HIDUPKATOLIK.com – Pulau Rote atau Kepulauan Rote, nama yang kerap disebut Presiden Joko Widodo tatkala menggambarkan betapa besar dan luasnya persada Nusantara ini. ‘Dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai ke Pulau Rote’. Miangas adalah pulau terluar di utara Indonesia, terletak di Provinsi Sulawesi Utara; Rote adalah pulau terluar di selatan Indonesia, terletak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, Kabupaten Rote Ndao (termasuk Pulau Rote) berpenduduk 159.614 jiwa. Secara administrasi kegerejaan, Rote termasuk dalam wilayah Keuskupan Agung Kupang (KAK), NTT. Jumlah umat Katolik tergolong kecil. Sekitar seribu lima ratusan jiwa lebih dari total jumlah di atas. Mayoritas penduduk beragama Protestan.
Di Rote terdapat dua paroki dengan stasi-stasi yang cukup banyak: Paroki Kristoforus Ba’a dan Paroki Santo Petrus Olafuliha’a. Satu lagi paroki berada di Pulau Sabu, yakni Paroki Santo Paulus, Raijua. Dua paroki yang disebut terakhir ini merupakan pemekaran dari Paroki Kristoforus Ba’a. Kalau ditilik dari jumlah, seolah-olah Katolik baru hadir di Pulau Rote. Tidak. Katolik sebetulnya telah hadir di Rote sejak abad ke-16, bersamaan dengan kedatangan saudagar Portugis ke wilayah ini. Namun kegiatan misi Katolik mengalami hambatan dengan kedatangan Belanda ke Timor dan sekitarnya, termasuk Rote. Belanda datang dengan misi Protestan dan diberi kebebasan bertumbuh, tidak hanya di Rote tetapi juga di wilayah Nusa Tenggara dan Timor. Karya misi Katolik baru diizinkan kembali menjelang abad ke-19.
Gereja Katolik bertumbuh di Rote berkat kehadiran pendatang (migrasi) dari Flores, Alor, Timor, Sumba, Kupang, dan lain-lain. Mereka inilah yang menikah dengan penduduk setempat yang telah menganut Protestan. Kendati demikian, perlahan-lahan Gereja Katolik berkembang. Mereka bisa hidup bersama, berdampingan, menghormati agama, tradisi, dan budaya masyarakat Rote. Kian disadari pula, kentalnya kebersamaan dalam pluralitas (termasuk dengan hadirnya juga Islam belakangan), bagaikan ratna mutu manikam masyarakat Rote. Walau akhir-akhir ini, makin deras arus pendatang masuk ke kawasan ini, permata harmoni itu tetap dijaga, dirawat, dan dihidupi bersama bak lentingan Sasando dan gemulai penari-panari Rote.
Biji sesawi (iman Katolik) yang jatuh di tanah Rote dengan pelbagai rintangan dari masa ke masa, kini mulai tumbuh, dan berbuah. Jumlah umat bertambah. Panggilan menjadi biarawan-biarawati, rohaniwan pun mulai tumbuh, dan dipetik di sini. Otoritas Keuskupan Agung Kupang tak segan-segan menempatkan gembala-gembala mumpuni menggembalakan umat di kepulauan dengan pantai nan memesona itu.
Dan, keindahan wisata alam Rote pun telah tersiar ke segala penjuru dunia. Modernitas tentu akan berpengaruh pada daya tahan kearifan lokal. Maka, adalah perutusan kawanan kecil umat Katolik di Rote, bersama dengan umat Protestan, Islam, dan agama lain untuk terus merawat harmoni kerukunan, kebersamaan, toleransi yang selama ini telah terpintal dengan sangat indah di Rote.
HIDUP NO.02 2019, 13 Januari 2019