Di pagi yang cerah ini kami harus berhadapan dengan mata kuliah yang sangat membosankan bagiku. Kulihat Febrialdi di bangkunya, wajahnya begitu ceria. Tidak ada rasa ngantuk yang ia rasakan, padahal setiap hari ia selalu tidur larut malam.
“Tidur jam berapa semalam, Feb?” Sapaku dari belakangnya.
“Jam satu, Mar.”
“Kamu tidak ngantuk melakukan itu setiap hari.”
“Kamu tahu dari mana? Kamu perhatikan aku tiap malam ya?” Tanyanya dengan mata melotot.
Tiba-tiba dosen masuk dan aku langsung kembali ke tempat dudukku. Aku sangat beruntung belum menjawab pertanyaannya. Aku berharap ia melupakan percakapan pagi ini. Malam ini aku melakukan hal yang sama.
Setelah doa malam, aku memperhatikan Febrialdi di kapel. Namun ia tidak ada di sana. Aku merasa bahwa ia risih dengan ucapanku tadi pagi. Aku tahu pasti ia tidak ingin orang lain melihat ia sedang berdoa.
Kulihat lampu kamarnya menyala menandakan bahwa ia sudah berada di kamarnya. Aku merasa bersalah jikalau ia berhenti berdoa karena aku. “Tuhan, maafkan aku,” batinku.
Pukul 03:00 tepat, tiba-tiba saja aku terbangun. Entah angin apa yang mengajakku tiba-tiba ingin melihat kapel. Kulihat lampu kapel menyala. Aku bergegas menuju ke sana dan dugaanku benar bahwa Febrialdi di dalam kapel ini. Aku kembali menuju kamarku. Aku takut ia melihatku dan marah kepadaku.
Pagi ini aku bangun lebih cepat karena hari ini kami ada ujian tengah semester. Aku ingin mempersiapkan diri agar bisa mendapatkan nilai yang baik. Kubuka jendela dan kulihat lampu kapel sudah menyala tidak seperti biasanya.
Aku segera ke sana dan kulihat Febrialdi jatuh tergeletak di lantai. Aku mengira ia tertidur namun dugaanku salah. Aku membangunkan dia tapi tetap saja ia tidak sadarkan diri. Aku segera berlari menuju kamar Romo Alfred.
Aku menceritakan apa yang telah terjadi. Kami langsung membawanya ke rumah sakit. Febrialdi belum siuman. Dokter mengambil darahnya untuk mengetahui penyakit apa yang di dalam dirinya.
***
Keesokan harinya, hasil tesnya telah keluar. Aku dan Romo terkejut mendengar penyakit yang dialaminya. Rasa tidak menyangka mengalir di pikiran kami. Ia terkena kanker otak stadium empat.
Aku menceritakan kepada Romo bahwa sejak ia masuk komunitas sering sakit.
“Aldi?” sapa Romo setelah ia siuman.
“Iya, Romo?” balasnya dengan suara parau.
“Kenapa kamu menyembunyikan penyakitmu selama ini kepada kami?”
Ia terdiam sekian lama dan akhirnya menjawabnya dengan terpaksa. “Aku sungguh mencintai-Nya. Aku sungguh ingin menjadi imam. Aku sungguh tidak ingin orang lain terbebani karena aku.
Dan aku tidak mau para romo tahu penyakitku karena aku takut para romo akan memperlambat studiku atau mengeluarkan aku,” balasnya sambil menangis.
“Lalu dengan menyembunyikan penyakitmu ini, kamu akan sembuh? Jika kamu jujur kepada para formator, kami akan bersedia membantumu. Kami tidak akan menghentikan panggilan dengan mudahnya. Kehidupan kamu di komunitas sungguh luar biasa. Kamu adalah salah satu formandi kebanggan para formator. Kamu begitu setia dengan gereja, kapel di komunitas kita. Apakah kami akan mengeluarkanmu atau memberhentikan studimu?” cetus Romo Dionsius kepadanya.
Tak ada yang dapat kuucap. Kesedihan telah menyelimuti kami para saudara-saudara di komunitas. Kami sungguh bangga padanya. Selama ini ia berhasil menyembunyikan penyakitnya yang begitu mematikan kepada kami.
Semua itu ia lakukan demi Dia yang tersalib. Di buku hariannya tertulis ‘Terjadilah sesuai dengan kehendakMu’. Kini aku mengerti mengapa ia menulis kata-kata itu di buku hariannya. Ketulusan pengabdiannya sungguh mengajari kami.
Fr. Yohanes Siringoringo
HIDUP NO. 02, 13 Januari 2019