HIDUPKATOLIK.com – Halili, Peneliti Setara Institut, mengatakan bahwa peristiwa pemotongan salib pada saat acara pemakaman Purbayan menunjukkan adanya fenomena gunung es terkait kerapuhan basis sosial toleransi di Yogyakarta. Jika sebelumnya orang mengira masuk ke Yogyakarta akan sarat dengan penghormatan keberagaman namun kejadian Purbayan akan mementahkan, hal itu (www.viva.co.id). Di balik orang-orang yang hendak melihat peristiwa ini sebagai peristiwa biasa, lembaga setaraf Setara Institute menyatakan bahwa hal ini bukan hal yang biasa. Ini adalah preseden buruk untuk toleransi di Yogyakarta dan Indonesia. Ada usaha dari kelompok tertentu untuk menundukkan kelompok yang lebih lemah.
Dalam melihat peristiwa ini, saya menghindari penggunaan kata mayoritas dan minoritas. Dikotomi ini menunjukkan pertentangan langsung antara mereka yang banyak dan mereka yang sedikit. Padahal, dalam praktik masyarakat kita, tidaklah terpisah satu sama lain hanya karena perbedaan agama. Saya menengarai bahwa situasi ini adalah bagian dari proses panjang pelemahan kehidupan bangsa Indonesia. Terlebih rupanya peristiwa ini bukan peristiwa yang pertama. Beberapa bulan lalu aksi bakti sosial yang disiapkan oleh panitia Natal sebuah paroki dilarang untuk dilakukan. Umat di daerah itu merasa tidak aman mengadakan aktivitas keagamaan di rumah. Padahal, banyak orang dari berbagai agama melakukan hal yang sama. Mengapa yang satu boleh sementara yang lain tidak? Inilah yang disebut sebagai diskriminasi.
Dalam peristiwa ini muncul kesaksian tentang hadirnya pihak luar yang mempengaruhi masyarakat setempat. Lebih dari mencari persamaan yang membuka pintu pada kebaikan, orang-orang macam ini memilih memisahkan satu dengan yang lain. Hadirnya pihak luar menyadarkan kita bahwa peristiwa demi peristiwa intoleransi harusnya tidak dilihat secara hitam putih yang memisahkan satu kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Lebih tepatnya kita menemukan politik adu domba di dalamnya.
Bukan Hitam Putih
Menarik bahwa tim Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Keuskupan Agung Semarang menekan pihak berwajib untuk mengusahakan penyelesaian masalah ini sampai pada akarnya. Dalam hal ini, ada harapan agar negara kembali hadir di dalam memberi rasa aman kepada warganya dalam menjalankan kegiatan agama seperti diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Republik Indonesia pasal 29. Kita berjuang untuk kehidupan bangsa yang akan datang, bukan hanya untuk mendapatkan “rasa aman” sementara tetapi rasa aman bagi anak cucu yang akan menghuni bumi ini. Menarik bahwa akhirnya Sultan Hamengku Buwono X sebagai pemimpin tertinggi di Daerah Istimewa, yang sedianya mengatakan permasalahan ini sudah selesai, kemudian meminta maaf atas insiden yang terjadi. Dalam penegasannya diungkapkan tentang adanya pihak yang salah dalam peristiwa ini (news.detik.com). Harapan kita, ini adalah awal dari proses penyelidikan lebih lanjut.
Peristiwa ini menggugah kita untuk menuntut peran pemerintah ketika ada tindakan intoleran. Semoga saja peristiwa ini menjadi pembelajaran! Dengan adanya usaha untuk mencari penegasan pemerintah tentang masalah intoleransi, kita juga belajar tentang proses terbentuknya inklusi sosial. Harapannya masyarakat tidak ada orang yang diekslusikan atau dianggap tidak penting. Tidaklah benar kalau seorang tidak dianggap penting hanya karena agamanya, sukunya atau pun warna kulitnya berbeda. Proses inklusi sosial ini membantu kita untuk mencari cara agar semua bisa merasa menang. Dalam konteks masyarakat kita dikenal upaya musyawarah untuk mencapai mufakat guna memperhatikan keberadaan semua.
Peristiwa yang baru saja terjadi mengingatkan kita bahwa kita tidak berhadapan dengan orang dari agama tertentu, melainkan dengan mereka yang hendak memecah belah persaudaraan bangsa. Nyatanya banyak orang yang berbeda agama pun ingin mendukung perjuangan kita. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, jangan mau diadu domba seperti zaman Belanda. Kita masih punya harapan kalau kita tidak tinggal diam saat persaudaraan di negeri kita dikoyak-koyak. Kalau ada yang masih bisa dibicarakan, kita bicarakan, tetapi kalau memang harus dibawa ke ranah hukum, mengapa tidak!
M. Joko Lelono
HIDUP NO.03 2019, 20 Januari 2019