web page hit counter
Selasa, 5 November 2024
spot_imgspot_img

Top 5 This Week

spot_img

Related Posts

Beato Henri Vergès, Marist (1930-1994) : Bruder “Muslim” dari Aljazair

5/5 - (1 vote)

HIDUPKATOLIK.com – Ia bermisi di wilayah Aljazair usai pendudukan Perancis atas wilayah itu. Ia memperkenalkan gerakan ekumenis lewat pendidikan kepada anak-anak didiknya.

Emil Abdelkader Prize for Peace 2018 diberikan kepada Uskup Agung Emeritus Aljazair Mgr Hendri Teissier. Asosiasi Ala Khouta El Emir yang menyelenggarakan kegiatan ini, memilih Mgr Teissier karena perannya dalam menciptakan dialog ekumenis Muslim-Kristen di Aljazair (Republik Demokrasi Aljazair). Bagi orang Muslim Aljazair, Mgr Teissier tak sekadar gembala, tetapi sahabat. Mereka mengenalnya sebagai ikon perdamaian Aljazair. Bila ada musuh, selalu ada Mgr Teissier. “Sudut-sudut negara Aljazair selalu aman setiap ada Teissier,” tulis Algerian Press Service (APS), November 2018.

Menteri Kebudayaan Aljazair Azzeddine Mihoubi mengatakan Emil Prize diberikan sehubungan dengan ulang tahun ke-186 Asosiasi Khouta Aljazair. Azzedine menambahkan penghargaan ini diberikan dalam Perayaan Moubayaâa, “Kesetiaan” untuk tokoh-tokoh penting yang tak bosan mengajarkan perdamaian. “Kesetiaan pada akhirnya mengajarkan semua orang bahwa perdamaian adalah pintu kebahagiaan,” ujar Azzeddine dalam APS.

Sementara itu, Direktur Emil Prize, Charles Raymond menegaskan, bahwa penghargaan ini diberikan sebagai bentuk penghormatan masyarakat Aljazair terhadap perjuangan Gereja Katolik. Di awal tahun 1994 -1996, Gereja Katolik menjadi “musuh” besar Muslim. Banyak orang menjadi martir kala itu, termasuk seorang biarawan Little Brother of Mary (Marist) yaitu Bruder Henri Vergès. Bruder Henri bersama seorang biarawati dari Little Sisters of the Assumption Sr Paule Helené Saint Raymond, keduanya dibunuh pada 8 Mei 1994.

Cari Simpati
Bruder Henri tiba di Aljazair 6 Agustus 1969. Kala itu, Aljazair menjadi “pemukiman” tertua di dunia. Ibu kota moderen Algiers, tak ubahnya dengan kota mati, diikuti kota-kota lain seperti Annabah, Aljir, Bajayah, Bordj Bou Arreridj. Orang hidup dalam rasa takut baik antara minoritas Kristen terhadap Muslim juga Muslim terhadap pemerintah. Aljazair yang kala itu menjadi negara terbesar di Afrika banyak meninggalkan jejak perang.

Negara ini memiliki sejarah politik yang menarik. Selama bertahun-tahun Aljazair diperintah mulai dari Kerajaan Romawi, Suku Vandal Jerman, Bizantium, Spanyol, Turki, kemudian Perancis. Negara terakhir ini menguasai Aljazair sekitar tahun 1830 sampai mencapai kemerdekaan tahun 1962. Di masa Perancis, sedikitnya satu juta pendudukan Aljazair (sebutan untul penduduk Aljazair/Aljazairn-Red) terbunuh karena membela kemerdekaan.

Pendudukan Perancis di Aljazair bermula dari puluhan ribu pemukim dari Perancis yang menyebrangi Laut Tengah untuk bertani di wilayah itu. Lambat laun, penyitaan tanah atas Aljazair menjadi kebiasaan para pemukim. Di satu sisi, ada pertukaran budaya lewat perkawinan, tetapi di sisi lain meninggalkan semangat diskriminasi, dari orang Kristen kelas atas yang diwakili Perancis, kepada masyarakat Muslim Aljazair. Gesekan Perancis-Aljazair ini membuat Gereja pun tak sebagian diterima dengan baik. Demi mendapatkan pengakuan, kekuatan Muslim memperkuat akar rumput guna menggulingkan kekuasaan Kristen.

Maka itu, kehadiran biarawan berkebangsaan Perancis menjadi tantangan baru bagi Bruder Henri. Kehadirannya dan biarawan lainnya tak diharapkan orang Aljazair. Tragedi masa lalu dengan Perancis membuat Bruder Henri harus berani hidup merakyat guna mendapat simpati umat Muslim. Bruder kelahiran Capcir, Matemale, (Rhône), Perancis, 15 Juli 1930, harus ambil bagian dalam pekerjaan rakyat kecil agar tak dicurigai sebagai misionaris.

Dalam setiap perjumpaan dengan Muslim, putra mantan wali kota Rhône ini selalu menghadiahkan senyuman terbaiknya. Dalam catatan hariannya, Bruder Henri menulis, “Ada kekhawatiran, ada harapan. Ada ketakutan mendalam bila mereka mengenal siapa diriku. Tetapi, tragedi duka masa lalu tak membuat saya takut. Pun kalau saya mati biarlah itu menghapus rasa benci mereka kepada negaraku.”

