HIDUPKATOLIK.com – Ia mampu melepaskan sekat-sekat antara yang kaya dan miskin, bangsawan dan kaum jelata. Semua membaur menjadi satu.
Hati Sebastian Valfrè berdebar kencang. Sebuah kilatan dari surga menyelimuti tubuhnya. Kilatan itu membuatnya dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Dalam pertemuan itu, hati sang pemuda seolah-olah meledak karena cinta yang meluap. Peristiwa mistik ini membuatnya yakin akan panggilan surgawi.
Peristiwa yang mirip seperti dialami para rasul saat Pentakosta itu dialami Sebastian saat usianya 20 tahun. Dalam suasana doa, sang pemuda memohon karunia-karunia Roh Kudus khususnya untuk para pengikut Kongregasi Oratorium St Filipus Neri (Congregatio Oratorii/ CO) -sebuah kongregasi yang didirikan oleh St Filipus Romolo Neri (1515-1595). Ia memohon karunia kerendahan hati dan kekuatan agar keluarga Kongregasi Oratorium tetap semangat mengikuti panggilan Tuhan.
Dalam doa itu, Tuhan meminta Sebastian untuk berpartisipasi menjadi anggota Kongregasi Oratorium. Ia pun menyatakan hasratnya yang besar akan panggilan itu. Ia menjadi anggota Kongregasi Oratorium yang memiliki pancaran kasih pada sesama. Ia menjadi demikian “panas terbakar” oleh kasih Tuhan, sehingga harus melemparkan dirinya dalam pelayanan kepada sesama.
Warga Miskin
Sebastian, sejak kecil mengagumi St Filipus Neri. Baginya St Filipus adalah jalan sukacita ketika orang lain bermuka murung akibat dosa. St Filipus mampu menggetarkan hati setiap orang agar terlibat dalam sukacita kepada sesama. Bagi Sebastian, St Filipus berani menampar wajah kaum pendosa dengan kasih. Sebastian ingin, ketika menjadi imam kelak, ia bisa membagikan kilatan kasih seperti St Filipus.
Pengalaman ingin membagikan kasih seperti pancaran darah Kristus di kayu salib berangkat dari pengalaman masa kecil Sebastian memang penuh penderitaan. Lahir di sebuah keluarga miskin, Sebastian tahu benar bagaimana berartinya bantuan orang lain. Kedua orangtuanya hanya petani miskin. Alhasil, hal itu membuat banyak orang memandang remeh keluarga Sebastian. Masa kecil Sebastian dihabiskan di ladang dengan rutinitas yang membosankan. Kemurungan akut ini bahkan sempat membuat Sebastian takut, kalau-kalau hal ini akan melenyapkan kecintaannya pada Tuhan.
Kelahiran Verduno, 9 Maret 1629 ini merasakan bagaimana hatinya hancur ketika tujuh adiknya menangis karena lapar. Ia pun iba saat orangtuanya harus bekerja siang malam tanpa mengenal lelah. Ia tak ingin ayah ibunya hanya sibuk bekerja tanpa punya waktu untuk keluarga. Di masa kecilnya, bulir-bulir kasih dari orangtua nyaris tak dirasakan pria saleh ini.
Saat telah menjadi imam, Pastor Sebastian ingin selalu ada untuk umatnya. Dalam pelayanan kepada umat Keuskupan Agung Turin, Sebastian segera mendapat reputasi sebagai imam penuh cinta. Ia bijaksana dalam membagi cinta kepada Tuhan dan sesama. Ia seakan tahu cinta kepada Tuhan tak harus melulu dengan berdoa, dengan memberi diri kepada sesama juga menjadi wujud dari rasa cinta kepada Tuhan.
Kecintaan Pastor Sebastian kepada masyarakat miskin tidak saja diungkapkan lewat tindakan lahiriah, seperti memberi makan dan minum. Ia juga memberi perhatian spiritual dengan menjadi bapak pengakuan bagi orang miskin.
Lambat laun tidak hanya kaum miskin saja yang merasakan kehangatan Pastor Sebastian. Pelajar di Turin pun lambat laun akrab dengan kasih yang ditampilkan Pasto Sebastian. Banyak kaum terpelajar datang meminta pelayanan Sakramen Tobat kepadanya. Ia juga menjadi bapa pengakuan untuk Raja Victor Amadeus II dari Savoy. Langkah ini sontak juga diikuti anggota keluarga kerajaan lainnya. Kerendahan hati Pastor Sebastian perlahan juga mengangkat martabat Takhta Suci. Raja Victor Amadeus II dengan terbuka mengakui martabat kepausan.
