HIDUPKATOLIK.com – Bukan hanya karena ditinggalkan orang yang mereka cintai atau penyesalan mendalam, tetapi keluarga juga mungkin memikirkan apakah yang bunuh diri masuk surga atau tidak.
Duka masih menyelimuti sebuah keluarga di satu keuskupan di Kalimantan. Tak pernah disangka, seorang perempuan tiba-tiba meninggalkan suami, dua putra, dan keluarga besar untuk selama-lamanya. Tak ada alasan, tak ada pesan. Dia mengakhiri hidupnya begitu saja.
Atas permintaan ibu mertua, Irwan (bukan nama sebenarnya) menyemayamkan jenazah sang istri di rumah orangtuannya. Sehari berselang, menjelang upacara pemakaman, ketua lingkungan menemui pastor paroki untuk berkonsultasi sekaligus meminta pelayanan Misa Requiem.
Pastor tersebut menolak. Dia berdalil memakai Hukum Gereja. Orang yang meninggal karena bunuh diri, jenazahnya tak dimisakan. “Mendengar hal itu, terus terang, saya begitu kecewa. Tak bisa saya ungkapkan perasaan saya saat itu,” ungkap Irwan, saat dihubungi melalui WhatsApp, Senin, 13/8.
Hanya Disisipkan
Umat lingkungan lantas mengantar istri Irwan ke pemakaman. Tiba di sana, ada ibadat yang dipimpin oleh diakon. Selepas pemakaman, keluarga dan umat lingkungan menggelar doa tiap malam hingga hari ketujuh.
Pada hari terakhir, diadakan perayaan Ekaristi di rumah mertua Irwan. Namun tujuan utama bukan untuk mendoakan arwah istri Irwan. “Misa tersebut untuk mendoakan ayah mertua, yang meninggal setahun lalu. Istri saya hanya disisipkan dalam intensi Misa,” ungkapnya.
Irwan amat kecewa. Sejumlah pertanyaan mengusik benaknya: bukankah pelayanan Gereja adalah pelayanan kasih? Tidak adakah pengampunan dari Gereja untuk umatnya? “Kami tidak hebat dalam pemahaman iman Katolik. Kami memahami selama ini bahwa dalam doa Aku Percaya saja disebutkan: Aku percaya akan Roh Kudus, Gereja Katolik yang kudus, persekutuan para kudus, pengampunan dosa, kebangkitan badan, kehidupan kekal. Lalu di mana pengampunannya?” keluhnya.
Tak hanya keluarga yang kecewa dengan keputusan pastor, umat lingkungan Irwan pun ikut prihatin pada gembala mereka. Peristiwa ini menjadi perbincangan di grup WhatsApp lingkungan.
Irwan belum bisa melupakan sikap pastor parokinya. Karena itu, kakinya berat untuk pergi ke gereja. Sikap serupa juga ditunjukkan putra sulungnya yang baru tamat SMA. Padahal, anaknya itu merupakan salah satu pengurus orang muda di paroki. “Dia sudah mengerti dan sangat terpukul. Dia masih berat untuk kembali kepada Gereja,” ungkap Irwan.
Dia tak menampik, bila teringat kembali akan kejadian yang dialami sang istri, rasa antipatinya kepada Gereja kian membara. Khotbah imam baginya tak lebih dari sekadar pepesan kosong. “Itu semua omong kosong. Pelayanan kasih yang sangat kami harapkan selaku umat, tak kami peroleh secara utuh.”
Berbeda dengan ayah dan sang kakak, putri bungsu Irwan yang baru kelas III SD justru masih rajin Misa dan ikut sekolah minggu. Tak jarang pula, dia mengajak sang ayah untuk ke gereja bersama. Irwan bergeming. Batinnya belum sreg. “Saya belum bisa menerima kebijakan tersebut. Itu tak sesuai dengan prinsip pelayanan kasih,” jelasnya.
Menyikapi Kasus
Irwan sangat berharap Gereja bisa mempertimbangkan kembali untuk mengubah aturan tersebut. Dia juga menginginkan agar Gereja mencermati dan menyingkapi tiap kasus bunuh diri secara seksama. Menurut Irwan, tak semua orang bunuh diri karena melawan kehendak Tuhan.
Irwan bukan satu-satunya umat yang mengalami penolakan Misa Requiem untuk anggota keluarga yang meninggal karena bunuh diri. Di satu paroki lain, seorang umat mengatakan, pastor tak hanya menolak untuk memimpin perayaan Ekaristi, tapi juga tak mau melayat umatnya dan memberi peneguhan kepada keluarga yang ditinggalkan.
Pelayanan Misa Requiem untuk umat yang meninggal karena bunuh diri berbeda-beda di beberapa daerah. Di sebuah paroki di Maumere, Keuskupan Maumere, keluarga korban bunuh diri meminta pastor parokinya untuk memimpin Misa Requiem. Pastor paroki tak bisa mengambil keputusan. Namun, pastor itu menawarkan solusi agar keluarga tersebut bertemu uskup dan meminta pertimbangan darinya.
Uskup yang baru terpilih, Mgr Ewaldus Martinus Sedu, mengatakan kepada keluarga, “Perkara dosa adalah urusan almarhumah dengan Tuhan. Sebagai orang Katolik, kita harus Misa-kan dia dan tetap mendoakan.”
