HIDUPKATOLIK.com – BKSY harus terus berkembang dengan menyebarkan “virus” bela rasa kepada sesama yang menderita khususnya dalam bidang kesehatan dan kematian.
Dalam Arah Dasar (Ardas) Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) 2011-2016, dirumuskan bahwa melalui seluruh kegiatannya, umat Katolik KAJ diharapkan menjadi lebih beriman, lebih bersaudara, dan lebih berbelarasa. BerKHat San to Yusuf (BKSY) adalah satu dari ragam gerakan yang lahir sebagai bentuk bela rasa kepada saudara-saudari yang kecil dan menderita. Terkait hal ini Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo memberikan beberapa penegasan penting.
Mengapa BKSY menjadi gerakan bersama di KAJ?
Dalam Ardas KAJ ada tiga kata kunci yaitu makin beriman, makin bersaudara, dan makin berbela rasa. Tiga kata kunci ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lain. Kita tidak bisa berbicara iman tanpa mengindahkan persaudaraan dan bela rasa. Jadi ada gerakan untuk terus melakukan sesuatu. Dalam arti ini, tanda iman yang hidup adalah persaudaraan, tetapi tidak berhenti di situ karena persaudaraan sejati diwujudkan dalam bela rasa. Dengan dinamika ini KAJ ingin menjadi Gereja yang hidup bukan secara administratif saja yang tertata rapih tetapi rohnya yang hidup dan sungguh-sungguh dihayati oleh umat KAJ.
Apa refleksi Gereja yang hidup yang dikaitkan dengan gerakan BKSY?
Salah satu pilar Gereja yang hidup adalah sebagaimana disebutkan dalam Ajaran Sosial Gereja (ASG). Dalam ASG bisa disarikan sebagai berikut: pertama, Gereja yang hidup berarti menjunjung tinggi kehidupan. Artinya Gereja menaruh hormat kepada martabat manusia. Kedua, bila menjunjung derajat dan martabat manusia maka perlu membangun tindakan-tindakan kebaikan bersama sebagai warga Gereja. Syaratnya yah, perlu berbela rasa dengan cara apapun dalam persaudaraan. Ketiga, atas dasar ini BKSY hadir memberi perhatian kepada saudara-saudari yang kurang beruntung khususnya dalam hal kesehatan dan kematian.
Bagaimana menyederhanakan konsep ASG tersebut?
Memang ini sangat konseptual, tetapi bila disederhanakan maka ajaran ini bisa diwujudkan dalam tindakan nyata. Bila dirumuskan dalam pertanyaan umumnya adalah, apa yang harus kita lakukan agar lingkungan hidup kita semakin manusiawi dan dengan sendirinya makin Kristiani?
Apa syarat agar lingkungan hidup kita makin manusiawi?
Syaratnya adalah pertama, bela rasa yang di mengerti dalam tataran kompetensi etis, bukan kompetensi ketrampilan. Misal, seseorang melihat orang lain menderita tentu reaksinya macam-macam. Ada yang mengatakan karena orang itu malas atau tidak berusaha. Bila memiliki kompe tensi, orang itu akan bertanya apa yang harus saya perbuat? Kedua, butuh kemampuan kerja sama. Sebab kerja sama itu butuh latihan, pengorbanan, hati yang lapang. Di sini “saya” bukan lagi penting tetapi “kita” yang penting. Sampai titik ini jelas adanya BKSY.
Mengapa kesehatan dan kematian?
Karena dengan cara ini kita ingin terlibat dalam pilar Gereja yang hidup dengan menjunjung tinggi kehidupan, mengembangkan bela rasa, menghadirkan kebaikan bersama, juga kepedulian kepada sesama. BKSY ingin pada akhirnya orang meninggal pun dihormati martabatnya sebagai manusia. Di beberapa paroki juga ada Seksi St Yusuf. BKSY tidak menggantikan gerakan ini tetapi memberi makna lain terhadap gerakan ini. Bila Seksi St Yusuf berbela rasa di paroki saja, maka BKSY lebih luas menyapa saudara-saudara lintas paroki, kelompok kategorial, bahkan keuskupan. Jadi secara rohani persaudaraan kita makin luas.
Ada salah paham di beberapa paroki soal gerakan ini. Bagaimana sikap Gereja?
Saya mendengar satu dua kesalahpahaman tetapi anggota BKSY harus terus menjelaskan kepada umat. Tujuannya agar pelayanan lebih bagus lagi dan kerjasama lebih ditingkatkan lagi. Dengan begitu “virus” bela rasa ini bisa tersebar dari anak sampai saudara-saudari yang berumur 80 tahun. Karena itu saya mengundang para imam, penggerak di paroki, keuskupan, seksi-seksi, dan aktivis karya sosial supaya mempertimbangkan nilai-nilai yang terungkap dalam gerakan BKSY ini. BKSY bukan sekadar angka tetapi sebuah ajakan untuk berbela rasa.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.01 2019, 6 Januari 2019