Pastor Sebastian juga mengupayakan bantuan bagi para janda, anak-anak yatim piatu, para gelandangan, anak-anak terlantar, dan mereka yang dimarginalkan. Kepada mereka yang hidup dalam kemurungan penjara, ia terus menyapa mereka.
Dengan pakaian seadanya, ia hadir bagi setiap keluarga yang tidak setia pada janji perkawinan. Ia menjadi “hakim” yang adil bagi suami atau istri yang tidak setia. Ia menunjukkan kepada keluarga-keluarga demikian, betapa Tuhan itu murah hati.
Ia meraih gelar Doktor Teologi di Universitas Turin tahun 1656. Tetapi banyak orang tidak melihat Sebastian sebagai seorang akademisi. Ia lebih dikenal sebagai “Alter Christus”, jembatan antara Tuhan dan pendosa. Hal ini membuat Uskup Agung Turin Mgr Michelle Beggiami 1611-1689) pernah mengusulkan namanya sebagai pengganti dirinya. Tetapi, pastor bijaksana ini lebih memilih nama Mgr Michele Antonio Vibò (1630-1713) untuk menggantikan Mgr Michelle.
Jalan Kasih
Semangat juangnya yang pantang menyerah dan iman Pastor Sebastian yang kokoh kepada Allah, membuat dirinya menjadi terang bagi sesama manusia. Ia tidak takut meminta sedekah kepada orang kaya Kota Turin untuk dibagikan kepada orang miskin. Ia menjadi pastor “Santa Claus” yang membagikan sedekah pada malam hari kepada orang miskin. Ia tidak mau apa yang diberikan tangan kanan di ketahui tangan kiri. Ketika pagi menjemput, kaum miskin terbangun dengan semangkok kacang merah, susu, daging, dan roti yang siap disantap. Mereka bersukacita dan memuji Tuhan atas hadirnya sang penolong ini.
Kegiatan-kegiatannya ini semakin intens ketika kelaparan melandan Turin tahun 1678-1680. Tragedi ini terjadi akibat perang antara Kaum Sardinia dengan Raja Louis XIV. Akibatnya, warga Turin mengalami penderitaan yang tak terperi. Di tengah derita ini, doa-doa Pastor Sebastian mampu membawa perdamaian di Turin. Sekejap saja, banyak orang yang rela membantu masyarakat Turin.
Rumah sakit, sekolah, biara, barak, penjara, dan banyak tempat lainnya merasakan sentuhan kasih Pastor Sebastian. Atas semua ini, Pastor Sebastian hanya mengatakan bahwa ini semua berkat campur tangan Tuhan. Kala melihat orang miskin, ia segera terpanggil untuk memberi bantuan.
Imam yang ditahbiskan Februari 1652 ini melakukan sesuatu yang benar-benar menyelamatkan jiwa kaum miskin. Sikap Pastor Sebastian yang ceria, telah menarik hati setiap orang.
Sebelum mempertobatkan orang lain, ia selalu berjuang menyucikan dirinya lewat doa, puasa, dan sedekah. Dia berusaha memperbaiki sifatnya yang marah dan egois agar tidak menyakiti kaum miskin. Dia berjuang sampai menderita agar kaum miskin mengalami kebahagiaan. Manifestasi kehidupan rohani yang saleh ini ia bawa sampai akhir hidupnya. Pastor penyayang ini meninggal dalam kemuliaan Allah disaksikan kaum miskin pada 30 Januari 1710.
Momen yang menggemparkan terjadi saat kematian bapa orang miskin ini. Di biara Kongregasi Oratorium kaum miskin duduk bersama tuan tanah, kaum burjuis, dan bangsawan. Lewat kematiannya, Pastor Sebastian melepaskan sekat-sekat antara yang kaya dan miskin, bangsawan dan kaum jelata. Semua membaur untuk mendoakan dia.
Kesedihan masyarakat Turin ini berubah menjadi sukacita ketika nama Pastor Sebastian disebutkan dalam Surat Promulgasi Beatifikasinya yang dikeluarkan oleh Prefek Penggelaran Kudus Vatikan. Paus Gregorius XVI (1765-1846) menggelarinya santo pada tahun 15 Juli 1834. Kesucian Pastor Sebastian diperingati setiap 30 Januari.
Yusti H. Wuarmanuk
HIDUP NO.51 2018, 23 Desember 2018