HIDUPKATOLIK.com – Saya adalah ibu rumah tangga yang sudah dua tahun menikah. Saya dua kali keguguran dan sekarang baru mau program hami lagi. Saya sangat mencintai suami saya. Dia sangat baik dan lucu. Tapi mengapa saya mudah dan sering marah kepadanya? Saya tak bisa mengendalikan emosi. Banyak hal dipendam dan kadang merasa suami tidak peka. Mungkin saya sangat manja. Bagaimana saya mengubah pikiran saya yang sangat sulit menahan emosi ini? Mohon saran dari pengasuh. Terima kasih.
Eveline Fitriani, Bekasi
Ibu Eveline Fitriani terkasih, selamat atas keberuntungan Ibu mempunyai suami yang sangat baik dan lucu. Selamat juga karena Ibu “sangat” mencintai suami. Saya sengaja memberi tanda kutip sebab saya kagum kepada Ibu, yang bersedia mencintai suami dengan kualitas perasaan seperti itu.
Mengenai kegelisahan Ibu: sering marah atau tak mampu mengendalikan emosi, perlu kita lihat penyebabnya. Ada orang yang sering marah karena sangat mencintai orang yang tersebut. Dia memarahi karena ingin orang itu sempurna atau tak celaka. Kita bisa membandingkan orangtua yang sering marah kepada anak-anaknya. Mereka melakukan itu agar anaknya sehat atau baik pada kemudian hari.
Orang marah juga menunjukkan perhatian besar kepada orang yang dimarahi. Kita bisa mengamati, orang yang memarahi kita biasanya sangat tahu kelemahan dan ingin kita lebih baik.
Dalam surat, Ibu menceritakan, suami tak peka. Ada kemungkinan Ibu gampang marah karena ingin suami lebih peka tentang keperluan Ibu, meski sebenarnya suami sudah sangat baik dan lucu kepada Ibu. Ibu juga mengakui, tak bisa mengendalikan emosi dan sangat manja. Apakah orang-orang di sekitar Ibu punya penilaian seperti itu terhadap Ibu? Ataukah pernyataan ini muncul karena Ibu ingin mencintai suami secara sempurna, tanpa kemarahan dan omelan?
Pikiran Ibu seperti itu harus diskusikan bersama suami. Apakah suami memang lebih nyaman atau lebih merasa dicintai saat Ibu tak marah? Ada suami atau istri yang justru lebih bahagia saat pasangan masih mau marah sebagai pengingat perilaku yang harus diperbaiki. Kalau ternyata hal ini juga terjadi kepada suami Ibu, mungkin yang diubah adalah intensitas kemarahan Ibu. Persoalan ini bisa menjadi bahan komunikasi Ibu dengan suami. Bagaimana kalau ternyata suami setuju bahwa Ibu memang tak mampu mengendalikan emosi? Apakah kestabilan emosi Ibu bisa ditingkatkan?
Emosi merupakan perasaan-perasaan yang menyatu, yang sering tak bisa kita sadari satu per satu. Kita tak bisa mengatakan emosi satu lebih baik daripada emosi yang lain, misal, kita tak bisa mengatakan bahagia lebih baik daripada marah. Marah tetap kita perlukan. Bila tak mampu marah maka itu berbahaya karena kita tak memiliki salah satu cara mempertahankan diri dari perlakuan yang tak baik kepada kita. Namun, terus-menerus marah juga tak baik karena bakal membuat kita lelah.
Kemampuan mengendalikan emosi sangat penting. Jika tidak maka emosi tersebut yang mengendalikan kita. Hal itu bakal berakibat buruk, antara lain menimbulkan agresivitas atau sakit bagi pelaku, maupun celaka bagi orang lain.
Ada beberapa cara untuk mengendalikan emosi, misal tiap kali akan marah, kita bisa mengatur nafas. Amarah muncul bersamaan dengan nafas kita yang tak teratur. Saat kita mengatur nafas, kita bisa mengatur emosi agar daya perasaan itu tak sampai meledak-ledak. Cara lain, saat akan marah, kita mencoba memahami orang yang akan kita marahi, mengapa ia melakukan hal itu? Ketika mampu memahami orang lain, kita bisa mengontrol amarah kita. Semoga hubungan Ibu dengan suami semakin mesra. Tetap saling mencintai.
Margaretha Sih Setija Utami
HIDUP NO.03 2019, 20 Januari 2019