HIDUPKATOLIK.com – Ia ingin menjadi imam yang sederhana. Menggeluti karya-karya biasa dan tak istimewa, asalkan berguna bagi Gereja dan masyarakat. Ia menyenangi tiap tugas yang diberikan.
Satu senandung berjudul Besar Setia-Mu Tuhan, berkumandang di dalam Vina House Semarang, Jawa Tengah, awal Oktober lalu. Lagu itu dinyanyikan oleh Pastor Ignatius Warsita Wignyasumarta MSF pada Misa Syukur 60 tahun hidup membiara dan ulang tahunnya ke-80. Perayaan Ekaristi dipimpin oleh Provinsial MSF, Pastor Vincentius Wahyu Harjanto, serta didampingi oleh Pastor Puspowardoyo O.Carm, Pastor Suryohadi MSF, dan Pastor Margomuwarto MSF.
Imam yang mewarisi keahlian bermain piano dari ayahnya itu bersaksi, betapa besar kasih Allah yang ia rasakan selama menjalani kehidupan dan meniti panggilannya. “Tuhan setia mendampingi perjalanan hidup membiara saya. Saat jatuh, Tuhan setia membangkitkan saya kembali. Kala jenuh dengan beragam tugas dan karya, Tuhan meneguhkan kembali. Bahkan di kala saya lelah dengan tugas pelayanan, Tuhan hadir dan menyemangati saya untuk kembali menghayati tugas perutusan-Nya sebagai gembala umat,” ujar imam yang kini menjalani masa purnakarya di Paroki St Paulus Sendangguwo, Keuskupan Agung Semarang ini.
Maka, usai meniup lilin di atas kue ulang tahun, ia mendaraskan doa syukur dan intan hidup serta karyanya kepada Tuhan yang telah setia mendampingi, meneguhkan, dan menyemangati dirinya .
Gemar Olahraga
Sejak muda, Pastor Wignya, sapaannya, suka berolahraga, terutama tenis. Itulah yang membuat fisiknya tampak lebih muda dibanding usianya. Hobi itu juga menjadi sarana menghalau kejenuhan dengan tugasnya sehari-hari.
Pastor Wignya hidup pada tiga zaman. Ia pernah merasakan zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Kemerdekaan Indonesia. Sewaktu duduk di sekolah SR (setingkat SD) di Klaten Jawa Tengah,Wignya dan kakaknya setiap hari dibangunkan sang ibu pada dini hari untuk pergi ke gereja. Jarak rumah mereka dengan gereja sekitar 2 kilometer. Kakak-beradik itu menempuh tujuan dengan berjalan kaki.
Tiap Misa, Wignya, kakak, dan teman-temannya bergantian menjadi misdinar. “Seorang umat bertanya, ‘mengapa saya mau jadi putra altar padahal rumah saya jauh’. Saya jawab, bukan hanya mau, tapi bahkan secara senang hati dan bangga menjadi putra altar. Apalagi kalau romonya simpatik, murah senyum, dan suka memberi gambar rohani seperti Romo Darmojuwono (Kardinal Justinus Darmojuwono, 1914-1994),” kenangnya.
Suatu ketika, sesudah Misa hari Minggu, ada pengumuman pendaftaran calon seminaris. Tak diduga, ibunya berkata “Kalau kamu masuk seminari nanti bisa jadi romo. Tidak hanya melayani Misa sebagai putra altar tetapi bisa memimpin Misa,” tutur ibunya.
Wignya yang sedang duduk di antara orangtuanya terkejut bak disambar petir mendengar saran sang ibu. Putra ketiga dari dua belas bersaudara pasangan Vincentius Sawardi Wignyosoemarto dan Catharina Siti Sumiwi ini merasa dirinya masih terlalu kecil dan belum bisa lepas dari orangtuanya.
Meski berat meninggalkan keluarga, Wignya bersama tiga temannya mendaftar ke Seminari. Mereka berempat diterima di seminari kecil (sekolah calon iman setelah lulus SD) di Jalan Code 2 Yogyakarta. Keinginan untuk pulang ke rumah dan berkumpul dengan keluarganya bersemi di sanubari Wignya hingga berbulan-bulan.
