HIDUPKATOLIK.com – AKU masih bingung dengan apa yang sudah terjadi di dalam hidupku. Begitu banyak luka dan rasa perih yang ternyata membuatku menjadi seseorang seperti saat ini. Kini, aku bisa menikmati masa tuaku dengan rasa tenang dan damai.
Bahu yang dahulu menanggung beban yang begitu berat kini bisa bersandar ria di kursi goyang di kala senja mulai menampakkan peraduannya. Perjalanan hidup ini seperti sebuah cerita panjang dan rumit yang ditulis oleh para penyair.
Banyak orang lebih sering penasaran dengan akhir ceritanya, namun tidak untukku. Aku lebih suka menikmati bagaimana alur cerita itu berjalan. Begitu pulalah dengan hidup, bagimana akhirnya itu tidak terlalu penting untukku. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani hidup ini hingga tiba saat berakhirnya.
Aku lahir dari sebuah keluarga yang bisa digolongkan sebagai masyarakat ekonomi kelas rendah. Semasa kecil, aku hanya tinggal bersama ayahku. Ibuku telah lama meninggalkan kami.
Wanita itu membawa adikku dan lari bersama pria lain. Pria itu adalah seorang pengusaha yang berlimpah harta. Pria itu tidak seperti ayahku yang miskin dan selalu dililit hutang.
Sampai saat ini, aku tidak pernah lagi mendengar keberadaan ibu dan adikku. Bagiku, mereka sudah mati. Jujur, aku sangat membenci ayahku. Ia adalah satu-satunya manusia di dunia ini yang tidak layak untuk dipanggil “ayah”.
Ia sering memukuliku dengan tangannya yang hina itu. Kebaikan yang kubuat tak pernah ia hargai. Keinginanku juga tak pernah mampu ia penuhi. Barulah ketika aku mulai tumbuh dewasa, aku mulai berani menantangnya. Aku selalu menyalahkannya atas kepergian ibuku. Bagiku, ia adalah pria yang tidak bertanggungjawab.
Ayahku adalah seorang supir metromini. Gajinya yang tak seberapa itu sering ia habiskan di warung tuak dan bermain judi. Dulu, aku sering memergokinya bercumbu bersama wanita-wanita murahan yang ada di terminal. Bila sudah begitu, tangan ini ingin sekali memukuli wajahnya itu.
Namun apa daya, aku tak mampu melakukannya. Aku tumbuh menjadi anak brandalan di lingkungan jalanan. Terminal adalah rumah kedua bagiku. Ngamen, copet, tawuran, dan bolos sekolah sudah menjadi hal biasa untukku.
Pulang larut malam adalah hal yang sering kulakukan. Biasanya, bogem mentah dari tangan ayah selalu menjadi hadiah manis sebelum aku tidur. Setelah itu, aku akan menangis semalaman di balik bantalku.
Tuhan sungguh tak adil padaku. Aku sungguh iri pada mereka yang hidup bahagia berkat suasana cinta dalam rumah. Aku selalu membandingkannya dengan hidupku yang hina ini. Aku tak pernah merasakan cinta di dalam keluarga.
Yang kurasakan hanyalah perih dan amarah yang setiap harinya semakin bertambah dan bertambah. Ayah, apakah engkau tahu bahwa aku teramat sangat membencimu…?
***
Setelah tamat SMA, aku bekerja menjadi buruh di pasar. Gaji yang kuperoleh memang tak seberapa, namun aku bangga bisa menghasilkan uang sendiri. Uang itu kutabung untuk modal kuliahku kelak. Aku tak mau hidup susah terus menerus, terlebih hidup bersama ayahku. Aku ingin lari dari jerat penderitaan ini.
Aku tak ingin tinggal berlama-lama dengan pria yang kubenci itu. Keinginanku ini membuatku bekerja lebih giat lagi. Di tengah sulitnya hidup yang kujalani, aku juga merasakan cinta monyet layaknya anak-anak remaja pada umumnya.
Aku bertemu dengan seorang gadis yang mampu mengobati sedikit luka di hati ini. Pertemanan kami setidaknya memberi sedikit warna di antara kusamnya perjalanan hidupku. Gadis itu bernama Nada. Ia adalah anak pemilik toko tempat aku bekerja sebagai buruh lepas.
Gadis itu mampu membuatku memiliki harapan untuk hidup lebih baik bersamanya kelak. Kedua orangtuanya pun merestui kami. Namun, aku tak ingin berbangga hati terlebih dahulu. Aku harus bisa menaikkan derajat hidupku agar kelak aku pantas berada di sampingnya.
Aku tak ingin Nada meninggalkanku seperti ibuku. Nada adalah sosok yang mampu mengobati sakit hatiku terhadap wanita, khususnya terhadap ibu. Luka itu tak sepenuhnya sembuh. Wajahku yang selalu tersenyum ketika bekerja akan segera berubah kusam ketika aku pulang ke rumah.
Ya, pria itu lah penyebabnya. Setiap melihat wajahnya, kepalan tanganku selalu memanas. Aku ingin sekali meremukkan wajah yang mulai tampak keriput. Aku telah tumbuh dewasa dan ia semakin rentan.
Aku tak takut lagi pada tangan yang sering mendarat di wajah ini. Menurutku, ia pantas mati menderita sampai hari tuanya. Sudah hampir dua tahun kami tidak pernah berbicara, sejak aku lulus SMA. Mulutku bisu ketika bertemu dengannya.
Aku tak pernah peduli dengan apa yang diperbuatnya, dan kurasa ia juga begitu kepadaku. Rumah sungguh menjadi tempat yang sangat sunyi. Aku datang dan pergi begitu saja dan sosok itu pun hanya diam.
Aku tak pernah tahu apakah ia sudah makan atau apapun. Yang muncul di hati ini hanya rasa benci.
***