Mgr Ewald juga menitipkan pesan kepada keluarga agar mencari imam dari luar paroki bersangkutan dan tak memiliki hubungan kekerabatan. Tujuannya agar imam tersebut bisa bersikap netral, terutama saat menyampaikan isi khotbahnya.
Di Paroki St Maria Regina Bintaro Jaya, Tangerang Selatan, Pastor Gerris R. SX mengaku, dirinya bersama koleganya beberapa kali memimpin Ekaristi untuk umat yang meninggal karena bunuh diri. Begitu menerima permintaan Misa, dia langsung menyanggupi, tanpa membicarakan lagi dengan pastor lain mengenai perlu atau tidaknya pelayanan ini. “Sudah muncul dari common sense, bahwa tidak ada salahnya membuat Misa,” tutur Pastor Gerris.
Umat yang meninggal karena bunuh diri, menurutnya, sungguh menjadi beban bagi keluarga yang ditinggalkan. “Bukan hanya karena ditinggalkan orang yang mereka cintai atau penyesalan mendalam, tetapi juga mungkin memikirkan apakah yang bunuh diri masuk surga atau tidak,” tambahnya.
Kehadiran imam di tengah keluarga yang berduka, apalagi dengan merayakan Ekaristi, lanjut Pastor Gerris, menjadi penghiburan dan kekuatan bagi keluarga yang ditinggalkan. “Orang yang meninggal biarlah urusan Tuhan. Ada keluarga berduka yang membutuhkan kehadiran kita untuk menguatkan dan memberikan penghiburan,” ujarnya.
Meski demikian, Pastor Gerris mengakui, selama berada di rumah duka dan saat perayaan Ekaristi, dia tak bisa mengatakan banyak hal. Kata-kata yang dia lontarkan pun harus ekstra hati-hati. “Jangan sampai memberi kesan kita mentolerir bunuh diri.”
Dalam khotbah saat Misa Requiem, dia lebih menekankan soal kerahiman Tuhan. Menurutnya, tindakan bunuh diri adalah pilihan yang salah. Manusia tidak berhak mencabut nyawa orang lain termasuk juga nyawanya sendiri. Tapi, umat juga tak boleh menjadi hakim yang seolah-olah dapat menentukan kesalamatan orang yang bunuh diri. “Urusan keselamatan orang yang bunuh diri biarlah menjadi urusan ‘Hakim Agung’. Namun, umat juga harus diberikan pesan yang jelas bahwa bunuh diri adalah tindakan yang salah.”
Pastor Gerris mengatakan, tata cara pemakaman sudah diatur dalam Hukum Gereja. Tak ada larangan merayakan Ekaristi bagi orang yang meninggal karena bunuh diri. “Logikanya, apa yang tak dilarang boleh dilakukan dan tak perlu menafsirkan macam-macam dari Hukum Gereja, yang memang tidak diindikasikan di dalamnya.”
Dia menambahkan, dalam Hukum Gereja yang lama, larangan itu jelas ada. Namun, cara Gereja menyikapi kasus itu mengalami perubahan. “Jangan melihat kasus bunuh diri terpisah dari konteksnya. Terjadinya bunuh diri pasti karena ada masalah yang tentu saja terkait dengan situasi masyarakat atau keluarganya; ada hubungan dengan situasi atau pihak lain,” imbuh Pastor Gerris.
Menurutnya, ilmu-ilmu lain seperti psikologi dapat membantu untuk melihat masalah ini secara luas agar tak jatuh dalam pola pikir hitam-putih, apalagi menghakimi.
Pastor Gerris pernah mendengar pengalaman seorang umat dari luar parokinya ketika mengikuti Misa hari ketujuh untuk umat yang meninggal karena bunuh diri. Umat itu mengeluh, pastor yang memimpin Misa terkesan menghakimi korban dalam khotbahnya. Alih-alih meneguhkan, keluarga yang ditinggalkan justru merasa amat terbebani dengan perkataan sang gembala.
Tak Berbeda
Dalam upacara pemakaman umat yang bunuh diri, menurut Pastor Gerris, tak ada perlakuan berbeda. Keluarga dan umat lingkungan bisa berdoa Rosario atau mengikuti Misa seperti biasa. “Sebagai umat, itulah yang bisa dilakukan dalam situasi seperti ini. Ikut berduka dan datang mengungkapkan belasungkawa, berdoalah bersama.”
Sebagai pastor paroki, dia sedapat mungkin melayat ke rumah duka meski perayaan Ekaristi dipimpin oleh imam lain. Baginya, mendoakan orang meninggal dan mendoakan keluarga yang berduka adalah salah satu pelayanan pastoral seorang imam. Dia dan pastor rekannya pun telah beberapa kali memberikan pelayanan Sakramen Pengurapan Orang Sakit kepada umat di unit perawatan intensif, yang berusaha bunuh diri. Hal yang sama juga dia lakukan ketika berkarya di Bangladesh.
Dari beberapa kasus yang dia layani, umumnya umat bunuh diri karena stres berat, mempunyai masalah pribadi atau hukum, kekecewaan, dan gangguan mental.
Hermina Wulohering