HIDUPKATOLIK.COM – Hari Raya Penampakan Tuhan 6 Januari 2019, Yes 60: 1-6; Mzm 72: 1-2, 7-8, 10-11, 12-13; Ef 3: 2-3a, 5-6; Mat 2:1-12
“Maka ketika merayakan Penampakan Tuhan kita diajak untuk belajar ‘disapa oleh Allah’ dengan cara-cara yang biasa tetapi mungkin mengejutkan.”
PERAYAAN Natal membawa kegembiraan besar. Di dalamnya diungkapkan kebesaraan Allah karena kasih-Nya hadir dalam diri Yesus Kristus. Liturgi malam Natal sendiri sebenarnya telah membantu umat beriman mengikuti proses penyingkapan diri Allah yang dikisahkan terjadi secara bertahap.
Puncak pengungkapan diri Allah terjadi dalam diri Yesus Kristus. Ia adalah kepenuhan Wahyu Allah. Lalu, apa yang ingin diungkapkan lagi melalui liturgi Penampakan Tuhan? Istilah Yunani, Epiphania, mempunyai makna harafiah, “manifestasi” diri Allah.
Di Gereja Timur digunakan pula istilah Yunani Theophaneia, yakni Penampakan Allah. Tradisi Katolik ritus Roma merayakan penampakan Tuhan setelah perayaan Natal dengan memberi perhatian khusus pada kehadiran tiga orang majus/bijaksana seperti dikisahkan dalam Injil Matius yang dibacakan hari ini (bdk.,John F. Baldovin, “Epiphany,” 2006: 328-329).
Kelahiran Sang Messias telah lama dinubuatkan dalam tradisi Yahudi. Allah sendiri menjadi pelaku sejarah yang menuntun bangsa Israel berjalan melampaui masa gelap. Dalam terang optimisme akan masa depan tersebut, keselamatan yang adalah inisiatif dari Allah itu akan menjangkau segala bangsa.
Hal itu terjadi melalui iman akan Yesus Kristus seperti ditegaskan dalam bacaan kedua dari surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Efesus. “Berkat pewartaan Injil orang-orang bukan Yahudi pun turut menjadi anggota-anggota tubuh serta peserta dalam janji yang diberikan Kristus Yesus” (Ef 3: 5-6).
Mengapa Allah perlu menyingkap ketersembunyian-Nya? Perayaan Penampakan Tuhan memberi kesempatan untuk menyadari bahwa kehadiran Allah dalam diri Yesus Kristus bagi bangsa Israel dan bagi semua bangsa tidak terjadi secara otomatis.
Ada unsur misteri yakni kehadiran Allah yang mengandaikan ketidakmungkinan manusia untuk mengenal diri-Nya jika Ia tidak mengambil inisiatif. Allah sendiri berinisiatif menyingkap ketersembunyian-Nya. Penyingkapan itu merupakan suatu gerakan kasih karena Allah yang mengasihi manusia ingin dikenal.
Pada saat yang sama penyingkapan diri Allah sendiri merupakan rahmat atau anugerah gratis Allah kepada manusia. Allah membiarkan diri dikenal melalui kemampuan manusia yang terbatas namun mencukupi untuk mengenalnya.
Orang-orang majus atau terpelajar dipahami sebagai orang-orang bijaksana. Hal itu mencakup sifat saleh, cendikia, dan filsuf. Tetapi menjadi jelas bahwa penyingkapan diri Allah tidak terjadi karena “kebijaksanaan” para majus. Allah mengunakan kecendekiaan mereka untuk menjadikan diri-Nya ditemukan.
Itulah rahasia kasih yang mengagumkan. Maka ketika merayakan Penampakan Tuhan kita diajak untuk belajar “disapa oleh Allah” dengan cara yang biasa tetapi mungkin mengejutkan. Keterkejutan ketika disapa oleh Allah adalah suatu keterkejutan yang membuka ketidakpastian tetapi juga kesempatan dan harapan.
Di sana manusia beriman berjalan bersama Allah ke masa depan. Ia menjadi bentuk keterbukaan terhadap tuntunan yang ilahi dan bukan sikap hidup yang bersandar pada ketakutan atau kecemasan akan masa depan.
Keterbukaan sejati terhadap misteri kasih Allah dinyatakan dalam sikap ketiga majus dari Timur. Dituntun oleh bintang yang menggiring perjalanan mereka, mereka pun tetap terbuka mencari informasi dan mengolah informasi dalam kebebasan tetapi juga kesetiaan.
Ketika dinasehatkan oleh Allah untuk kembali melalui jalan lain, mereka pun mentaati perintah ilahi itu sebagai bagian dari perjumpaan yang membarui kehidupan mereka. Menjadi orang Kristiani adalah suatu panggilan dan hadiah kasih. Ada undangan untuk menjawab panggilan kasih itu.
Perziarahan menuju Allah sebagai umat Allah maupun sebagai pribadi berkembang melalui pengungkapan diri Allah secara bertahap. Ia yang tersembunyi membuka diri-Nya melalui peristiwa komunal dan pengalaman pribadi.
Ia selalu hadir dan mengundang manusia menemukan-Nya sepanjang jalan perziarahan hidup sehari-hari. Kesalehan atau kesucian hidup lalu bukan lagi soal melalukan perbuatan-perbuatan besar dan ajaib dalam sejarah tetapi membiarkan diri terbuka membiarkan Allah memperkenal diri-Nya untuk ditemukan di tengah hidup harian kita.
Mgr Paulinus Yan Olla MSF
Uskup Tanjung Selor