web page hit counter
Minggu, 22 Desember 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Demokrasi Berhikmat

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Di “Tahun Berhikmat” KAJ mengamalkan sila keempat Pancasila dan mewujudkan manusia yang bermartabat. Salah satu bentuk bermartabat adalah budaya korupsi hilang.

Tahun ini, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengangkat tema “Amalkan Pancasila: Kita Berhikmat, Bangsa Bermartabat”. Di tahun 2019 ini, umat Katolik dihadapkan dengan “pesta demokrasi” untuk memilih dan menentukan caon pemimpin Indonesia. Bagaimana kaitannya Tahun Berhikmat ini seiring dengan Pemilihan Umum di negara kita? Berikut hasil wawancara HIDUP dengan Ketua Panitia Penggerak Tahun Berhikmat KAJ, Pastor Yustinus Agung Setiadi OFM.

Bagaimana perumusan tema Tahun Berhikmat ini?

Sejak 2016, ketika KAJ me-launching Arah Dasar (Ardas), KAJ mau mewujudkan Kerajaan Allah dengan mengamalkan Pancasila. Maka, setiap tahunnya, kita menggali setiap sila Pancasila. Lalu, dari permenungan sila itu, kita mengangkat tema.

Tahun pertama, tema “Kerahiman Allah”. Latar belakang tema ini karena “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tahun kedua, “Makin Adil Makin Beradab” dari sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Tahun ketiga itu kita sebut “Tahun Persatuan”, dari sila Persatuan Indonesia.

Di tahun keempat ini, kita angkat dari sila keempat. Itu diambil satu kata “hikmat”. Kata hikmat ini yang menjadi fokus kita, bahwa apapun yang kita buat itu dipimpin oleh “Sang Hikmat”. Dalam Gereja dalam Kitab Suci, hikmat itu adalah anugerah dari Allah. Maka dalam rangka mengamalkan Pancasila, KAJ mengangkat tema “Tahun Berhikmat”, sebagai ungkapan dari sila keempat.

Persis di tahun ini, kita bicara tentang demokrasi, kita bicara kerakyatan, pas di situ. Jadi gerak demokrasi, gerak kerakyatan ini harapannya dipimpin oleh hikmat bukan kekuasaan saja. Kalau Gereja sendiri atau umat KAJ berhikmat tentu diharapkan sikap kita, pola pastoral kita, membantu dan mendorong umat ini bermartabat.

Apakah ada anjuran khusus di Tahun Berhikmat ini?

Anjuran khususnya adalah kita mengedukasi mengenai hikmat, mengelola dan bersyukur atas hikmat. Bentuk konkretnya adalah umat Katolik belajar dan berani terlibat dalam menentukan pilihan, mempertimbangkan, dan mengambil keputusan-keputusan dalam hidup bermasyarakat. Terlibat dalam bermusyawarah di RT/RW, desa/kelurahan, atau dengan berbagai macam komunitas lain yang berbeda agama.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Contoh November lalu KAJ mulai mengumpulkan aktivis RT/RW, itu sebenarnya bagian dari persiapan tahun berhikmat. Harapannya, semakin banyak umat Katolik mau terlibat dalam pelayanan di tengah masyarakat.

Bagaimana kaitannya Tahun Berhikmat dengan Tahun Politik?

Kaitannya sangat kuat, hikmat itu proses di mana orang menerima karunia dari Allah, kemudian mempertimbangkan, kemudian mengambil keputusan. Berani memilih entah si A atau si B. Itu dia kan berproses di situ. Ini justru kita berdampingan ya, di mana kita tahun ini ada Pileg dan Pilpres, dan di KAJ Tahun Berhikmat. Sehingga bagaimana mampu memilih pemimpin yang berhikmat, dan membangun bangsa yang bermartabat.

Tahun ini khusus di empat bulan pertama, Gereja mendorong di paroki-paroki ada edukasi tentang Pileg dan Pilpres. Jadi berkaitan dengan berhikmat, dengan kemampuan, dengan kesetiaan merenungkan, mempertimbangkan, memutuskan, dan memilih itu konkretnya adalah edukasi berkaitan dengan Pileg-Pilpres itu. Teman-teman panitia penggerak tahun berhikmat di paroki sudah memikirkan itu.

Memang di setiap paroki diharapkan paling tidak diadakan edukasi satu kali. Dari edukasi itu, paroki mendorong agar umat benar-benar mau terlibat dalam pesta demokrasi ini. Misalnya, jika ia (umat-Red) diminta sebagai anggota KPPS, atau di TPS tertentu harus berani terlibat. Jangan sampai tidak terlibat, tidak ikut rapat di RT, dan sebagainya.

Selain itu, konkretnya anjuran pada Kamis Pekan Suci, umat Katolik jangan pergi ziarah ke luar negeri. Karena pada 17 April itu adalah waktu Pemilihan Umum 2019. Kalau orang Katolik pergi dari Minggu Palma sampai Paskah, atau ziarah ke mana saja, pastinya dia kan tidak ikut Pemilu. Maka kita memberikan anjuran bahwa pada tanggal 17 April harus coblos, jangan pergi. Pekan Suci tahun ini tidak perlu pergi ke luar negri.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Apa tantangan terbesar?

