HIDUPKATOLIK.com – Titik balik panggilannya terjadi di tempat pembuangan akhir (TPA). Dia memberdayakan masyarakat untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan persoalan kesehatan.
Pastor Pedro Opeka CM tak bisa melupakan kunjungan Paus Yohanes Paulus II (1920-2005) ke Madagaskar tahun 1989. Ada satu peristiwa yang sangat menyentuh batinnya. Kejadian itu adalah ketika seorang gadis kecil menerobos barisan petugas keamanan dan melangkah ke panggung, tempat Paus duduk.
Gadis itu tak sendirian. Dia menggendong saudaranya, kemungkinan adiknya, di belakang punggungnya. Balita itu hanya mengenakan celana. Perutnya agak membesar. Melihat kedatangan gadis kecil bersama adiknya, Paus merentangkan tangan, memeluk, dan mengelus wajah kakak-beradik itu.
Pastor Pedro terenyuh menyaksikan peristiwa tersebut. Menurutnya, seperti dilansir oleh situs Keluarga Vinsensian Internasional, www.famvin.org, Bapa Suci seakan turut merasakan dan menanggung seluruh penderitaan dunia. Tak dinyana, peristiwa itu memantik niat imam Vinsensian (sebutan untuk anggota tarekat yang didirikan oleh St Vinsensius de Paul) itu untuk fokus kepada pelayanan kepada sesama yang miskin, lemah, dan dan menderita.
Teladan Orangtua
Perhatian Pedro kepada kaum miskin sebetulnya sudah tampak sejak remaja. Pada usia 17 tahun, ia membangun tiga rumah untuk keluarga Indian Mapuche secara cuma-cuma. Keutamaan itu tumbuh dalam diri Pedro berkat warisan teladan orangtuanya, terutama dari sang ayah, Luis.
Saat kanak-kanak, ia sudah diajarkan tentang cinta Tuhan, manusia, kemerdekaan, dan kerja keras. Luis menanamkan semua itu kepada putra sulungnya bukan bersumber dari aneka literatur melainkan perjalanan dan pengalaman hidupnya dan sang istri. Keempat topik tersebut merupakan “kunci” bagi mereka bisa bertahan hidup di tanah asing.
Orangtua Pedro berasal dari Slovenia. Sebelum merdeka tahun 1991, Slovenia merupakan bagian wilayah Yugoslavia. Kala itu, rezim komunis berkuasa di sana. Luis adalah mantan anggota Home Guard, organisasi militer penentang ideologi tersebut. Namun karena kalah dalam pertempuran melawan rezim berkuasa, ia hijrah ke Italia demi menyelamatkan diri dari eksekusi. Di sana, Luis bertemu ibunda Pedro. Mereka menikah lalu pindah ke Argentina sana lantas berimigrasi ke Argentina. Di sanalah Pedro dan tujuh adiknya lahir.
Saat Pedro masih berusia sembilan tahun, sang ayah sudah memperkenalkannya dengan pekerjaan tukang bangunan. Tak sampai lima tahun, Pedro sudah mahir mengeluti bidang tersebut. Tak hanya terampil, Pedro juga termasuk siswa yang cerdas secara akademik di sekolah. Dia juga amat berbakat di sepak bola. Namun, dia memutuskan untuk masuk seminari dan ingin menjadi imam Vinsensian.
Usai menamatkan pendidikan filsafat di Ljubljana, Slovenia, Pedro dikirim oleh tarekatnya untuk menjalani tahun orientasi pastoral (TOP) di Madagaskar selama dua tahun. Setelah itu, dia mengambil teologi di Paris, Perancis. Di negara berjuluk “Ayam Jago” itu, dia berkenalan dengan Komunitas Taize.
Kembali dari Perancis, Pedro menerima tahbisan imamat di Basilika de Nuestra Señora de Luján, Keuskupan Agung Mercedes-Luján, Argentina, tahun 1975. Imam yang menguasai tujuh bahasa itu kemudian diutus kembali oleh pimpinan tarekat CM ke tempat TOP-nya dulu, persisnya di Vangaindrano, sebuah paroki yang berada di sebelah tenggara Madagaskar. Setelah 14 tahun sebagai pastor paroki, pimpinan tarekat mempercayakan imam berjanggut putih itu menjadi Rektor Seminari Vinsensian di Antananarivo, ibukota Madagaskar.
Manusia Sampah
Meski berada di pusat pemerintahan, Antananarivo tak berbeda jauh dengan Jakarta. Kemiskinan dan sampah menjadi dua dari sejumlah persoalan di sana. Ribuan keluarga hidup dalam situasi amat memprihatinkan. Mayoritas dari mereka tinggal di TPA. Sehingga muncul sebutan manusia-manusia sampah.
