HIDUPKATOLIK.com – Setelah 44 tahun, Gereja Katolik Indonesia memasuki era baru pemenuhan Anggur Misa. Gereja Indonesia akhirnya bisa swasembada.
Gagasan tentang swasembada anggur Misa dipublikasikan pertama kali melalui media massa nasional pada awal tahun 2000-an oleh Floribertus Rahardi, sastrawan yang juga wartawan dan pemerhati pertanian. Namun, sayangnya gagasan ini tak bergema, bahkan juga tak berkembang menjadi sebuah wacana, lenyap ditelan masa. Satu dasawarsa kemudian, barulah berbagai pihak di internal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) membahas pentingnya berswasembada anggur Misa. Hal ini karena berbagai kendala regulasi yang dihadapi terkait impor anggur Misa.
Usaha Gereja Katolik Indonesia untuk melakukan swasembada anggur Misa dimulai pada 2010. Langkah persiapan dan uji coba produksi mulai dilakukan yang melibatkan banyak kalangan. Namun, usaha ini mengalami kebuntuan, karena kualitas anggur Misa tidak sesuai harapan para Uskup pada waktu itu. Ketiadaan pengalaman dan kesulitan perizinan untuk memproduksi minuman beralkohol dalam kuantitas besar membuat usaha ini terhenti.
Pembahasan terkait swasembada mengemuka kembali dalam Rapat Presidium KWI Agustus 2016. Tiga alasan yang harus dipecahkan KWI pada waktu itu adalah kemampuan winery di Indonesia, sustainabilitas untuk memasok semua kebutuhan anggur Misa secara nasional sebanyak 33 ribu sampai 40 ribu liter per tahun, dan harga yang belum tentu bisa kompetitif dibandingkan impor.
Sidang KWI November 2017 menyetujui untuk mulai menjajaki pengadaan anggur Misa lokal. KWI menugaskan Direksi Kantor KWI bersama Komisi Liturgi KWI untuk menyiapkan segala prosesnya. Tim Swasembada dipimpin oleh Mgr. Petrus Boddeng Timang dengan staf terdiri dari Kepala Departemen PSDM-PU-TG KWI, Pastor Agust Surianto Himawan, Wakil Ketua Komlit KWI Pastor Christophorus H. Suryanugraha OSC, Sekretaris Komlit KWI Pastor Yohanes Rusae, dan Floribertus Rahardi.
Tim mempelajari berbagai kemungkinan kerja sama dengan beberapa winery di Indonesia. Produksi tak bisa dilakukan sendiri mengingat membuat winery sendiri, dirasakan tidak efisien dan kesulitan memperoleh izin mengolah minuman beralkohol. Hal ini juga karena ketatnya regulasi negara atas pangan olahan jenis ini.
Pilihan jatuh pada PT Sababay Industry yang memiliki winery di Gianyar, Bali dengan kapasitas terpasang sangat besar yang tentu sanggup “dititipi” untuk memproduksi anggur Misa. Maka, Tim Swasembada melakukan pembicaraan dengan pihak PT Sababay Industry yang diwakili oleh Mulyati Gozali (Komisaris), Evi Gozali (CEO & Direktur Utama), Yohan Handoyo (COO & wine expert), Nicolas Martin Delacressonniere (winemaker), dan Michael Fahmi Mintareja. Tim Swasembada melakukan berbagai diskusi, studi literasi, studi banding, dan berkali-kali survei langsung ke pabrik di Gianyar, dan kebun anggur di Gerokgak dan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali Utara.
Setelah segala persiapan matang, dimulailah produksi perdana anggur Misa pada Mei 2018. Empat bulan kemudian, tepatnya 21-23 September dilakukan pengetesan oleh Tim Swasembada untuk memastikan Anggur Misa perdana memiliki citarasa yang mirip dengan anggur Misa impor. Seluruh proses produksi mengacu pada norma dan ketentuan yang diatur di dalam Kitab Hukum Kanonik, Pedoman Umum Misale Romawi, dan berbagai dokumen arahan yang dikeluarkan oleh Takhta Suci.
