HIDUPKATOLIK.com – Narada adalah upaya memahami manusia di atas panggung. Bagaimana manusia dibelenggu oleh realitas sosial dan penikmatnya perlu belajar dari sana.
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya (FP UAJ) Jakarta secara rutin mengadakan pementasan seni. Dalam kegiatan tersebut terselip warna psikologi di dalamnya. Mahasiswa psikologi kerap menilai panggung sebagai tempat belajar. Namun, salah satu mahasiswa psikologi, Joshua Ricky memberikan penilaian berbeda dalam setiap pementasan. Ia merasa ada semacam kekosongan yang harus diisi.
Pementasan seni FP UAJ dinilainya hanya sebatas penampilan band hiburan saja. Hanya diisi oleh pentas seni, penampilan tari UKM, dan diskusi film dengan basis psikologi. Di dalam benak Joshua, begitu akrab disapa, teater belum pernah mendapat kesempatan. Padahal teater adalah ibu dari segala seni.
Kekosongan ini pun mendorong Joshua bersama teman sejawatnya untuk berjibaku membuat sebuah kelompok teater yang memiliki basis psikologi. Baginya untuk membentuk sebuah kelompok teater tidaklah mudah. Perjalanannya pun dimulai dengan diskusi bersama para senior dan alumni FP UAJ. Ia mengingat, salah satu seniornya pernah membuat sebuah proyek seni serupa dengan nama Teater Ungu. Hal ini semakin menguatkan tekadnya untuk merealisasikan sebuah kelompok teater.
Konstruksi Sosial
Rangkaian diskusi panjang pun usai. Tepat pada 2013, lahirlah sebuah kelompok teater bernama Teater Narada. Nama ini berasal dari akronim “nada dan rasa dalam drama”. Kemudian Joshua pun didapuk menjadi pemimpin proyek perdana mereka. “Meski sebagai pemula saya berani memulainya,” ungkap Joshua mantap.
Ketua pertama Narada ini menambahkan, kelompok teater ini secara berkala melakukan pementasan rutin setiap tahun. Konsistensi ini terlihat hingga saat ini. Joshua mengingat, pada pementasan perdananya, Narada mengangkat tema mengenai kehidupan masyarakat. “Kami mencari tema yang memikat. Setiap pementasan akan dimasukkan materi mengenai teori psikologi. Selama ini, pementasan yang sudah dilakukan mengangkat tema perubahan, penerimaan, dan (de) konstruksi sosial,” ujarnya.
Pada saat memulai langkah pertama, Narada disambut baik. Mereka sukses mementaskan teater berjudul “Juang”. Pementasan teater perdana Narada membutuhkan masa persiapan selama satu tahun. Suksesnya pementasan perdana Narada pun memancing keterlibatan mahasiswa lainnya. Alhasil pada tahun berikutnya selalu ada yang berminat mencalonkan diri menjadi ketua proyek Narada. Melalui Narada, minat mahasiswa di bidang seni semakin difasilitasi.
Ketua Narada 2018, Birgitta Tanujaya mengungkapkan, “Narada telah berhasil mementaskan seri Narada 1 hingga 3.” Ia sekaligus membeberkan bahwa Narada 4 akan segera dipentaskan. Lebih lanjut, Brigita menilai, bahwa konstruksi sosial sangat relevan untuk dibahas. Konstruksi sosial adalah sebuah proses sosial melalui tindakan dan interaksi di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subyektif.
Brigitta mencontohkan berbagai pandangan yang melekat pada jenis kelamin seseorang. Umumnya pada masa bayi, laki-laki diidentikkan dengan warna biru, sedangkan perempuan dengan warna merah muda. Selain itu, ketika anak laki-laki menangis, biasanya akan dinilai sebagai anak yang manja dan rapuh. “Masyarakat seringkali menganggap laki-laki sebagai orang yang kuat sehingga tidak diperkenankan untuk menangis,” ujarnya.
