HIDUPKATOLIK.com – Hidup sempurna adalah sama seperti Bapamu di Surga adalah murah hati.
Konon ada cerita, pemimpin Gereja Orthodoks Ethiopia ingin membunuh Pastor Ghébrē Michael. Sebabnya, mereka menolak kebenaran teologis yang sedang teliti Pastor Ghébrē. Abuna (sebutan bagi pemimpin Gereja Orthodoks Ethiopia) melihat, bahwa tugas yang diemban Pastor Ghébrē bisa menghancurkan refleksi-refleksi teologis yang sedang mereka bangun. Bagi abuna, penugasan Pastor Ghébrē mengalami cacat karena dijalankan tanpa izin. Itulah sebabnya, Pastor Ghébrē tak disukai di Gereja Orthodoks Ethiopia.
Ada banyak cara dibuat, agar Ghébrē bisa disingkarkan, termasuk rencana meracuninya. Tetapi, Pastor Ghébrē tetap saja selamat. Lewat jalan Tuhan, biarawan dari Gereja Orthodoks Ethiophia ini selalu berhasil keluar dari jeratan maut. Ketika merasa, bahwa perjuangan Pastor Ghébrē untuk meluruskan dogma dan kehidupan rohani para abuna tidak mendapat respons, ia memutuskan menjadi biarawan Katolik. Ia pun bergabung dengan Kongregasi Misi (Congregatio Missionis/CM).
Semasa hidupnya, Pastor Ghébrē menjadi imam Vincentian yang taat dan peduli kehidupan rohani banyak orang. Dalam karyanya, ia terus mengikuti teladan hidup Santo Vincentius de Paulo.
Teologi Persatuan
Refleksi soal tawahedo sudah memikat hati Ghébrē sejak usia muda. Tawahedo yang dalam bahasa Ge’ez-Ethiopia, berarti: ‘Persatuan’ merujuk pada Keesaan hakikat Kristus. Yesus adalah sepenuhnya manusia dan juga Allah. Ghébrē ingin sekali mendapatkan pengetahuan lengkap soal dogma ini.
Rasa penasaran ini membawa Ghébrē bergabung di Biara Gereja Koptik Mertulai-Miryam, Ethiopia lalu kemudian ditahbiskan sebagai imam Orthodoks Koptik. Sejak menjadi imam, Pastor Ghébrē sangat tertarik soal perdebatan-perdebatan Kristologis. Ia juga tertarik mengenai istilah hipostatis yang merujuk pada perbedaan nyata antara tiga pribadi Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Diceritakan selama masa itu, Pastor Ghébrē sangat mencintai panggilannya. Ia menjadi imam yang cerdas dan saleh. Ia memiliki minat yang besar soal kehidupan monastik. Ia tertarik mempelajari tradisi- tradisi apostolik dan tulisan-tulisan para apologetik. Kehidupan monastisisme yang keras, membuatnya selalu melahirkan gagasan-gagasan perubahan yang berlandaskan Kitab Suci. Ajaran yang tercantum dalam Perjanjian Lama ini membawanya pada penataan regula-regula yang baru, yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Jalan penyempurnaan yang ditawarkan Pastor Ghébrē membuat dia dipilih sebagai satu dari sekian evaluator bagi ajaran-ajaran Gereja Orthodoks Ethiopia. Ia menilai, bahwa kehidupan rohani para Imam Orthodoks Ethiopia lambat laun menurun. Biara-biara Gereja Ortodoks Ethiopia sepi dari doa dan matiraga. Ia ingin membuat penelitian untuk mengetahui sejauh mana ketertarikan para imam soal hidup rohani. Atas semangat perubahan, ia melakukan perjalanan ke seluruh negeri. Ia juga mengunjungi berbagai biara demi melihat langsung cara hidup para biarawan.
Pastor Ghébrē bertekun dalam usahanya memperbaiki kehidupan monastik pada masa itu. Hal ini gigih ia perjuangkan meski kedua matanya buta. Ia kehilangan kemampuan melihatnya akibat sebuah kecelakaan yang menimpanya.
Bagai badai yang berhembus di musim hujan, usaha Pastor Ghébrē untuk mereformasi kehidupan Gereja Orthodoks Ethiopia dinilai berlebihan oleh para abuna. Pertengahan tahun 1843, para abuna ini melihat penelitian Pastor Ghébrē bisa berakibat fatal. Hal itu dapat mencoreng wajah Gereja Orthodoks Ethiopia. Pada saat inilah, muncul niat untuk meracuni Pastor Ghébrē.
Panggilan Baru
Meski mengetahui nyawanya terancam, namun Pastor Ghébrē tak kenal menyerah. Karya ini dilihatnya sebagai jalan penyempurnaan. Ia merasa, bahwa pesan-pesan Tuhan dalam Kitab Suci selalu menawarkan kebahagiaan untuk siapa saja yang membacanya.“Sempurna sama seperti Bapamu di Surga adalah sempurna”, begitu keyakinannya. Ia tak segan-segan menganjurkan, agar para imam melupakan kenikmatan duniawi. Sebagai bentuk perlawanan pada kehidupan duniawi, ia menganjurkan hidup monastik bagi para imam. Ia mendorong mereka untuk hidup sebagai eremit, hidup sendiri di padang gurun.
