HIDUPKATOLIK.com – MASA Orde Baru merupakan masa kelam bagi etnis Tionghoa di Indonesia. Pemerintah saat itu mengeluarkan peraturan mengenai larangan penerbitan dengan bahasa serta aksara Tiongkok, perayaan keagamaan dilakukan hanya dalam keluarga, serta adanya aturan mengganti nama bagi etnis Tionghoa Indonesia.
Tragedi kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa 13-14 Mei 1998 merupakan salah satu rangkaian peristiwa yang terjadi menjelang lengsernya Soeharto dan berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Salah seorang aktivis reformasi, Azmi Abubakar, melihat masyarakat ingin menumbangkan rezim Orde Baru namun seolah digerakkan untuk berhadapan dengan etnis Tionghoa.
Dalam talkshow yang diselenggarakan oleh Profesional dan Usahawan Katolik (PUKAT) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), di Sanggar Prathivi, Jumat, 1/2 lalu, Azmi mengatakan stereotipe yang dihadapkan pada etnis Tionghoa merupakan akibat dari provokasi yang tersebar luas.
“Masyarakat tidak mempunyai ingatan apa-apa tentang etnis Tionghoa, namun Tionghoa dilabeli sebagai mereka yang suka mencari untung sendiri, dahulu berpihak pada Hindia Belanda, dan diamini begitu saja,” ujar pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa ini.
Meski begitu, pada saat ini setiap orang jangan sampai meninggalkan identitas budaya masing-masing. Cara berpikir bahwa untuk menjadi Indonesia adalah dengan menanggalkan identitas budaya asal adalah keliru menurut Azmi.
Suatu etnis, ketika ingin menjadi Indonesia yang seutuhnya, ia sebut harus memahami etnis dan budayanya sendiri terlebih dahulu. “Dengan memahami dirinya, di situlah ia menjadi Indonesia. Bukan dengan menanggalkannya. Cara ber-Indonesia ini yang perlu kita tanamkan.”
Hermina Wulohering
HIDUP NO.7 2019, 17 Februari 2019