HIDUPKATOLIK.com – Perempuan korban trafficking semakin meningkat setiap tahun. CWTC mempunyai misi untuk mengentaskan persoalan ini di tanah air.
Perempuan sangat rentan menjadi korban perdagangan manusia. Alihalih mendapat pekerjaan di negara tujuan, mereka malah diperlakukan tidak manusiawi oleh majikan. Sebagian besar korban biasanya terbuai oleh bujuk rayu para calo. Proses perekrutan pun tidak sesuai aturan. Banyak juga korban yang mengakui mereka diintimidasi.
Salah satu contohnya kasus TKI asal Desa Abi, Kecamatan Oenino, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), Adelina Sau. Ia ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah rumah di Malaysia pada 10 Februari 2018 lalu. Setelah dibawa ke Rumah Sakit, nyawa Adelina tidak tertolong. Ia meninggal sehari kemudian.
Masih begitu banyak kasus-kasus penjualan orang yang mengendap ke dalam lumpur persoalan imigran. Belum lagi karena peliknya administrasi mengingat sebagian besar korban mengikuti jalur ilegal. Mereka pada akhirnya tanpa daya. Kebanyakan dari mereka yang dibawa pulang adalah trauma dan jenazah.
Melindungi Korban
Korban penjualan manusia selalu meningkat setiap tahunnya. Melihat kondisi miris tersebut Ikatan Biarawati Seluruh Indonesia (IBSI) membentuk Counter Women Trafficking Commission (CWTC). Wadah ini dimaksudkan untuk menjadi pelindung bagi para perempuan korban trafficking. Berdirinya CWTC tidak sekali jadi. Awalnya, beberapa biarawati dari Indonesia diundang menghadiri Kongres Anti Perdagangan Perempuan di Manila, Filipina. Biarawati dari Asia dan Australia hadir dalam forum ini.
Kongres ini diadakan oleh International Union of Superiors General (UISG). Dalam kongres tersebut, International for Migration (IOM) memaparkan fakta seputar perdagangan manusia di dunia. Paparan tersebut menguak bagaimana perdagangan manusia terjadi.
Ketua CWTC, Sr Catharina RGS mengungkapkan, dari sajian materi tersebut diketahui bagaimana penyalur tenaga kerja Indonesia maupun jaringannya melakukan aksi. Temuan menunjukkan, para pekerja migran dipekerjakan tidak sesuai janji. Ada yang dijanjikan menjadi pekerja rumah tangga (PRT), perawat orang jompo, baby sitter, kerja di restoran/cafe, hingga di perusahaan. “Naas, para pekerja tersebut yang justru mengalami kekerasan demi kekerasan, menjadi pekerja seks komersial (PSK) hingga menjadi bintang film porno,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sr Catharina mengungkapkan, korban asal Indonesia menempati urutan kedua setelah Filipina. Korban dari Filipina mampu membela dirinya, karena menguasai bahasa Inggris. Sementara dari Indonesia tidak dapat membela diri, karena keterbatasan bahasa. “Di sini dapat dilihat bahwa sumber daya manusia juga menjadi pemicu. Tidak ada pelatihan atau kursus khusus, untuk meningkatkan keterampilan mereka,” katanya.
Dalam kongres tersebut, salah seorang suster dari Taiwan mempertanyakan biarawati Indonesia yang belum memiliki gerakan untuk membantu para korban perdagangan manusia. Ia mengungkapkan, di Taiwan terdapat begitu banyak korban yang berasal dari Indonesia, sebagaimana yang ditanganinya selama ini. “Tidak ada satu pun yang menolong mereka bahkan ketika mereka dalam penjara, tidak ada seorang pun yang mengunjungi,” bebernya meniru ucapan suster Taiwan tersebut.
Sr Catharina menambahkan, kritikan suster Taiwan tersebut membuat Sr Antonie PMY yang menghadiri kongres mewakili IBSI, saat itu tersentak. Ia merasa terpanggil untuk menyampaikan hal itu kepada anggota IBSI. Ia menginginkan agar IBSI juga memiliki perhatian terhadap isu perdagangan manusia.
