HIDUPKATOLIK.com – Sir. 6:5-17; Mzm. 119:12.16.18.27.34.35; Mrk. 10:1-12
SECARA keseluruhan, perikop Mrk.10:1-31 mengajarkan, ada perbedaan radikal antara nilai-nilai yang dihidupi oleh para murid Yesus dan masyarakat, dengan perspektif baru Kerajaan Allah, yang berkali-kali disebutkan (lih. ay.14.15.23.24.25).
Karakter revolusioner (Latin: revolvō, ‘menggulingkan kembali’) itu sudah dimulai dengan paradoks konsep misi Mesias (yang menderita) pada Mrk. 8:31. Ia diakhiri dengan tantangan Kerajaan Allah.
“Banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu” (ay. 31). Nilai revolusioner pertama Yesus dijelaskan melalui masalah perceraian.
Meski dalam berbagai debat mengenai Hukum dan Tradisi Yahudi, yang bersifat lisan maupun tertulis, perceraian bisa dan cenderung dikompromikan, namun Yesus tegas menyatakan: “Apa yang telah dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (ay. 9).
Melalui pernyataan ini, Yesus menantang dan merevolusi apa saja – dalam konteks ini, kesatuan suci pria-wanita – yang sudah dianggap wajar dan trendy oleh masyarakat umum. Bagi para murid-Nya, hal ini sering tidak mengenakkan.
Mereka seperti putus asa, dan cari aman dengan “tidak berbuat apa-apa”. Ini tampak dalam reaksi mereka pada versi Mat. 19:10: “Jika demikian halnya hubungan antara suami dan istri, lebih baik jangan kawin”.
Berevolusi secara Kristiani, tidak semudah seperti yang diajarkan melalui katekese, retret, atau khotbah. Sikap rendah hati menjadi kunci!
Henricus Witdarmono
M.A. Rel. Stud. Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia
HIDUP NO.8 2019, 24 Februari 2019