Imam kelahiran Dibo, Euthopia sekita 1790 ini tak putus asa meski tak disukai. Pastor Ghébrē tetap berdoa agar bisa menemukan kebenaran sejati tentang Yesus Kristus. Ia menghabiskan hidupnya untuk mencari kebenaran sejati itu.
Baru pada September 1843, Pastor Ghébrē menemukan jawaban atas pertanyaannya. Suatu hari, ia bertemu Mgr Yustinus de Yakobis tanpa sengaja. Ketika itu, imam dari Kongregasi Misi itu memjabat sebagai Vikaris Apostolik untuk wilayah Ethiopia. Ia juga memimpin sebagai juga Uskup Nilopolis yang masih berada di wilayah Mesir.
Dalam perjumpaan ini, Pastor Ghébrē semakin jatuh hati pada ajaran Katolik. Ia tertantang untuk mempelajari lebih jauh soal konsep Trinitas dalam Gereja Katolik. Ia meyakini, dengan memahami Trinitas, maka itu berarti ia paham tentang kebenaran hakiki dalam iman Kristen.
Persinggungan Pastor Ghébrē dalam Gereja Katolik justru semakin dalam. Ia pun berniat mengajukan diri menjadi biarawan Katolik. Kendati begitu, Mgr Yustinus tidak serta merta menerimanya. Mgr Yustinus ingin melihat kesungguhan dari Pastor Ghébrē terlebih dahulu. Baru pada tahun 1844, Pastor Ghébrē dapat diterima menjadi salah satu anggota Kongregasi Misi. Mgr Yustinus lalu menugaskannya untuk melayani umat Katolik di Desa Guala, barat Ethopia.
Di tepat tugasnya yang baru, Pastor Ghébrē benar-benar menjadi imam yang setia. Pada Desember 1844, ia mendapat hibah sebidang lahan yang kemudian ia membangun sebuah rumah tempat tinggal. Di rumah itu, ia membuka kursus Kitab Suci bagi masyarakat desa. Di sini, ia sekaligus melayani Sakramen Pengakuan Dosa.
Pada tahun itu juga, 37 awam Ethiopia telah diterima ke dalam Gereja Katolik. Selain itu, ada enam orang biarawan Gereja Orthodoks Ethiopia yang mengikuti jejak Pastor Ghébrē. Tujuh tahun berselang, tepatnya pada 1851, Mgr Yustinus mentahbiskan Pastor Ghébrē sebagai imam dari Kongregasi Misi pada 1 Januari 1851.
Setelahnya, ia bertugas mendampingi Mgr Yustinus mengajar dan membangun sebuah kolese untuk anak-anak Katolik di Ethiopia. Atas restu Mgr Yustinus pula, Pastor Ghébrēmendirikan sebuah seminari untuk calon-calon imam pribumi dari Ethiopia. Ia benar-benar menjadi bapak yang dicontohi oleh banyak seminaris. Ia berani berbicara tentang kebenaran hakiki yang melekat pada diri Trinitas. “Bagiku kealahan dan kemanusiaan Yesus hanya dapat terlihat ketika orang beriman dengan hati, bukan pikiran semata,” pesannya kepada para seminaris.
Naas, pada tahun-tahun itu terjadi penganiayaan terhadap umat Katolik. Peristiwa ini dipicu hasutan dari Uskup Ortodoks Ethiopia. Alhasil, Pastor Ghébrē pun ditangkap dan dipenjarakan bersama empat orang Ethiopia yang baru menjadi Katolik. Pastor Ghébrē menjadi salah satu yang ditangkap karena kritiknya atas sumber-sumber teologi dari sakramen dalam Gereja Ortodoks Ethiopia. Ia juga ragu dengan forma dan materi dalam pembaptisan di Gereja itu.
Kedekatan pemimpin Gereja Ortodoks Ethiopia dengan Kaisar Tewodros II, membuat mereka dengan gampang menyebarkan fitnah tentang Pastor Ghébrē. Ketika dipenjara, ia disiksa dengan diikat rantai pada kedua kakinya. Tindakan yang membuat Pastor Ghébrē benar-benar menderita. Namun, dalam siksaan ini, ia selalu berkata, “Iman membuatku tidak akan melawan. Cinta akan Kristus terus menuntunku untuk mengampuni anda”.
Akhirnya setelah mengalami penderitaan yang berkepanjangan, Pastor Ghébrē meninggal karena kolera pada 30 Agustus 1855. Proses beatifikasinya dibuka tahun 1920 pada masa kepausan Paus Benediktus XV (1854-1922). Ia digelari venerabilis di masa Paus Pius XI (1922-1939) pada 22 Mei 1926. Beberapa bulan kemudian, Paus yang sama membeatifikasi Pastor Ghébrē dan kemudian mengkanonisasinya sebagai orang kudus tepat tanggal 3 Oktober 1926. Gereja mengenangnya kekudusannya setiap 1 September.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.04 2019, 27 Januari 2019