Pada tahun 2008, IBSI menanggapi masukan Sr Antonie dengan baik. Maka pada tahun itu juga CWTC disahkan oleh IBSI. “Dengan berdirinya CWTC akan melindungi para imigran perempuan yang menjadi korban di negara tujuannya,” ujarnya.
Penguatan Jaringan
Perdagangan manusia menjadi topik utama dalam sidang tiga tahun IBSI. Meskipun sudah menjadi materi pembahasan IBSI, akan tetapi terbentuknya CWTC mengkhawatirkan beberapa anggota IBSI. Kekhawatiran tersebut bukan tanpa dasar. Melindungi para migran bukanlah pekerjaan yang mudah, bahkan cukup berbahaya. Risiko pekerjaan yang berat membuat beberapa tarekat tidak mau terlibat.
Sekretaris CWTC Sr Vincentia PMY mengungkapkan, hanya lima tarekat yang kukuh melibatkan diri untuk bergabung dengan para religius perempuan seluruh dunia, yaitu Putri Maria Yosef (PMY), Suster Abdi Roh Kudus (SSpS), Suster Misionaris Claris (MC), Suster Gembala Baik (RGS) dan Suster Putri Kasih (PK). Dengan bermodalkan iman kelimanya berjibaku. “Dalam perjalanan waktu beberapa kongregasi juga turut memperkuat CWTC dengan terlibatnya beberapa kongregasi lagi seperti Kongregasi Santa Perawan Maria (SPM), Biarawati Karya Kesehatan dan Fransiskanes dari St. Georgius Martir (FSGM),” jelasnya.
Lebih lanjut, Sr Vincentia mengatakan, CWTC dan IBSI telah menjadi anggota jaringan internasional yang tergabung dalam Talita Khum. Jaringan ini berada di bawah naungan International Union of Superiors General (UISG). Hampir tiap tahun selalu ada undangan untuk ikut hadir dalam pertemuan-pertemuan penguatan jaringan dan penyegaran agar
bersemangat dalam berkarya.
Beberapa waktu kemudian, CWTCIBSI mendapat dukungan dana dari Mensen met enn Missie (MM) dari Belanda. Ada juga dukungan dari beberapa sahabat PMY yang ada di Belanda.
Pada awalnya yang dilakukan pengurus CWTC-IBSI adalah mengadakan sosialisasi terkait perdagangan manusia. Sosialisasi ini dilakukan untuk para religius perempuan di berbagai keuskupan. “Juga melibatkan para suster di pusat-pusat pastoral keuskupan, paroki, stasi, lingkungan, kelompok katergorial dan teritorial di mana para suster berada dan berkarya, mereka bagai ragi hingga menyebar ke seluruh tanah air,” kata Sr Vincentia.
Zero Trafficking
Mulai tahun 2014, CWTC-IBSI tidak hanya melakukan sosialisasi, tetapi juga memfokuskan pada kerja jejaring. CWTC melakukan kerja sama dengan religius alumni training yang diadakan oleh CWTC-IBSI sendiri, maupun jaringan dengan pemerintah, NGO dan juga lembaga-lembaga Gereja. Sr Catharina menjelaskan CWTC mulai berjejaring sehingga dapat lebih fokus serta mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang memiliki konsentrasi yang sama. Koalisi yang telah dibangun oleh CWTC-IBSI antara lain Koalisi Peduli NTT, dan juga daerah lain seperti Batam, Medan, Jakarta, Lampung, Kupang, Surabaya, dan Ende.
“Koalisi WGTIP (Work Group Trafficking In Person) yang di pelopori oleh Vivat Indonesia semakin luas jangkauannya. Kita juga bekerjasama dengan Kementerian Tenaga Kerja, JPM (Jaringan Peduli Migrant KAJ), Migrant Care dan JPIC,” terangnya.
Koalisi terbaru terbentuk di Labuan Bajo yang meliputi lembaga-lembaga Mitra MM, perwakilan NGO Internasional seperti ILO, IOM, Migrant Care dan berbagai lembaga yang lainnya. “Di dalam jejaring CWTC-IBSI bekerjasama dengan berbagai pihak. Dengan terus bekerjasama, misi untuk mengentaskan human trafficking perlahan-lahan diselesaikan,” pungkasnya.
Willy Matrona
Laporan: Sr. M. Katarina FSGM
HIDUP NO.52 2018, 30 Desember 2018