HIDUPKATOLIK.com – Salah satu kenangan manis dari tahun 2018 yang sudah kita tinggalkan adalah terselenggaranya Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) I Katolik tingkat Nasional di Maluku. Dikatakan kenangan manis karena kegiatan itu mampu mengumpulkan emam ribu peserta dari 34 provinsi selama 6 hari berturut-turut di Kota Ambon.
Hasilnya? Sama sekali tidak jelek. Lomba yang meliputi 12 mata lomba berjalan lancar dan menghasilkan pemenang-pemenang yang “diakui” oleh sesama peserta. Ini mengindikasikan kualitas penjurian yang mumpuni. Upacara pembukaan dan penutupan yang megah, juga mempertinggi mutu Pesparani yang pertamaini.
Jangan lupa pula, selama lomba berlangsung, juga diadakan pameran, panggung seni, Musyawarah Nasional serta darmawisata ke berbagai tujuan wisata di seputar Ambon. Hal ini menambah padat acara, membuat 6 hari di kota yang pernah hancur akibat konflik berdarah itu berlalu amat cepat.
Selain keberhasilan penyelenggaraan, muncul pula suatu inspirasi dari penyelenggaraan kegiatan tersebut dan tengah didalami oleh Pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Nasional (LP3KN), sebagai Panitia Tetap Pesparani Katolik Nasional. Inspirasi tersebut adalah, bahwa di tengah besarnya animo bernyanyi dan banyaknya umat Katolik yang mampu bernyanyi dengan baik, ternyata sedikit sekali umat yang mengembangkan bakatnya terkait lagu dan musik Gereja. Ini terlihat dari sedikitnya umat yang mumpuni sebagai dirigen, juri, dan komponis atau pengarang lagu Gerejani maupun lagu rohani Katolik.
Sempat menjadi kebingungan di kalangan LP3KN sebelum Pesparani dimulai, perihal mencari juri yang mumpuni. Ini mengingat umat yang mampu untuk itu ternyata sudah banyak yang terlibat di berbagai kontingen provinsi, entah sebagai dirigen atau ketua kontingen. Untunglah akhirnya LP3KN berhasil mengumpulkan orangorang yang dianggap cakap dan berintegritas sebagai juri. Beberapa di antara mereka bahkan sudah berusia lanjut, seperti halnya Romo Antonius Soetanta SJ.
Situasi di atas memperlihatkan kluster umat yang memiliki kemampuan lebih di bidang lagu dan musik Gerejani ternyata kecil sekali. Sehingga, situasinya mirip 4L (“lulagilulagi”). Ini sungguh tidak sebanding dengan besarnya animo bernyanyi dan jumlah penyanyi itu sendiri.
Terdapat harapan, merespons fakta tersebut, Pengurus LP3KN dapat mendirikan semacam akademi musik dan lagu Gerejani serta rohani yang memiliki visi mencetak dirigen, juri atau pun pencipta lagu rohani atau pun lagu Gerejani yang handal. Mereka diharapkan menjadi elite dunia musik dan lagu Gereja serta rohani Katolik sekaligus menjadi driver bagi pengembangannya kemudian.
Selanjutnya, ternyata masih ada persoalan tentang ciri dari musik dan lagu rohani serta Gerejani Katolik tersebut. Apakah ada ciri khusus?
Kembali melihat pengalaman Pesparani Ambon, ternyata ada yang menarik perhatian tidak hanya bagi peserta, tetapi juga para uskup dan imam yang hadir. Hal yang dimaksud adalah terdapatnya semangat kebangsaan pada lagu-lagu yang dinyanyikan.
Semangat tersebut tercermin pada pilihan lagu saat upacara pembukaan dan penutupan maupun saat lomba itu sendiri. Pilihan lagu rohani yang diselingi lagu bernuansa kebangsaan menjadikan suasana terasa heroik. Apalagi bila dikaitkan dengan situasi kebangsaan dewasa ini yang terancam perpecahan gara-gara intoleransi dan radikalisme yang meningkat.
Satu pemandangan menarik terjadi ketika, pasca Pesparani, Presiden Jokowi menerima rombongan uskup dan rombongan Kaltim selaku juara umum perhelatan akbar tersebut. Saat para penyanyi cilik menyanyikan lagu Pancasila Rumah Kita karya Franky Sahilatua, banyak hadirin menitikkan air mata. Terasa betul makna dari semangat “100% Katolik, 100% Indonesia”.
Nampaknya, itulah arah yang tepat dari perkembangan musik dan lagu Gerejani dan rohani di Indonesia. Yakni, lagu dan musik berisi kidung pujian dan syukur yang dipadukan dengan semangat kecintaan kepada bangsa dan negara.
Adrianus Meliala
HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019