HIDUPKATOLIK.com – Otaknya encer sehingga tak menemukan kesulitan pada masa-masa awal hidupnya di seminari. Sayang, saat telah menjadi imam muda, ia gugur di ujung senjata.
Senin, 20 Desember 1948. Keadaan sedikit tenang, di seminari sedang berlangsung ujian. Menjelang sore hari mulailah terjadi pembumihangusan. Gedung-gedung pemerintah diperintahkan supaya dihanguskan. Api mulai menjalar di mana-mana. Kompleks milik misi juga tak luput dari kobaran api. Tempat tinggal anak-anak seminari juga mulai terkena api. Anak-anak mulai mengambil air untuk memadamkan nyala api.
Ketika hari mulai gelap, datanglah sekelompok orang mengundang para imam untuk mengadakan rapat. Pastor van der Putten SJ, (rektor seminari), karena merasa bertanggungjawab terhadap para seminaris, ia tidak meninggalkan anak-anak. Salah seorang imam, Pastor Richardus Kardis Sandjaja menyanggupi mewakili. Ia pergi bersama seorang Frater Serikat Yesus, Frater Hermanus Bouwens SJ dan Bruder Kismadi. Ketiganya berangkat untuk ikut rapat itu. Pastor Sandjaja pergi dengan memakai jubah imam begitu juga frater memakai jubah yang biasa ia kenakan. Hal ini tidak diikuti Bruder Kismadi, ia hanya mengenakan pakaian biasa.
Mereka bertiga berjalan bersama orang yang menjemput melewati jalan desa yang berkelok-kelok. Saat sampai di suatu tempat asing, mereka berhenti. Bruder Kismadi dipisahkan dari Pastor Sandjaja dan Frater Hermanus. Tak berselang lama, Bruder Kismadi mendengar suara tembakan sebanyak dua kali. Itulah kali terakhir Bruder Kismadi melihat Pastor Sandjaja.
Menolak Lupa
Mendengar nama Pastor Sandjaja, selalu bermuara pada peristiwa kelam malam itu. Usai peristiwa penembakan itu, keesokan harinya Muntilan dan sekitarnya geger. Berita pembunuhan tersiar ke mana-mana. Siswa seminari pun kalang-kabut dan sebagian pergi menyelamatkan diri. Jenazah Pastor Sandjaja dan Frater Bouwens ditemukan mengenaskan di sekitar Dusun Kembaran Muntilan. Orang tua Pastor Sandjaja, Willem Kramasendjaja, yang menemukan jenazah keduanya. Betapa sedih hatinya ketika melihat sang anak terkulai tak berdaya.
Kedua jenazah pada awalnya dimakamkan di tempat mereka ditemukan. beberapa hari kemudian dipindahkan ke Makam Dusun Kembaran. Setahun setelah kejadian itu, tepatnya pada 5 Agustus 1950, jenazah Pastor Sandjaja dan Frater Bouwens dipindahkan ke Kerkof Muntilan, bersama dengan pemindahan jenazah korban pembunuhan 1 November 1945 di Gereja Ignatius Magelang. Hingga kini, Kerkof Muntilan ramai dikunjungi peziarah yang ingin berdoa di makam Pastor Sandjaja. Di sini, peziarah juga dapat menemukan makam-makam para misionaris awal di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Seperti Bima
Kardis, demikian nama kecil Pastor Sandjaja, ia masuk ke seminari menengah yang saat itu berdiri di tepi Sungai Code. Dalam buku Mengenal dan Mengenang Pastor Sandjaja, sebagai anak baru, Kardis kerap diejek teman-temannya karena ia dikenal sebagai anak yang canggung. Namun, ia menerima semua ejekan itu dengan tenang. Ia pun tidak marah. Otaknya pun encer sehingga tidak menemukan kesulitan dalam studi.
Kardis adalah sosok pemuda yang gagah, tinggi, seperti Bima atau Wrekudara dalam kisah Mahabarata. Kulitnya putih dan sikapnya cenderung kaku. Dalam buku karya J Hadiwikarta ini, imam Keuskupan Agung Semarang Pastor Kiswana menuturkan, selain pintar Pastor Sandjaja kalau dia berjalan sering nunjang-nunjang (tergopoh-gopoh). Seperti tokoh wayang itu sikap Pastor Sandjaja juga cenderung polos. “Kalau diganggu dan diejek tak pernah marah, hanya tersenyum saja. Pakaiannya sederhana, gaya desa, bahkan kain batik yang dipakainya terlalu cupet (pendek), maklum tubuhnya jangkung,” ungkap Pastor Kiswaya.