Bruder Henri melewati masa-masa sulit tetapi ia mampu bertahan selama 25 tahun di Aljazair. Tahun 1969-1976, putra sulung pasutri Joseph Vergès dan Matilde Bournet ini menjalani studi di Sekolah San Buenaventura Aljazair, jurusan manajemen. Ia percaya, bahwa pendidikan adalah jalan terbaik agar bisa memuluskan misi penyelamatan jiwanya di Aljazair. Dalam masa studi itu, Henri pelan-pelan memperkenalkan diri sebagai biarawan Perancis. Kebaikan hati dan jiwa komunikatif dalam semangat ugahari membuat Henri begitu cepat dicintai rekan-rekannya.

Bruder Henri benar-benar menampilkan semangat bela rasa dengan ikut ambil bagian kepada warga Muslim yang kecil dan terpinggirkan. Ia hadir dan menyapa mereka. Lewat sapaan kasih, nasihat spiritual, warga Muslim menerimanya dengan baik. Ia bahkan disebut Père musulman de France, ‘Bapak Muslim dari Perancis’. Kendati begitu, tidak sedikit orang yang memandang iri kepadanya. Ada pandangan, kalau-kalau ia hanya mencari perhatian warga agar menjalankan misi Kristenisasi. Tetapi, ia juga menjawab tudingan itu dengan mengubah kewarganegaraannya menjadi orang Aljazair. “Saya ingin seperti mereka bebas memuji Tuhan dengan cara saya sendiri,” demikian mimpi Henri.

Jendela Pengetahuan
Setelah menyelesaikan studinya, Bruder Henri menjadi guru Matematika di Sekolah Sour-El-Ghozlane dari tahun 1976-1988. Lagi-lagi, ia mampu membuktikan dirinya sebagai bapak penuh kasih kepada anak-anak didik. Ia memperkenalkan pendidikan karakter berjiwa Muslim dengan spirit kasih sesuai ajaran Katolik. Ia tidak saja menjadi guru di sekolah, ia berani keluar lingkungan sekolah dan mengenal setiap anggota keluarga anak didiknya. Pendidikan dari rumah ke rumah menjadi arena pastoral bagi Bruder pencinta anak ini.

Di periode berikutnya, sekitar tahun 1988-1994, Bruder Henri mendapat tugas di wilayah La Casbah, Jalan Ben Vhened. Ia bertugas mengelola perpustakaan. Sedikitnya seribu orang muda per bulan sering menggunakan tempat ini sebagai jendela pengetahuan satu-satunya di Aljazair. Ia bermisi bersama Suster Paul Hélène di tempat itu. Setiap sudut tempat itu ia kenal, termasuk semua jenis buku di tempat itu, bahkan sampai pengarangnya. Ia sangat tertarik dengan buku peradaban Aljazair, seperti sisa-sisa pendudukan Hominid di wilayah Ain Hanech, Saida, Aljazair. Suku ini terkenal karena memperkenalkan alat Neandertal, pembuat kapak tangan bergaya Levaloisia dan Musteria.

Orang baik selalu ada musuh, begitu kata pepatah. Tak banyak yang tahu, di siang hari saat menjaga perpustakaan, tiga pria suruhan seorang pemimpin Muslim memasuki ruangan itu dan membunuh Bruder Henri. Ia dibunuh, usai membaca Kitab Suci pada 8 Mei 1994. Hampir 25 tahun karyanya di Aljazair berakhir dengan kematian tragis. “Kendati begitu, suatu ketika gereja akan berdiri berdampingan dengan masjid-masjid. Para pelayan pastoral akan berpegang tangan dengan pemimpin Muslim,” tulisnya suatu kali.

Kematian Bruder Henri menegaskan begitu panggilan hatinya menjadi misionaris di Aljazair sangat besar. Dia rela meninggalkan keluarganya di usia 12 tahun dan bergabung dengan Sekolah Marist di Speyer de l’Agly, dekat Perpignan. Setelah itu, ia melanjutkan ke Sekolah Sait-Paul-Trois-Châteaux, di Provinsi Drôme, Perancis.

Tuhan terus merawat panggilan Bruder Henri, hingga bergabung sebagai anggota Marist di Seminari Notre-Dame de I’Hermitage, dekat Saint-Chamond, Loire. Henri sangat mengagumi Pendiri Kongregasi Marist Pastor Marcelin Champagnat (1789-1840). Bersama beberapa Saudara Marist, Henri mengucapkan profesi perdananya tahun 1946. Setelah itu memulai kerasulannya sebagai guru di Sekolah Saint Genes-d’Olt, Eveyton, Perancis, tahun 1947. Puncak panggilannya adalah mengucapkan kaul kekalnya sebagai anggota Marist pada 26 Agustus 1952.

Beatifikasi Bruder Henri dilangsungkan pada 8 Desember 2018 dalam sebuah Misa di Notre Dame de Santa Croce de Oran, Aljazair. Prefek Komisi Penggelaran Kudus Kardinal Giovanni Angelo Becciu memimpin Misa ini. Beato Henri Vergès diperingati setiap 8 Mei.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.01 2019, 6 Januari 2019

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Popular Articles