HIDUPKATOLIK.com – Kerapkali ia dianggap wanita penggoda karena mampu meluluhkan hati orang kaya untuk membantu orang miskin. Kesetiaannya merawat orang miskin membuat ia digelari orang kudus.
Kaya harta, tapi miskin kepedulian. Begitu kesan seketika dilihat oleh Suster María Romero Meneses saat pertama kali menginjakkan kaki di Kosta Rika tahun 1931. Di Negara Amerika Tengah ini, hati Suster María masygul menyaksikan adegan kematian orang miskin. Di pinggiran Kota Don Josè, Ibukota Kosta Rika, orang miskin meninggal tanpa manusiawi.
Sementara yang miskin makin miskin, orang kaya terus berfoya-foya. Bahkan ada ungkapan ketika itu, Tuhan sedang tidur ketika orang kaya membuka sampanye dan membuka mata ketika orang miskin meninggal dunia. Artinya lebih bernilai membuka sebotol sampanye ketimbang mengurus orang miskin.
Suster María tak ingin terus dikejar suara hatinya. Menurutnya, kepedulian adalah kewajiban setiap orang Kristen. Ia setia mengamalkan pesan Paulus, “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu, demikian kamu memenuhi hukum Kristus (Gal. 6:2). Ia sadar kemiskinan harta bukan takdir Allah tapi ketidak pedulian manusia.
Langkah Sulit
Lewat berbagai cara, Suster María lalu membantu orang miskin di Kosta Rika. Ia mendirikan Pusat Distribusi Makanan bagi tuna wisma. Ia juga membangun pusat rekreasi bagi fakir miskin di San Josè.
Biarawati dari Kongregasi Puteri-puteri Maria Penolong Umat Kristiani (Figlie di Maria Ausiliatrice/FMA) ini mampu menggetarkan hati orang-orang kaya di Kosta Rika. Ia bekerja keras memperkenalkan rasa kepedulian kepada orang-orang kaya yang hatinya tertutup kenikmatan duniawi. Ia mengajak keluarga-keluarga kaya untuk belajar berbagi kepada orang miskin. Tak ayal, banyak wanita kaya yang merogoh saku mereka tanpa berpikir.
Kelahiran Granada, Nikaragua, Spanyol,13 Januari 1902 melihat Kosta Rika sebagai negara “miskin” belaskasih. Maka bermisi ke Kosta Rika, seperti mimpi di siang bolong. “Ke Kosta Rika kita hanya menghabiskan tenaga karena pasti tidak ada yang peduli,” ungkapnya dalam tulisan awal sebelum bermisi.
Bertemu dan mengenal orang-orang Kosta Rika bukan suatu yang baru bagi Suster María. Semasa kecil, ia memiliki tetangga orang-orang Kosta Rika yang juga hampir tidak peduli dengan kehidupan menggereja. Karena itu saat beberapa temannya memilih ke Kosta Rika, María hanya menertawakan pilihan itu. Ia lebih tertarik bermisi ke Brazil atau Argentina di mana banyak orang akan “mengkultuskan” para biarawan-biarawati.
Tahun 1920, saat menjadi yuniorat di Biara Salesian Nikaragua, Suster María tertarik dengan cerita rekan-rekannya yang bermisi ke Amerika Latin. Mereka bercerita betapa mereka diterima dan diperlakukan begitu baik. Suster María terkesan mendengar cerita bahwa di Brazil, seorang biarawati tidak perlu membayar saat naik angkutan umum. Sedangkan di Argentina, ada umat yang rela tidak makan demi suster mereka. Cerita-cerita manis ini membuat Suster María berharap kelak ditugaskan ke sana.
Sesaat setelah mengucapkan kaul perdana, Suster María ditugaskan di El Salvador pada 19 Maret 1920. Setelah mengikrarkan kaul keduanya pada 16 Januari 1921, ia tertantang dengan kata-kata Pastor Emilia Bottari SDB, pembimbing spiritualnya. “Meskipun masa sulit akan datang dan kamu akan merasa hancur berkeping-keping, setialah dan kuatlah dalam panggilanmu,” begitu Pastor Emilio berpesan.
Kata-kata ini sontak mengubah arah pastoral Suster María. Ia tidak ingin hidup dalam kenyamanan karena status, kedudukan, kekayaan, atau apapun. Ia berpikir kata berkeping-keping berarti membagikan diri kepada semua orang, khususnya orang miskin. Pesan ini diingatnya sampai mengucapkan kaul kekalnya pada 6 Januari 1929 di Biara Suster Salesian Managua, Nikaragua.