Yang terutama menjaga persatuan itu. Tahun 2018 itu kan Tahun Persatuan. Tahun ini kita ditantang untuk menjaga persatuan itu di tengah perbedaan. Karena bisa jadi pilihan orang Katolik tidak sama, atau pilihan kita dengan tetangga kita tidak sama. Nah bagaimana kita tetap bisa bekerja sama, bisa tetap saling menyapa, tidak tercerai-berai, itu tantangannya.

Mempersiapakan Pileg-Pilpres ini dan setelahnya. Kami menyebutnya mengelola hikmat. Jadi mengelola hikmat itu mampu menerima situasi yang ada namun tetap mengupayakan kesejahteraan, persatuan dan kedamaian. Misalnya pilihan kita beda dengan yang lain, dan pilihan kita kalah, bisa jadi kita sedih, makin apatis, atau makin tidak peduli. Itu tidak akan bisa bersatu dengan orang lain. Sebaliknya kalau pilihan kita menang, tetapi pilihan teman kita kalah, bagaimana saya tetap berteman dengan dia sehingga dia tidak sakit hati.

Bisa saja dalam satu lingkungan ada gesekan karena perbedaan pilihan. Nah itu yang mesti dilihat. Yang sudah ada bermunculan di antara kelompok Katolik mulai terbentur karena perbedaan partai politik. Ada juga yang menggunakan salah satu paroki untuk mencari dukungan dan seterusnya. Itu baru benih kecil yang ada. Apakah akan berkembang atau tidak, itu yang menjadi tantangan kita.

Pandangan KAJ tentang bangsa yang bermartabat?

Pertama, bangsa yang bermartabat itu adalah bangsa yang mengingat sejarahnya atau menghargai sejarah itu sendiri. Jadi Bapak Uskup Ignatius Suharyo sering menyebut sebagai ingatan sejarah, ingatan bersama. Bangsa yang menghargai ingatan bersama. Kedua, bangsa yang setia yang memiliki komitmen terhadap tujuan mengapa bangsa ini dibangun. Artinya kembali lagi mengapa NKRI ini dibangun.

Bermartabat itu konsekuen, komitmen akan tujuan awal berdirinya bangsa ini. Maka kita bermartabat berarti membangun bangsa itu. Bersyukur atas masa lalu, kemudian mengupayakan segala yang baik pada saat ini demi masa depan yang lebih cerah. Itu dapat terwujud kalau pemimpin-pemimpinnya berhikmat. Artinya tidak menggunakan kekuasaan semau sendiri, pemimpinnya taat pada asas atau hukum yang ada, masyarakatnya juga demikian.

Baca Juga:  Ketua Yayasan Brayat Minulya Sr. M. Carola Sugiyanti, OSF: 75 Tahun RS Brayat Minulya Surakarta: Dalam Pelukan Keluarga Kudus

Salah satu bentuk bermartabat adalah budaya korupsi hilang. Penghargaan dan kesediaan untuk berupaya menciptakan kelestarian lingkungan dikuatkan, persatuan antara perbedaan semakin diteguhkan. Kalau bangsa bermartabat, Bapak Uskup seringkali menyebut sebgai bangsa yang berjalan menuju kesucian yang sempurna.

Himbauan khusus untuk anak muda?

Orang muda Katolik harus bersedia peduli dan terlibat. Dalam situasi bangsanya, masyarakatnya dan apa yang sedang berkembang dalam negri ini. Jangan hanya menonton tetapi ambil bagian untuk bersama-sama menentukan arah bangsa ini. Jangan sampai anak muda Katolik apatis. Mencoblos menentukan pilihan, termasuk mengawasi agar Pemilu ini tidak terjadi kecurangan.

Bagaimana baiknya menghadapi perbedaan politik?

Kalau terjadi sesuai yang tidak kita harapkan, kita harus berpacu bahwa semua hal yang terjadi ini atas kehendak Tuhan juga. Peristiwa apapun walau tidak seperti apa yang kita harapkan pasti itu ada kehendak Tuhan yang ingin Tuhan tunjukkan kepada kita. Mengakui, mengimani, bahwa Tuhan memang berkehendak begitu. Kita perlu mensyukuri apapun yang terjadi, kemudian bertanya kepada Tuhan, apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Jangan sampai kita kalah, kita merusak. Kita kalah harus melihat bahwa mungkin di situ, Tuhan sedang berkehendak sesuatu untuk kita. Lalu kita bersyukur dan mengolah peristiwa itu, terkait maksud di baliknya. Meresapkan, merenungkan, mempertimbangkan. Bukan memaksakan kehendak sendiri.

Harapan?

Semua umat terlibat dalam gerak membangun bangsa yang baik dalam Pemilu. Membuat Gereja semakin dekat dengan masyarakat, dengan bangsa. Semoga cara kepemimpinan Gereja itu menginspirasi hidup bermasyarakat kita. Yang mendengarkan, menaruh perhatian, dan tidak koruptif, yang memberi inspirasi bagi masyarakat kita.

Marchella A. Vieba

HIDUP NO.03 2019, 20 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles