebangsaan dan kekatolikan yang begitu kental. Pandangan dan pergaulannya mendobrak tembok-tembok perbedaan. Ia amat mencintai Indonesia. Tak hanya loyal kepada Indonesia sebagai sebuah Negara, gubernur pertama Kalimantan Tengah itu juga sangat menyayangi Tanah Air ini sebagai bangsa. Tjilik mencintai adat-budayanya.
Tjilik juga punya andil bagi perkembangan Gereja di Kalimantan Tengah. Peran dan jejak mulia putra Dayak itu sempat dirasakan Romo Ronny, panggilannya, saat melakukan napas tilas tentang pahlawan nasional ini. Berikut nukilan pengalamannya, saat ditemui di Gereja St Valentino, Markas Kopassus, Cijantung, Keuskupan Agung Jakarta, Senin, 21/1.
Apa saja yang Pastor alami atau temukan selama napak tilas mengenai Tjilik Riwut?
Pertama, secara sepintas, orang atau bahkan umat Katolik sendiri masih banyak yang kurang terlalu mengenal nama Pahlawan Nasional Marsekal Pertama TNI (Hor) Tjilik Riwut. Maka itu, untuk melawan lupa, saat siaran radio Oase Rohani Katolik (produksi Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Jakarta) maupun wawancara dengan media, terakhir dengan HIDUP (edisi 45, 2018), saya menyebut nama Tjilik Riwut, sebagai pahlawan nasional sekaligus umat Katolik.
Kedua, saya juga beruntung, pada 2012, melaksanakan Studi Strategis Dalam Negeri bersama kelompok dari Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) RI di Kalimantan Tengah. Pada kesempatan itu, selama dua hari, kami melakukan napak tilas ke tiga tempat yang kurang lebih bisa menjadi representasi Tjilik Riwut, yaitu Kota Palangka Raya, Wisma Keuskupan Palangka Raya sekaligus Gereja Katedral St Perawan Maria Palangka Raya, dan Bukit Batu Pertapaan Tjilik Riwut.
Dari peristiwa tersebut, sebagai pastor dan anggota Lemhanas, saya memperhatikan dua dimensi yang dihidupi oleh Tjilik Riwut, yakni spirit kekatolikan dan kebangsaan. Ia mengusulkan kepada gembala di Palangka Raya untuk memasukkan hari peringatan kemerdekaan Indonesia (17-8-1945) pada rancang bangun gereja.
Ia juga meminta ada pelayan pastoral yang menetap di Palangka Raya untuk melayani kebutuhan rohani umat di sana. Tjilik juga menggandeng para misionaris untuk terlibat dalam merancang dan membangun Kota Palangka Raya.
Uskup Palangka Raya, Mgr Aloysius Maryadi Sutrisnaatmaka MSF, mengakui kepada saya, Tjilik merupakan tokoh Katolik terkemuka di Palangka Raya. Nama dan perannya selalu dikenang oleh masyarakat Kalimantan Tengah.
Pengalaman paling romantis dan sentimentil terjadi ketika saya berkunjung ke Bukit Batu Pertapaan Tjilik Riwut. Lokasi tersebut saat ini menjadi destinasi spiritual bagi banyak orang, baik dari Kalimantan maupun pulau-pulau lain bahkan dari luar negeri. Berkunjung ke tempat itu, kita bisa mengetahui kebiasaan Tjilik Riwut. Di tengah litani tugas atau kesibukannya, ia selalu menyempatkan diri untuk bermeditasi serta merenung.
Meditasi dan kontemplasi itu sangat penting. Yesus saja membutuhkan waktu dan saat khusus untuk menyepi dan berdoa. Praktik itu untuk menimba kekuatan dari Tuhan agar memampukan kita untuk melanjutkan karya di hadapan publik. Tjilik sering bermeditasi. Sebagai manusia, Tjilik menyadari, dirinya membutuhkan kekuatan dari Tuhan untuk mengabdi kepada masyarakat.