Kebutuhan Gereja Indonesia
Mulai 1974 kebutuhan Anggur Misa Gereja Katolik dipasok oleh Sevenhill Cellars, sebuah winery yang dikelola oleh para imam Serikat Yesus di Adeleide, Australia Selatan. Pada mulanya, impor dilakukan setiap tiga tahun sekali oleh Biro Umum pada Departemen Keuangan KWI. Biro ini kemudian melebur ke dalam Departemen PSDM-PUTG. Pertumbuhan umat, paroki, dan keuskupan membawa dampak pada kebutuhan sarana peribadatan yang lebih banyak, termasuk kebutuhan anggur Misa. Kebutuhan per tiga tahun berkisar antara 400-480 drum yang masing-masing isinya 220 liter, sehingga total menjadi 88.000 – 105.600 liter Anggur Misa sekali impor.
Angka ini sempat mengagetkan pihak pemerintah, yang tidak semua aparatnya memahami peribadatan Katolik. Anggur Misa dilihat secara hitam-putih sama dengan table wine pada umumnya sebagai minuman beralkohol. Padahal di Indonesia ada 37 keuskupan, yang masing-masing memiliki puluhan, bahkan ada yang di atas seratus paroki. Masih ditambah sekian banyak stasi, biara, dan rumah doa di tiap keuskupan. Kalau tiap hari masing-masing merayakan satu sampai tiga kali misa kudus, ditambah empat sampai delapan kali misa hari Minggu rutin, dan sekali Misa butuh 15 mililiter anggur Misa, maka perhitungan menjadi amat realistik.
Rumitnya proses pengurusan impor pada 2010 melahirkan gagasan untuk berswasembada Anggur Misa. Namun, banyak kendala yang dihadapi oleh Tim Swasembada Anggur Misa kala itu, sehingga pada akhirnya, KWI memutuskan untuk tetap mengimpor Anggur Misa dari Sevenhill. Agar kuantitas impor tak terlalu menyolok, maka diputuskan untuk melakukan impor dua tahun sekali, yaitu pada 2012, 2014, 2016 dan 2018. Total impor saat ini mencapai 280-320 drum, setara 61.600-70.400 liter.
Sejak 2007, KWI telah melakukan enam kali impor dengan total 2.020 drum, atau setara 444.400 liter anggur Misa untuk digunakan sepanjang 13 tahun sampai 2020 nanti. Impor terakhir dilakukan 2018 ini untuk penggunaan tahun 2019 dan 2020. Maka, kalau dibagi rata-rata per tahun, dibutuhkan sekira 34.000 liter anggur Misa, atau setara 155 drum.
Anggur misa tersebut didistribusikan ke 37 keuskupan. Tiga keuskupan terbanyak menggunakan anggur Misa adalah Semarang (16,3 drum per tahun), Surabaya (10,8 drum per tahun), dan Jakarta (8,9 drum per tahun). Tiga urutan terkecil adalah Agats (1,1 liter per tahun), Pangkalpinang (1,3 drum per tahun), serta Ketapang, Tanjung Selor dan Palangka Raya (masing-masing 1,5 liter per tahun).
Tonggak Penting
Sidang KWI 2017 menjadi tonggak penting bagi sejarah Gereja Katolik, ketika 34 uskup menyetujui untuk kembali menjajaki dan mengupayakan swasembada anggur Misa. Tim Swasembada Anggur Misa yang dibentuk kali ini tidak memulai segalanya dari nol. Berbagai kekurangan yang menggagalkan usaha swasembada sebelumnya menjadi dasar pertimbangan melangkah ke depannya.
Maka, alternatif yang dipilih untuk berswasembada adalah bekerja sama dengan winery yang sudah ada di Indonesia dan sudah memproduksi anggur dengan baik. Untuk proses pembuatan Anggur Misa, Tim Swasembada harus memastikan, bahwa bahan baku buah anggur, cara mengolah dan memproduksi anggur, serta kualitas hasil produksinya sesuai dengan norma Gerejawi.
Memang segala sesuatu ada masanya. Setelah 44 tahun bekerja sama dengan Sevenhill Cellars, untuk melayani kebutuhan dasar peribadatan Gereja Katolik, kini tiba kesempatan Gereja Katolik Indonesia untuk mandiri, melepaskan ketergantungan pada luar negeri. Dengan berswasembada, kita turut menghemat devisa, turut memberdayakan industri dalam negeri, dan turut memberdayakan petani anggur lokal.
HIDUP NO.50 2018, 16 Desember 2018