HIDUPKATOLIK.com – Siapakah orang majus itu dan apakah kepentingan mereka? Apa yang mendorong mereka?
Budi Purwanto, Jakarta
Ensiklopedi Perjanjian Baru dari Xavier Leon-Dufour menuliskan bahwa kata majus (Magos – Yunani) adalah nama suku Persia yang menjalankan fungsi keimaman dan dianggap ahli dalam mengartikan gejala-gejala di langit. Sementara Raymond Brown, ahli Kitab Suci, menyebut mereka sebagai penganut Zoroaster. Penggambaran ini berangkat dari tradisi yang berakar di zaman itu, baik di Timur Tengah maupun Yunani tentang kata majus: peramal bintang, peramal nasib, imam atau tukang sihir. Pengertian ini mirip dengan gambaran orang majus dalam Injil Matius: orang pandai, penglihat bintang, orang asing dan dari timur. Namun Leon-Dufour menolak kalau mereka dikatakan sebagai raja.
Tidak jelas dari mana asal mereka, sebab hanya dikatakan dari timur. Kita tidak akan masuk ke dalam perdebatan soal ini. Kita berangkat dari data yang diberikan Matius dalam injilnya: orang majus dari timur datang ke Yerusalem setelah melihat bintang, yang ditafsirkannya sebagai tanda kelahiran seorang raja, sehingga mereka datang hendak menyembah-Nya. Daro timur, daerah asing, tentu di sini menggambarkan tentang mereka yang sebenarnya tidak mengenal tradisi Kitab, tidak hidup dalam tradisi bangsa yang menantikan kedatangan Mesias. Kalau penggambaran ini dilanjutkan dalam kriteria penerimaan-penolakan, kita bisa mendapatkan makna kisah: Yesus diterima oleh orang asing namun ditolak oleh bangsa sendiri; Mesias terjanji dicari oleh bangsa asing, tapi tidak diterima oleh kaumnya sendiri. Matius memperlihatkan dinamika ketegangan: penolakan dan penerimaan, berakar pada tradisi dan pembaharuan yang menggoncangkan.
Orang majus, yang tidak mengenal Kitab, atau bisa kita katakan sebagai orang kafir, membaca tanda lewat melihat bintang. Akan tetapi, tanda-tanda alam belaka tidaklah cukup untuk mengenali pewahyuan Ilahi. Oleh karena itu orang majus diajak mengenal pewartaan akan penjelmaan dari tradisi Kitab Suci sebagaimana dibacakan oleh para imam dan ahli Taurat di istana Herodes. Menariknya, mereka yang mengenal tradisi Kitab dan menemukan teks tentang kelahiran seorang pemimpin di Bethlehem, dari kutipan Kitab Nabi Mikha (lih Mi 5:1) setelah menemukan dan membacanya, tidak berangkat pergi ke Bethlehem, sedangkan tiga orang majus tersebut berangkat ke sana, dan menyembah Dia, setelah menemukan-Nya. Orang majus datang untuk menyembah, dikontraskan dengan Herodes yang datang untuk membunuh. Sikap menyambut diperbandingkan sikap penolakan dengan membinasakan.
Kisah tersebut seakan menjadi pengantar bagi kisah-kisah selanjutnya. Yang terdekat adalah kisah pengungsian ke Mesir dan pembunuhan anak-anak oleh Herodes (lih Mat 2:12-18), kisah yang tidak ditemukan dalam ketiga Injil lain. Akan tetapi jauh setelah peristiwa itu, kita akan mendapatkan kisah konflik serta penolakan, bahkan penghukuman mati, atas Yesus oleh para ahli Taurat dan para imam. Selanjutnya, sosok orang majus dari timur, seakan menjadi pengantar bagi kenyataan kemudian bahwa Yesus Kristus lebih diterima oleh bangsa-bangsa asing, oleh mereka yang belum mengenal Allah. Sementara itu Dia ditolak oleh bangsa Yahudi, dan kedatangan-Nya disertai dengan kematian justru oleh bangsa-Nya sendiri. Dari sini kita lalu bisa mulai memahami apa yang tertulis di bagian akhir Injil Matius, saat Yesus naik ke Surga, dengan perintah, “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku!”. Sebenarnya di bagian awal Injil Matius kita sudah diajak masuk ke dalam intensi tersebut, bagaimana diperlihatkan dalam silsilah Yesus nama-nama yang dikategorikan berasal dari bangsa kafir.
Intensi Kitab Suci adalah keselamatan. Di dalamnya diceritakan bagaimana Allah bertindak menyelamatkan. Pemahaman akan sejarah keselamatan dalam tradisi Kristiani senantiasa menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat. Injil Matius memperlihatkan sosok Yesus sebagai pribadi yang hidup dan berkuasa, penuh wibawa dan kuasa. Lewat Yesus yang lahir di Bethlehem, Putera Allah yang menjelma, karya keselamatan tersebut dilaksanakan, di tengah kenyataan penolakan akibat dari keberdosaan umat manusia.
Oleh karena itu kita terutama tidak diajak bertanya tentang apa kepentingan mereka, apa yang mendorong mereka. Persoalan yang lebih penting adalah apa kepentingan serta maksud Matius mencantumkan kisah tersebut. Matius dengannya hendak berbicara tentang karya keselamatan Allah yang dikerjakan dalam diri Yesus Kristus, sebagai karya keselamatan untuk semua bangsa, figur orang majus dihadirkan Matius untuk memperlihatkan itu. Diperlihatkan motif dasar yang melandasi: pencarian lewat tanda-tanda alam. Namun langkah pencarian tersebut tidak mencukupi, sebab perlu pula mengenali tradisi Kitab Suci, pewahyuan tentang Allah yang bertindak menyelamatkan umat manusia. Akan tetapi kedua langkah tersebut masih perlu disertai dengan langkah penting berikutnya: datang kepada-Nya.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019