HIDUPKATOLIK.com – Pada bulan-bulan tertentu, saya melihat di sekitar kita ada banyak orang yang melangsungkan pernikahan. Namun, ketika memasuki Masa Adven, mengapa Gereja tidak memperbolehkan pemberkatan pernikahan saat Masa Adven? Adakah alasan atau Hukum Gereja yang mengatur hal ini?
Mateus Bima Rianto, Bandung, Jawa Barat
Dalam pedoman Misale Romawi dikatakan bahwa Misa Pemberkatan Pernikahan merupakan salah satu bentuk Misa Ritual, misa yang dirayakan dalam kaitan dengan sakramen atau sakramentali. Misa Ritual ini pada dasarnya dilarang pada hari Minggu selama masa khusus, antara lain Adven. Istilah Misa Ritual bisa dipahami sebagai misa yang menggunakan rumus Misa Perkawinan, atau istilah formalnya: Misa Pro Sponsis, misa bagi mempelai, rumusan misa untuk perkawinan. Dari ini kita bisa bertanya tentang rumus misa, tetap menggunakan rumusan Misa hari Minggu yang bersangkutan dan apakah bisa jika hanya pemberkatan saja, tanpa misa?
Akan tetapi, Pedoman Tata Perayaan Perkawinan, yang dikeluarkan oleh Kongregasi Sakramen dan Tata Ibadah (1990) menyebutkan, bahwa perayaan liturgi perkawinan sebaiknya diadakan pada hari-hari biasa, supaya dapat digunakan rumus khusus untuk liturgi perkawinan (Missa pro sponsis). Akan tetapi, ditambahkan, kalau diadakan di hari Minggu sebaiknya diadakan dalam misa umat untuk hari Minggu, dengan menggunakan rumus misa hari Minggu. Lebih lanjut, perayaan itu dapat diadakan juga pada hari Minggu pada Masa Adven, dan masa khusus lainnya.
Akan tetapi catatan penting diberikan: agar mempertimbangkan semangat tobat pada masa itu, sehingga tidak mengadakannya dalam suasana kemeriahan atau suasana pesta. Di sini, kita diingatkan akan Masa Adven sebagai masa tobat, penantian, dan pengharapan akan datangnya Juru Selamat. Karenanya, selama Masa Adven kita mendengar, karenanya, ungkapan Yohanes Pembaptis, “Bertobatlah, sebab kerajaan Surga sudah dekat” (Mat 3:2).
Di beberapa tempat, kebijakan diambil oleh uskup atau imam setempat. Tentu tidak pada tempatnya kalau kita lalu memperdebatkan kebijakan yang bisa berbeda di setiap tempat. Di sini, kita perlu menghormati kewenangan pimpinan Gereja setempat.
Perkawinan adalah persoalan hidup, hidup baru dipeluk di mana dua pribadi menjadi satu di hadapan dan di dalam Allah. Sisi lain, lingkaran liturgi adalah pula persoalan hidup, di mana kehidupan iman kita mengikuti tapak perjalanan misteri Tuhan kita Yesus Kristus. Perkawinan adalah bagian dari rencana kehendak Allah, sebagaimana pula misteri Yesus Kristus. Maka persoalannya, bagaimana keduanya bisa dipadukan. Konsekuensinya, waktu perkawinan sebaiknya perlu mempertimbangkan masa liturgi.
Kiranya pertimbangan yang menyarankan agar tidak ada pernikahan di Masa Adven, bisa didasarkan pada alasan tersebut. Masa Adven adalah masa tobat, kiranya tidak sangat pas dengan intensi atau suasana perkawinan. Tidak mengherankanlah kalaupun diperbolehkan, kemudian perlu ada penyesuaian sana-sini, agar makna Adven tidak pudar atau hilang.
Baik perkawinan maupun masa liturgi bicara soal ritual kehidupan. Keduanya sama-sama penting, dan sebagai umat beriman, kita jangan terlalu mudah mengabaikan masa liturgi ini. Dimaksudkan dengannya, agar hidup kita tetap berada dalam cakupan dan kesadaran akan peristiwa iman yang kita peringati. Tidak bisa disangkal, bahwa seringkali urusan penentuan waktu lebih didasarkan pada pertimbangan praktis.
Kalau segalanya terlalu mudah kita putuskan atas dasar pertimbangan praktis, dikhawatirkan terjadi kurang peduli soal nilai atau makna dari perkawinan itu. Keluhan Paus Fransiskus bahwa banyak perkawinan Katolik sebenarnya “tidak valid”, karena orang tidak tahu apa yang dijanjikan dan tidak memahami sungguh apa nilai dan makna dari perkawinan Katolik, kiranya perlu kita perhatikan dengan saksama.
Oleh karena itu, persoalan paling pokok bukanlah boleh atau tidak boleh. Ada sesuatu yang lebih penting: mempertimbangkan perkawinan dengan sungguh, termasuk juga soal waktu, agar perkawinan dapat sungguh menjadi perayaan iman akan kasih Allah yang mempersatukan. Di sini penting untuk membuat pertimbangan dan penegasan bersama dengan imam, dan imam pun diajak untuk tidak begitu saja dengan mudah hanya mengatakan boleh atau tidak boleh, sehingga penegasan bersama dalam Tuhan tidak terjadi.
T. Krispurwana Cahyadi SJ
HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018