HIDUPKATOLIK.COM – Ibr. 2:5-12; Mzm. 8:2a, 5, 6-7, 8-9; Mrk. 1:21b-28
SETELAH memproklamasikan Kabar Gembira Allah, Yesus “pergi ke Kapernaum, masuk ke dalam rumah ibadat, dan mengajar (Yun. didaskó)” (ay. 21). Dalam khazanah PB, kegiatan didaskó berarti tindak lanjut dari kérussó; saling melengkapi.
Namun, ada yang khusus dalam didaktika Yesus ini. “Dia mengajar mereka sebagai ‘orang yang memiliki kuasa’ (Yun. eksousía), tidak seperti para ahli Taurat” (ay. 22). Eksousía me nunjuk pada sesuatu yang “berasal dari atas”; ada pendelegasian otoritas. Eksousía milik Yesus berasal dari Allah.
Ia merupakan kelanjutan dari proklamasi resmi Injil. Asal-usul Ilahi inilah yang membuat roh-roh jahat bereaksi. Mereka pun mengidentifikasi Yesus sebagai “Engkau yang Kudus ‘dari Allah’” (ay. 24). Eksousía ini menjadi unsur pembeda antara didaktika Yesus dengan pengajaran para ahli Taurat.
Penginjil Markus menunjukkan didaktika Yesus yang dilakukan dengan kuasa itu, selalu disusul dengan pengusiran “roh yang tidak bersih” (ay. 22), yaitu roh yang “tercampur secara keliru”, dan karena itu “ternoda”. Dalam Markus, pengusiran atau eksorsisme merupakan “karya pertama Yesus”.
Alasannya, kehadiran Kuasa Ilahi tidak pernah boleh dicampuri dengan kehadiran makhluk apapun. Injil Markus menyebut roh yang diusir itu sebagai “roh yang ‘tidak bersih”’, karena ia mencampuri hati dan pikiran manusia dengan kekotoran, seperti yang dilakukan terhadap Adam dan Hawa.
Maka tujuan eksorsisme dari Yesus, yang didahului dengan didaktika itu, adalah “membuat (manusia menjadi) ‘bersih’”, dan mengembalikannya kepada (sifat asli) penciptaannya sebagai citra Allah!
Henricus Witdarmono
M.A. Rel. Stud. Katholieke Universiteit te Leuven, Belgia