Suster María tak ingin zona nyaman itu dinikmati sendiri. Ia ingin seperti Santo Yohanes Don Bosco dan Santa Maria Dominika Mazzarello, pelindung Salesian yang mau berbagi kenyamanan kepada orang miskin. Atas banyak pertimbangan, ia meminta agar ikut dalam rombongan misionaris ke Kosta Rika tahun 1931.
Di sana, Suster María menjadi guru Seni Musik di Sekolah Puteri Salesian. Ia pandai bermain biola dan piano membuat dia sangat digemari para muridnya. Ia setia mengajarkan mereka tidak saja pandai dalam bermusik tetapi memiliki hati yang peduli kepada sesama. Keteladan dan kesucian hidupnya membuat sejumlah besar anak muridnya mengikuti jejaknya menjadi biarawati.
Kata-kata Harapan
Menghabiskan beberapa tahun sebagai pendidik bagi María adalah pekerjaan yang baik tetapi lebih baik lagi bila merasakan getiran hati umat miskin. Sebagai guru, Suster María kerap mengajarkan anak-anak untuk melakukan aksi sosial untuk mendulang massa sekaligus meningkatkan rasa iba orang-orang kaya. Tetapi sepertinya harapan itu tidak tercapai malahan masyarakat Kosta Rika tetap saja sibuk berfoya-foya. “Rahmat Allah seakan jauh dari keluarga-keluarga Kristen Kosta Rika,” keluhnya suatu hari.
Agar pelayanannya menjadi lengkap, Suster María lalu memutuskan bergabung dengan beberapa sahabatnya untuk membantu orang miskin. Ia sangat mahir mengambil hati keluarga-keluarga kaya agar mau membantu orang miskin. Ia dijuluki hermana seductora, ‘suster penggoda’. Hal ini karena kepiawaiannya merayu orang kaya agar membantu orang miskin. Seakan dari mulutnya keluar kata-kata harapan, bahwa akan ada bantuan. Orang kaya pelit sekalipun pasti mau membantu orang miskin asalkan Suster María yang meminta.
Saat Perang Dunia II (1939-1945) masih berkecamuk, suster penuh cinta ini mendirikan pusat rekreasi bagi orang miskin di San Josè. Tempat ini menjadi ruang sharing dan revolusi mental bagi kaum miskin. Kepada anak-anak miskin yang umur produktif Suster María meminta agar mencari pekerjaan yang layak. Hasil kerja mereka digunakan membantu fakir miskin yang sudah uzur. Tempat ini menjadi “sekolah pertama” bagi anak-anak miskin.
Tahun 1951, Suster María mendirikan Pusat Distribusi Makanan bagi para tuna wisma dan fakir miskin. Kemudian, ia juga mendirikan sekolah khusus anak putri bagi anak-anak telantar tahun 1961. Ia lalu mendirikan sebuah klinik kesehatan gratis tahun 1966. Lalu pada tahun 1973, ia mengorganisir pembangunan tujuh rumah penampungan di San Josè yang digunakan untuk menampung para tuna wisma.
Suster María dikenang sebagai guru yang hebat, manajer yayasan dan penggalang dana yang cekatan. Ia juga mampu menjadi penginjil berbakat yang membawa suka cita rohani bagi para pendengarnya.
Darah kepedulian kepada orang miskin diturunkan dari sang ayah, Félix Romero Arana dan ibunya, Ana Meneses Blandon. Sebagai menteri dan pejabat tinggi dalam pemerintahan, Romero sangat peduli orang miskin. Ia selalu meminta kepada delapan anaknya agar tidak melihat orang miskin sebagai kaum terbuang. Tidak ada harta yang abadi selain hati yang mau berbagi kepada orang miskin. “Harta yang abadi adalah bela rasa kepada orang lain”, ujarnya.
Suster María terus menjadi wanita yang tangkas bermain biola dan piano sekaligus pandai merawat orang miskin. Ia tulus memeluk dan memperlakukan mereka yang meninggal secara manusiawi. Ia terus berkarya walau kesehatannya terus memburuk. Penyakit masa kecilnya kerusakan jantung menjadi kambuh memaksanya untuk melayani dengan berhati-hati. Karya-karyanya terus menghidupkan banyak orang miskin hingga maut menjemputnya karena serangan jantung pada 7 Juli 1977.
Suster María meninggal sebelum sempat dirawat di Rumah Sakit Salesian Las Peñitas, León, Nikaragua. Jenazahnya dikirim kembali ke San José dan dimakamkan di kapel biara Salesian. Ia dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 14 April 2002 dan pestanya dirayakan pada setiap tanggal 7 Juli.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019