Setamat dari seminari menengah pada 1957. Wignya dihadapkan pada pilihan menjadi imam diosesan (praja) atau imam religius (biarawan). Pengalaman makan siang di Pastoran Keluarga Kudus Atmodirono Semarang membuatnya tertarik bergabung dengan Kongregasi Misionaris Keluarga Kudus (Congregatio Missionariorum a Sacra Familia/MSF). Maka mulailah, Wignya menjalani pendidikan calon imam di Novisiat MSF Jalan Supadi 17 Kotabaru Yogyakarta bersama empat teman dari Mertoyudan dan Kalimantan. Mereka mengikrarkan kaul pertama pada 8 September 1958.
Pergulatan Hidup
Sewaktu novisiat, mereka digembleng oleh romo magister asal Belanda dengan disiplin keras. Mereka belajar latihan rohani, berdoa, bermeditasi, konferensi, opera manualia (kerja tangan) dan menghayati trikaul kebiaraan: ketaatan, kemurniaan, dan kemiskinan.
Setelah setahun di novisiat dan enam tahun di skolastikat, ia ditahbiskan oleh Mgr Darmojuwono pada 25 Juli 1964 di Gereja St Maria Assumpta Klaten, 25 Juli 1964. Romo Wignya memilih moto tahbisan Gratia Dei sum idquod sum, yang berarti: berkat rahmat Tuhan aku menjadi seperti adaku sekarang (1 Kor. 15:10).
Setelah tahbisan, Pastor Wignya mendapat kesempatan ke Belanda. Di sana ada orangtua angkatnya yang membiayai pendidikan di seminari selama tujuh tahun. Tak lama berselang, tarekat MSF mengirim Pastor Wignya untuk melanjutkan studi pastoral di Akademi Alfonsiana dan mengambil kursus capita selecta di Universitas Gregoriana Roma.
Kembali dari studi, imam muda itu mendapat tugas pastoral perdana sebagai pastor rekan di Paroki Keluarga Kudus Atmodirono Semarang. Tugas khususnya adalah mendampingi orang muda. “Karena akrab dengan muda-mudi, saya merasakan pergulatan hidup bagaikan berjalan di atas titian rambut dibelah tujuh. Artinya, kemungkinan terjatuh itu sangat besar. Godaan untuk meninggalkan panggilan saya sebagai biarawan banyak sekali mulai dari melawan kaul kemiskinan, ketaatan, sampai dengan kemurnian,” ungkap kelahiran Surakarta, 4 Oktober 1938, sembari tersipu.
Setelah Paroki Atmodirono, Pastor Wignya melayani Paroki Hati Yesus Mahakudus Purwodadi. Ia menjadi pastor kepala di sana. Situasi politik sekitar tahun 1965 amat genting. Ia kerap harus bersembunyi dan tidur berpindah-pindah manakala ada oknum yang menangkap orang-orang yang dituduh terlibat partai komunis.
Setelah enam tahun bertugas di sana, mantan pastor Paroki Paulus Miki Salatiga itu terpilih sebagai Provinsial MSF Jawa. Kepercayaan itu ia sandang selama dua periode. Pastor Wignya memperjuangkan agar MSF Provinsi Jawa mampu mandiri baik dari sisi finansial maupun sumber daya manusia.
Sebagai pimpinan, Pastor Wignya turut merasakan perjuangan anggota tarekatnya merawat panggilan. Karena itu, ia menekankan perhatian, sapaan, dan pembinaan internal para anggota sebagai “jembatan” komunikasi dan relasi antar anggota lintas generasi.
Menyenangi Tugas
Mantan Direktur Pusat Pendampingan Keluarga Semarang ini menyenangi setiap tugas yang dipercayakan kepadanya. Penyebabnya, mengeluh atau bahkan mengutuk karya yang diberikan bakal membuat stres diri sendiri. Lagipula menjalankan setiap tugas merupakan salah satu perwujudan kaul ketaatan. Ia teringat pesan St Teresa dari Kalkuta, setiap manusia dipanggil bukan untuk menjadi sukses, melainkan untuk setia.
Kesetiaan itulah yang hingga berusia intan terus ia rawat dan hidupi dalam setiap karyanya. “Tuhan yang telah memanggil dan memilih saya menjadi gembala-Nya, pasti juga berkenan mengambil risiko memilih saya dengan segala kekurangan dan kelemahan saya. Tidak sedikit pengalaman jatuh-bangun dalam hidup panggilan saya. Tetapi berkat rahmat Allah, saya masih bisa bertahan hingga sekarang menjadi imam-Nya,” ungkap romo yang pernah menjalani operasi tumor tahun 2011 itu.
Ivonne Suryanto
HIDUP NO.01 2019, 6 Januari 2019