Apa teladan rohani dan keutamaan hidup dari Tjilik?
Sebagai umat Katolik, ia memiliki sikap sentire cum Eccleasiae, sehati atau seperasaan dengan Gereja. Misal, sewaktu menjabat gubernur, ia sungguh bersama Gereja, membutuhkan gembala untuk merawat kerohanian atau spiritual umat. Karena itu, ia meminta ada imam yang menetap dan berkarya di Palangka Raya.
Tjilik juga punya andil dalam pendirian gereja pertama di Palangka Raya (kelak menjadi Katedral Palangka Raya). Menurut saya, bila ada umat yang memiliki visi dan langsung merealisasikan (membangun gereja) merupakan cermin keimanannya.
Sebagai Kepala Pemerintahan Kalimantan Tengah, ia memanfaatkan keahlian misionaris yang ditempatkan di Palangka Raya untuk turut membangun kota yang baru terbentuk itu. Kesaksian ini saya dengar saat berkunjung ke kantor kepala daerah Kalimantan Tengah. Gubernur Kalteng saat itu, Agustin Teras Narang, juga mengatakan, Tjilik meletakkan landasan kuat bagi perkembangan Palangka Raya saat ini.
Sebagai anggota militer dari matra Angkatan Udara, Tjilik ikut terlibat dalam pembebasan Kalimantan dari tangan penjajah serta mewakili masyarakat dan para tokoh di Kalimantan untuk mengikrarkan kesetiaan kepada Pemerintah RI. Inilah semangat juang dan bukti kecintaan Tjilik kepada Tanah Air.
Tjilik mencintai Indonesia tak terbatas sebagai sebuah negara. Ia juga menyayangi Tanah Air ini sebagai sebuah bangsa, yang terdiri dari berbagai macam adat-istiadat dan budaya, salah satunya dayak. Ia lahir dan tumbuh dalam budaya itu. Kecintaannya itu terlihat dari sejumlah bukunya tentang kekayaan budaya dayak.
Tjilik juga tak sektarian. Hal ini, salah satunya, tampak saat memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata RI. Pasukan yang ia pilih untuk terjun ke Kalimantan tak hanya berasal dari daerahnya tapi juga dari pulau lain. Tjilik memang lintas-batas dalam bergaul.
Tahun ini merupakan tahun elektoral bagi Indonesia. Bercermin dari kualitas pribadi Tjilik, apa pesan Pastor untuk umat dalam menentukan calon pemimpin negeri ini dan para wakil rakyat?
Dari bacaan dan napak tilas, saya memperoleh satu ungkapan Tjilik Riwut yang menarik. Ia mengatakan, untuk memahami seorang pemimpin, lihatlah latar belakang, rekam jejak, dan karakter kepemimpinan orang itu. Dari situ akan menentukan, apakah komunikasi, pembicaraan, atau pesan kita akan sampai kepadanya atau tidak. Pesan Tjilik, menurut saya, cocok untuk ditempatkan dalam konteks Indonesia pada tahun elekoral ini.
Dengan mengetahui latar belakang atau rekam jejak, kita bisa menentukan pilihan secara tepat pemimpin negeri dan para wakil rakyat. Pesan saya, sebagai warga Katolik dan NKRI, pada tahun elektoral ini hendaknya berpolitiklah dalam politik kebangsaan. Artinya, perhatian atau arah kita kepada empat konsensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan binneka tunggal ika.
Para pemimpin Gereja, secara khusus Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, juga sudah memberikan pencerahan lewat gerakan Amalkan Pancasila. Bagi saya, ini tuntutan bagi umat dalam menghayati Pancasila dan bersikap secara tepat. Bagi saya, spirit kebangsaan yang dibangun di atas empat konsensus itu sudah final (sebagai kriteria menentukan calon pemimpin dan para wakil rakyat di negeri ini).
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.05 2019, 3 Februari 2019