Sebaliknya, ketika anak perempuan menangis, masyarakat seringkali menganggap hal tersebut adalah suatu kewajaran. Untuk itu, lanjut Brigitta, dekonstruksi sosial diperlukan. Dekonstruksi sosial adalah kontradiksi dari konstruksi sosial. Keduanya menghasilkan pemikiran dan cara pandang baru bagi masyarakat.
Tawaran dekonstruksi sosial pun diperlihatkan pada pementasan Narada yang ke-4. Kali ini, Teater Narada akan mengangkat isu yang dekat dengan kehidupan masyarakat. Secara khusus mengusung tema dangdut dan stereotip gender. Keunikan pementasan terletak pada perpaduan masalah sosial dan musik. Pertunjukan ini berusaha menampilkan dangdut dari sisi yang lebih manusiawi. Membawa dangdut menjadi salah satu alat ekspresi dan solusi dari apa yang dialami oleh masyarakat. “Ketimpangan kehidupan di kota dan desa berusaha dipotret dan disatukan lewat musik yang tampaknya remeh, namun tak bisa dianggap sepele,” ujar Brigitta.
Sutradara Narada, Stephanus Hermawan atau biasa dipanggil Ciprut ikut menegaskan hal tersebut. Stereotip gender akan menjadi tema Narada 4 yang akan dipentaskan pada bulan Mei 2019. Tema ini menjadi perhatian masyarakat saat ini. “ Secara umum stereotip gender akan membahas generalisasi sederhana tentang atribut, perbedaan, dan peran gender dari individu atau kelompok,” ujarnya.
Ciprut mencontohkan peran stereotip yang melekat pada seorang perempuan adalah untuk menikah, memiliki anak, dan memperhatikan kesejahteraan keluarga. Sedangkan laki-laki, melekat sosok seorang yang tegas, kompetitif, mandiri, berfokus pada karir, dan berani. Tetapi, stereotip demikian berbahaya karena dapat menghambat ekspresi dan kreativitas individu, serta pertumbuhan pribadi, dan profesional, khususnya bagi kaum hawa. “Tidak dapat dipungkiri, anak-anak belajar hal ini dari orang-orang yang ditemuinya sehari-hari mulai dari guru, orang tua, hingga pemuka agama. Walaupun begitu, stereotip juga bisa bersifat positif,” jelasnya.
Harapan Manusia
Seorang mahasiswa diajak untuk selalu memikirkan realitas sosial yang ada. Wujud keprihatinan realitas sosial ini pun ditunjukkan mealui teater. Teater menjadi panggung pembenahan tetapi ia harus hidup untuk menghadirkan realitas yang ia tunjukkan di dalamnya. Teater harus mampu menujukkan segala sesuatu terutama yang menyangkut tragedi, kemirisan, romantisme, kejahatan, kebajikan bahkan kematian yang dimiliki oleh manusia.
Brigita menjelaskan, materi yang diangkat oleh Narada menyikapi soal realitas sosial yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Realitas ini tidak hanya dilihat begitu saja, tetapi mesti diamati dan dikritisi lebih jauh. Teater Narada menggambarkan bagaimana pergulatan manusia di dalam realitasnya. “Pada kenyataannya, konstruksi sosial seringkali telah membelenggu dan memasung realitas kehidupan manusia. Konstruksi sosial bahkan membuat manusia kehilangan harapan dan jati dirinya,” jelasnya.
Apa yang dipertunjukkan oleh Narada sebenarnya bukan soal hingar bingar realitas sosial itu saja. ”Tetapi melalui panggung ini, kami juga menawarkan gagasan bahwa manusia pada dasarnya memiliki harapan mana kala ia mampu melampaui realitas sosialnya. Narada adalah upaya memahami manusia di atas panggung. Bagaimana manusia dibelenggu oleh realitas sosial dan kita belajar dari sana,” pungkasnya.
Willy Matrona
HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018