Semuanya berubah pada suatu malam yang dingin. Saat itu aku hendak beristirahat karena lelah bekerja seharian. Semuanya masih berjalan seperti biasa, tak ada percakapan antara kami. Awalnya aku hanya mendengar suara batuk darinya dan hal itu sudah biasa untukku.
Tiba-tiba saja ia berteriak dan suara kaca pecah terdengar olehku. Aku masih diam di atas ranjangku seolah tak mendengar apa yang sudah terjadi. Kemudian, aku mendengar ia menangis seraya memukul-mukul dinding kayu rumah kami.
Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan menghampirinya. Kulihat ia sudah terduduk di lantai. Inilah kali pertama aku melihat ayah begitu rentan dan menderita. Aku hanya berdiri memandangnya. Tubuhku rasanya seperti membatu. Kulihat banyak bercak darah di kamarnya.
Anehnya, bercak darah itu tidak hanya bercak darah baru. Beberapa bercak sudah kering dan menghitam. Tiba-tiba saja muncul seribu tanya di kepala ini. Sebegitu benci kah aku padanya hingga aku tak tahu apa saja yang sudah terjadi padanya ?
“Ada apa denganmu?” ucapku pelan.
Perlahan air mata ini mulai menetes menyaksikan keadaan ayah. Ia masih terduduk di lantai sambil menangis.
“Nak, maafkan aku. Aku sudah menjadi ayah yang buruk bagimu. Aku tahu, engkau begitu membenciku. Namun, aku pun tak tahu harus berbuat apa. Aku tak tahu cara mengungkapkan cintaku kepadamu. Aku hancur dan tersiksa. Setiap melihatmu, aku mengingat wanita yang telah meninggalkanku,” ucapnya kemudian.
“Aku selalu mengingat hari kelahiranmu. Hari itu aku begitu takut kehilangan kalian berdua. Aku sungguh mencintai engkau dan ibumu. Namun, keindahan itu harus lenyap dari hidupku. Setiap kali aku memukulmu, hati begitu sakit dan tersiksa. Aku tak ingin engkau gagal sepertiku. Aku sungguh tak tahu bagaimana cara mengungkapkan cintaku kepadamu. Aku sungguh tak pantas menjadi ayahmu,” sambungnya lagi kemudian.
Aku masih diam di tempatku berdiri. Aku sungguh tak tahu harus berbuat apa. Entah apa yang mendorong saat itu hingga aku berjalan menghampirinya dan memeluk. Tangan ini tak lagi ingin memukulnya.
Kupeluk ia begitu erat dan aku pun menangis. Tangannya yang dulu sering memukulku sungguh terasa lembut. Ia pun menghapus air mataku dan mengusap kepalaku.
“Ayahmu ini terkena kanker paru-paru stadium akhir. Harapanku untuk hidup sudah tidak banyak lagi. Lanjutkanlah hidupmu dan berbahagialah. Selama ini aku sudah menyiapkan tabungan untukmu. Pakailah itu untuk biaya hidupmu, untuk kuliahmu dan modalmu bekerja. Aku mohon, maafkan lah ayahmu ini, Nak…,” ucapnya pelan.
***
Peristiwa malam itu selalu kukenang hingga masa tuaku ini. Malam itu adalah malam terindah antara aku dan ayahku. Sosok yang dahulu kubenci ternyata sangat mencintaiku. Tangannya yang sering memukulku adalah caranya mencintaiku.
Aku masih ingat ketika ia mengusap kepala ini untuk pertama dan terakhir kalinya. Tangan itu sungguh lembut. Kupergunakan tabungan dari ayah dengan sangat baik. Aku berhasil lulus dengan predikat terbaik dan memiliki pekerjaan yang baik.
Aku juga berhasil membangun keluarga yang bahagia bersama istriku, Nada. Kini, aku berdiri di sini, di kuburan ayahku untuk mengungkapkan apa yang sejak dahulu ingin sekali kukatakan padanya, “Ayah, aku sangat mencintaimu….”
Thery Cholma Bancin
HIDUP NO. 03, 20 Januari 2019