Jumlah tersebut belum termasuk warga yang disingkirkan pemerintah dari kota ke sepanjang perbukitan Ambohimahitsy dan Andralanitra. Kondisi di sana jauh lebih mengenaskan dibanding di Antananarivo. Mereka sama sekali tak mendapat secuil bantuan dari negara.
Suatu hari, Pastor Pedro berkunjung ke keluarga-keluarga. Pandangannya menangkap situasi tragis. “Saat tiba, Saya tak dapat menutup mata, menyaksikan kemelaratan. Saya melihat (lautan) sampah. Ribuan anak bertarung mempertahankan hidup di antara kawanan binatang di TPA. Saya kaget,” ujarnya, seperti dilansir www. famvin.org.
Di sana Pastor Pedro melihat rumah-rumah penduduk berdinding dus dan kotor. Mereka kelaparan. Peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang marak. Prostitusi menjadi kondisi lumrah. Banyak keluarga berantakan. Kejahatan pun merajalela di sana. “Di sini saya tak bisa sekadar berkata-kata. Saya harus bertindak,” ujar Pastor Pedro dalam hati. “Kita harus bersama-sama keluar dari kekacauan ini,” sambungnya ketika bertemu keluarga-keluarga di sana.
Kunjungan Bapa Suci dan pengalaman kunjungannya ke rumah-rumah warga membulatkan tekadnya untuk menghembuskan angin perubahan di medan karyanya. Langkah awal yang dia lakukan adalah mengumpulkan dan melatih orang muda-orang muda dari parokinya dulu soal teknik mendirikan bangunan.
Pada waktu lain, dia bertandang ke komunitas-komunitas kategorial keagamaan. Pastor Pedro meminjam uang dari mereka. Donasi yang terkumpul 900 Euro atau saat ini berjumlah sekitar 14,8 juta. Uang itu dia gunakan untuk membangun rumah. Hunian yang dibangun di pinggir TPA tersebut diprioritaskan untuk anak-anak.
Seiring waktu, kawasan yang semula penuh dengan sampah mulai berganti rupa. Sampah berkurang diganti dengan rumah-rumah penduduk. Predikat TPA mulai beralih menjadi desa. Pastor Pedro menamai perkampungan itu, Manantenasoa, dalam bahasa setempat berarti: Bukit Keberanian.
Agar karya tersebut terus berkelanjutan, Pastor Pedro mendirikan sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bernama Akamasoa, artinya: teman yang baik dan setia. Selain menggalang dana dari luar, Akamasoa pun memberdayakan masyarakat di sana dengan berbagai keterampilan, seperti membuat pupuk, kerajinan kayu dan kain, perkebunan, dan tambang granit. Dampak lingkungan tetap dia perhatikan dan jaga dengan baik.
Hasil kerja masyarakat di sana untuk membiayai kebutuhan hidup mereka masing serta pembangunan desa tersebut. Menurut laporan Akamasoa, 75 persen pendapatan penduduk serta pembangunan di sana dari hasil swasembada masyarakat. Saat ini ada sekitar 30 ribu penduduk di sana hidup dan bekerja secara layak di sana. Sementara itu, 10 ribu anak bisa mencecap pendidikan yang baik di 37 sekolah yang berdiri di desa tersebut. Jalanan yang semula tertutup oleh sampah kini sudah bersolek dengan paving block.
Atas kerja keras serta mampu membangun sinergitas dengan penduduk setempat, Pastor Pedro mendapat banyak penghargaan dari sejumlah negara. Meski demikian, karya ini belum final. Misinya terus berlanjut sampai tak ada lagi penderitaan dan kemiskinan di negara yang menduduki peringkat kedelapan sebagai negara termiskin di dunia ini.
Utama Kerja
Pastor Pedro menganalogikan karya Akamasoa di sana sebagai sebuah perjalanan. Satu ziarah untuk memulihkan harga diri karya Tuhan yang paling agung, dari yang sebelumnya dicap sebagai manusia-manusia sampah kini mulai memancarkan kemuliaan sebagai pribadi-pribadi bermartabat, yang hidup secara layak dan mampu membantu sesamanya yang berkekurangan.
Di Akamasoa, lanjut Pastor Pedro, yang diutamakan adalah kerja, tindakan, bukan kata-kata. Kerja itulah yang membuat masyarakat di sana sanggup bangkit dari puing-puing keterpurukan. Kerja itu juga yang mampu menyelamatkan masa depan generasi Madagaskar mendatang dengan ketersediaan sekolah yang baik serta tenaga pendidik yang kompeten.
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.48 2018, 2 Desember 2018