HIDUPKATOLIK.com – “Wong Katolik aja ndelik wae, melu mbangun masyarakat lan negara Pancasila kanti aktif lan positif.” Ini salah satu pesan Mgr Albertus Soegijapranata SJ kepada umat Katolik. Kalau diterjemahkan, berarti,“ Orang Katolik jangan sembunyi saja, ikutlah membangun masyarakat dan negara Pancasila dengan aktif dan positif.” Uskup pribumi pertama dan uskup pertama itu, tidak berhenti sampai di situ. Ia mengatakan, umat harus “Seratus Persen Katolik, Seratus Persen Indonesia.”
Uskup Soegija – demikian ia disapa – tak sekadar beretorika. Pelbagai macam upaya ia lakukan untuk membela bangsanya yang dibelenggu pemerintahan kolonial Hindia-Belanda dan masa penjajahan Jepang yang mengobarkan Perang Asia Timur Raya. Ia memilih berada bersama rakyat (umat), mendorong mereka mendukung Republik Indonesia. Tahun 1946, ia memindahkan pusat penggembalaannya dari Semarang ke Yogyakarta agar ia bisa lebih dekat berkomunikasi dengan Soekarno – Hatta, dan pemimpin RI lain yang saat itu diungsikan dari Jakarta ke Yogyakarta.
Ya! Uskup Soegija adalah representasi paripurna keterlibatan aktif Gereja Katolik di Nusantara ini, tanpa menomorduakan Ignatius Slamet Riyadi, Agustinus Adisoetjipto, Yosaphat Soedarso, Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono, Karel Satsuit Tubun, Tjilik Riwut, Frans Seda, Romo YB Mangungwijaya, dan lain-lain. Ketika tahun ini kita mengenang sekaligus hendak memaknai satu abad pergerakan umat Katolik, semangat perjuangan merekalah yang seharusnya menginspirasi langkah-langkah kita, khususnya kaum awam. Kendati kita tidak perlu mendikotomi antara gerakan kaum awam dan kaum klerus. Sejarah mencatat, hierarki dan umat Katolik Indonesia, dari masa ke masa, tampak runtang-rantung. Mulai dari Perkumpulan Sosial Umat Katolik (PSUK), Kongres Umat Katolik Seluruh Indonesia (KUKSI), Sidang KWI-Umat, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI). Begitu juga dengan Partai Katolik. Lahirnya Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) tidak bisa dilepaskan dari keprihatinan sekaligus wujud keterlibatan awam Katolik terhadap kondisi sosial-politik bangsa. Saat terjadi krisis moneter tahun 1997, KWI mengeluarkan Surat Gembala “Keprihatinan dan Harapan”. Surat ini mendapat sorotan kalangan luas, terutama pemerintah Orde Baru. Mengapa? Dengan tegas, KWI mengatakan, telah terjadi kemerosotan moral di segala bidang kehidupan. Surat itu memang dikeluarkan oleh hierarki (KWI). Namun, di balik layar, sejumlah awam turut mempersiapkan dan merumuskan konten surat itu.
Pembaca, keterlibatan umat Katolik sebelum, sesudah kemerdekaan, dan masa kini, dalam berbangsa dan bernegara, adalah suatu keniscayaan yang tak terbantahkan. Berjuang untuk kepentingan umum (bonum commune), menegakkan keadilan, menjungjung tinggi martabat manusia, memelihara persatuan dalam kebhinnekaan, dan mendorong demokrasi yang berkualitas di negeri ini. Mengutip Mgr Soegija, tugas umat Katolik Indonesia adalah membuat Indonesia yang baik di hadapan Tuhan dan manusia. Dan, tantangan umat Katolik – bersama semua orang berkendak baik di negeri ini – ke depan, tidaklah lebih ringan!
HIDUP NP.07 2019, 17 Februari 2019