HIDUPKATOLIK.COM – DUA tahun sudah Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual mengendap di Dewan Perwakilan Rakyat. Selama itu pula masuk dalam agenda program legislasi nasional. Namun, RUU ini tak kunjung disahkan meski situasi kekerasan seksual di Indonesia kian darurat.
Komisi Nasional Perempuan mencatat, kekerasan seksual yang dilaporkan selama tahun 2017 mencapai 2670 kasus di ranah publik atau komunitas dan 2979 kasus di ranah privat. Kasus yang paling banyak dilaporkan adalah inses dan perkosaan.
Perempuan korban kekerasan seksual sering dikriminalisasi dan dianggap sebagai penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ironisnya, perilaku menyalahkan korban tidak hanya datang dari lingkungan keluarga dan masyarakat, tetapi juga dari aparat penegak hukum, hingga pejabat publik.
Selain itu, Ludwina Inge Nurtjahyo dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan, para korban juga harus menghadapi budaya hukum yang telah mengakar di aparat penegak hukum di mana kasus seperti ini belum dilihat sebagai prioritas.
“Belum banyak aparat penegak hukum memiliki pemahaman dalam proses penyidikan kasus kekerasan seksual. Aparat penegak hukum cenderung rasis, intimidatif, bias kelas, bias gender, kurang berempati, dan kurang pengetahuan akan produk hukum baru,” kata Inge dalam diskusi publik bertajuk “Pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual”, di Gedung Perwari, Menteng, Jumat, 30/11.
Inge menambahkan, RUU perlu segera disahkan dan perlu pembentukan hotline service, shelter atau rumah aman serta pelatihan lebih bagi para penegak hukum agar memiliki pemahaman mendalam terkait proses penyidikan kasus kekerasan seksual.
Hermina Wulohering