Sedangkan Willy Sutopo Setiardja menceritakan sosok Pastor Sandjaja sebagai orang yang tegap tegas jiwa raganya. Terampil, mulus, tulus, tidak berbelit-belit. Ia menjelaskan, bahwa Pastor Sandjaja adalah orang suci. Kepatuhannya itulah yang menjadikan sosoknya suci, baik dulu sewaktu hidup, maupun ketika Beliau wafat. Pastor Sandjaja bisa dikatakan sebagai “Pahlawan Ketaatan”.
Daya Tarik
Paulus Mursidi, penjaga kerkof yang sudah bertugas selama kurang lebih 35 tahun, menceritakan, orang yang datang ke kerkof kebanyakan akan berdoa di depan makam Pastor Sandjaja. Karena sudah setengah hidupnya menjadi penjaga kerkof, Mursidi sehari-hari melihat umat yang berdoa di makam itu. Setiap hari, kerkof dibuka sejak pagi sampai sore, pukul 06.00-18.00. “Setiap hari ada saja yang datang secara khusus untuk berdevosi atau berziarah kepada Pastor Sandjaja,” jelasnya.
Menurut Mursidi, Pastor Sandjaja dikenal oleh banyak orang. Namun, ia mengakui, perannya dalam sejarah Gereja di Jawa. Setiap orang berdoa dengan masing-masing cara. Ada yang datang untuk meditasi, baca Kitab Suci, ada yang mencium karpet seperti salat. “Setiap hari paling tidak 50 orang pengunjung pasti ada. Itu minim ya,” tuturnya.
Para pengunjung silih berganti datang dan berdevosi di makam Pastor Sandjaja. Termasuk dirinya, setiap pagi dan sore berdoa untuk kelancaran dan kesehatan untuk bisa melaksanakan tugasnya.
Beberapa imam, juga sesekali datang, Mursidi hafal siapa saja yang sering berkunjung ke Kerkof Muntilan ini. Ia menyebutkan, salah satunya yaitu Mgr Ignatius Suharyo. “Mgr Suharyo itu jalan sendiri ke sini, tidak mau diantar supirnya,” kenang Mursidi.
Mursidi menceritakan, ada yang melakukan syukuran karena doanya terkabul. Ia bersaksi, ada yang mengalami kesembuhan meski dokter sudah memvonis akan sulit sembuh, tetapi sampai sekarang terus hidup. Kisah yang diungkap Mursidi hanya sebagian. Banyak doa telah dipanjatkan melalui Pastor Sandjaja di tempat ia dimakamkan.
Kehadiran Pastor Sandjaja di Kerkof Muntilan memang menjadi ketertarikan tersendiri bagi para peziarah. Sekretaris Museum Misi Muntilan, Antonius Tri Usada Sena menuturkan, dalam satu tahun kunjungan ke museum itu rata-rata 3000-an orang. Banyak kunjungan terjadi di Bulan Mei dan Bulan Oktober, bersamaan dengan devosi terhadap Bunda Maria. “Biasa mereka ziarah ke Sendang Sono atau ke tempat lain, dan Museum Misi menjadi salah satu jadwal destinasi mereka,” katanya.
Museum sebagai pusat animasi, terdapat peninggalan-peninggalan dari para misioner bak dari kaum rohaniwan maupun awam. Tak terkecuali barang-barang peninggalan milik Pastor Sandjaja semasa hidupnya, dipamerkan di sana.
Sena mengatakan, yang datang memang kebanyakan dari Keuskupan Agung Semarang, namun banyak juga yang datang dari keuskupan lain. Mereka datang ke situs misi Muntilan. Ia tak menampik, tak jarang mereka lebih dulu tahu tentang Pastor Sandjaja baru tentang museum. Ada pula yang baru tahu bahwa makam Pastor Sandjaja itu adalah bagian dari komplek misi Muntilan. “Salah satu tugasnya, menghidupkan kembali semangat tokoh-tokoh keteladanan.”
Banyak tokoh-tokoh besar yang dimakamkan di Kerkof Muntilan, namun makam Pastor Sandjaja seolah menjadi daya tarik utama bagi umat yang mengunjungi Kerkof Muntilan. Di peringatan 70 tahun wafatnya Pastor Sandjaja ini, Sena berharap semoga sejarah tentang Pastor Sandjaja bisa memicu ingatan diingat kembali, dan dokumen-dokumen yang pernah dikumpulkan saat pengajuan kanonisasi itu bisa dicari lagi. Ia berpendapat, sejarah ini bisa menjadi bahan pembelajaran dan permenungan. “Semangat dan keteladanan Beliau kan bagus untuk digali dan dihidupi lagi, apalagi yang menggunakan nama Sandjaja itu jangan hanya menggunakan namanya saja, tapi nilai spiritualitasnya juga dihidupkan,” tandasnya.
Marchella A. Vieba
HIDUP NO.49 2018, 9 Desember 2018