HIDUPKATOLIK.COM – Minggu, 3 Februari 2019 Minggu Biasa IV, Yer 1:4-5, 17-19; Mzm 71:1-2, 3-4a, 5-6ab, 15ab, 17; 1 Kor 12:31-13:13; Luk 4:21-30
“Mencintai Tuhan harus terwujud dalam sikap baik kita terhadap sesama karena tujuan dari mengasihi adalah kebahagiaan”
KITA sering menyebut diri orang beriman kepada Tuhan. Dan Tuhan yang kita imani itu kita yakini Maha Rahim. Namun kita masih sering berfikir seperti nenek moyang zaman baheula. Jika kita hidup sejahtera dan mengalami keberuntungan, kita bersyukur karena kita yakin Tuhan memberkati kita.
Namun jika kita mengalami musibah atau ketidakberuntungan, kita menyalahkan Tuhan. Dalam situasi ketidak-beruntungan tersebut, kita sering mengatakan, “Tuhan sedang mencobai kita. Kita harus sabar”. Atau jika “nasib buruk” itu menimpa orang lain, kita sering mengatakan, “Itu adalah kutukan Tuhan”.
Apakah Tuhan merupakan sumber penderitaan dan bencana? Patutkah kita mempersalahkan Tuhan atas ketidaknyamanan hidup kita?
Banyak bangsa dan juga “agama” zaman dahulu mengerti Tuhan sebagai yang rohani murni dan tak tersentuh. Tuhan hampir pasti dirasakan asing. Karena itu Dia juga didekati hanya kalau diperlukan.
Untuk memperoleh kesejahteraan yang diperlukan tersebut, manusia “menyuap” Tuhan dengan doa-doa, pujian, sesaji, atau persembahan. Jika keperluan manusia sudah terpenuhi, Tuhan hampir pasti dilupakan lagi. Pengertian akan Tuhan yang demikian ada bahayanya sebab bisa disalahgunakan.
Padahal Tuhan penuh belas kasih. Dalam pengertian ini, Tuhan itu bergaul dengan manusia dalam kehidupan manusia sehari-hari. Kekristenan mengerti Tuhan sebagai pribadi yang Maha Baik. Dengan kata “maha baik” berarti di dalam diri Tuhan tidak ada sedikit pun kejahatan.
Yesus mewahyukan Tuhan yang Maha Baik itu dengan berjalan keliling ke semua kota dan desa (Mat 9: 35) sambil berbuat baik (Kis 10: 38). Dia juga mengundangkan kasih
sebagai hukum yang utama: mengasihi Allah dengan segenap hati dan mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri (Mrk 12: 3031).
Dua hukum yang sepadan. Dua tetapi satu kesatuan. Mencintai Tuhan harus terwujud dalam sikap baik kita terhadap sesama. Tujuan dari mengasihi adalah kebahagiaan. Tuhan telah lebih dahulu mengasihi kita, dan Tuhan mempunyai tujuan agar kita bahagia bersamaNya.
Dalam mewahyukan Tuhan yang Maha Baik dan penuh belas kasih, Yesus bukan hanya berbuat baik tetapi bahkan sampai mengorbankan diriNya sehabis-habisnya. Dia mengorbankan diri dengan mati di kayu salib.
Hal ini termaktub dalam perjamuan malam terakhir. Kini Perjamuan Malam Terakhir itu kita kenangkan sebagai Ekaristi. Di sini kita mengerti bahwa ternyata bukan manusia yang harus “memberi makan” Tuhan. Justru Tuhan lah yang memberi makan manusia.
Bukan manusia yang harus berkorban untuk Tuhan atau mengorbankan diri bagiNya, melainkan Tuhan yang rela berkorban untuk manusia. Bukan manusia yang harus menghidupi Tuhan, melainkan Tuhan. Tuhan merupakan sumber hidup.
Dia adalah Kasih. Mengapa Tuhan sangat mengasihi manusia? Karena manusia adalah “gambar” diriNya. Manusia diciptakan bukan seperti ciptaan yang lain, melainkan sebagai “potret” diriNya, ungkapan diriNya, luapan perasaan cintaNya. Semua manusia dicintai oleh Dia.
Manusia memang berbeda satu dengan yang lain. Namun Tuhan dalam kasihNya yang luhur tidak membeda-bedakan orang (Kis 10: 34). Janda di Sarfat dan Naaman orang Siria (Bac I), bukanlah orang-orang asing yang terkutuk.
Mereka menderita karena tidak berdaya menghadapi hukum alam. Tetapi Tuhan merahimi mereka. Maka Mazmur Tanggapan mengajak kita untuk hanya berlindung pada Tuhan. Kasih itu berbuat baik, terlibat, ambil bagian, sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raga, bagi semua manusia.
Tanpa kasih yang diungkapkan dalam perbuatan baik kepada sesama, hidup kita sungguh tak bermakna (Bac II). Itulah yang dilakukan Allah dalam diri Yesus, dalam diri para nabinya dan dalam diri para rasulNya. Dia terlibat dalam hidup manusia, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan (bdk. Yoh 3: 1617).
Maka kita pun diundang untuk hidup diselubungi oleh kasih itu dalam hidup kita. Allah tidak ingin kehilangan seorang pun. Semangat hidup Allah itu sesungguhnya ada dalam diri setiap manusia karena manusia adalah potret diriNya.
Marilah hidup dalam semangat Allah: saling mengasihi sepenuh jiwa raga kita. Marilah kita menyayangi dan rela berkorban diri terutama bagi mereka yang kurang beruntung dalam hidupnya.
Mgr Yohanes Harun Yuwono
Uskup Tanjung Karang