HIDUPKATOLIK.com – Niatan saya tidak ingin membuat gereja bergaya Barat karena ini akan menjadi warisan sejarah bagi anak cucu kita.
Ukiran bernilai seni tinggi menghiasi interior Gereja St. Gemma Galgani Katedral Ketapang, Kalimantan Barat. Tampilan depan gereja sudah dihiasi ukiran-ukiran khas Dayak. Begitu memasuki pintu utama gereja ini, ada salib setinggi enam meter yang disebut sebagai Salib Dayak.
Corpus pada salib ini dipahat dengan anatomi lengkap dan mengenakan cawat kulit kayu kepuak, pakaian adat orang Dayak zaman dahulu. Bagian bawah salib terdapat patung yang menggambarkan figur-figur menakutkan dengan bagian-bagian wajah yang aneh. Ini menggambarkan harmonisasi masyarakat Dayak yang hidup dari adat istiadat murni.
Sang penggagas karya seni ini, Pastor Matheus Juli, menyebut Salib Dayak ini merupakan percampuran antara spiritualitas Dayak dengan keselamatan Katolik. Di bagian tengah di dekat corpus Yesus yang tersalib, terdapat figur malaikat. “Malaikat itu sebagai penggambaran tiga awam dari Tiongkok yang membawa Katolik masuk ke tanah Ketapang. Rasul awam ini mewartakan kabar gembira: Yesus Kristus yang tersalib dan bangkit,” ujar imam diosesan yang akrab disapa Romo Yuli ini.
Lupa Waktu
Romo Yuli adalah putra Dayak asli. Ia tidak pernah secara khusus mempelajari seni di lembaga pendidikan. Namun, ia tumbuh dalam keluarga seniman. Ayahnya adalah seorang seniman pahat dan ukir yang empat tahun silam mendapat penghargaan seni dari Kementerian Pariwisata. Sementara ibunya adalah seniman anyaman.
Yuli kecil sudah hidup dalam dunia seni rupa. Tidak hanya memahat, mengukir, dan menganyam. Ia bahkan piawai dalam memainkan kuas di atas kanvas. Hingga pada saat ia masuk ke Seminari Petrus Kanisius Mertoyudan, Jawa Tengah, aktivitas-aktivitas seni itu ia tinggalkan kecuali melukis. “Tidak ada kesempatan untuk mengukir dan membuat patung waktu itu,” ungkapnya.
Banyak waktunya di seminari yang ia gunakan untuk melukis. Tak heran, ia populer di kalangan para seminaris sebagai pelukis ulung. Sayang, keasyikannya menekuni seni itu rupanya “menjebaknya”. Yuli tidak naik ke kelas tiga SMA Seminari karena banyak waktu habis untuk melukis sampai lupa waktu belajar. “Itu pukulan besar bagi saya. Saya malu dan marah,” kenangnya.
Meski tak naik kelas karena melukis, Yuli tak ingin berpindah haluan menjadi seniman dan meninggalkan cita-cita masa kecilnya menjadi imam. Ia lalu pindah ke Seminari St. Paulus Nyarumkop, Singkawang, Kalimantan Barat. Ia memaknai kegagalan studi itu sebagai cara Tuhan menegurnya. “Sejak itu, saya tidak lagi melukis. Kalau saya teruskan mungkin saya tidak menjadi (imam) seperti sekarang,” tuturnya.
Banyak permenungan yang ia buat setelah meninggalkan Mertoyudan. Ia menyadari, dikagumi dan disanjung orang lain bukan selalu sesuatu yang baik. Jika tidak hati-hati, kita akan terlena dan lupa akan tujuan awal. Di Seminari Nyarumkop, ia dibina oleh para imam Kapusin (Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum/OFMCap). Namun, di sana, ia justru memantapkan pilihan hidupnya menjadi imam projo.
Usai tahbisan imamatnya, Romo Yuli melayani di Paroki Santo Petrus Rasul Nanga Tayap, Ketapang. Kala itu, dengan perjuangan melawan mayoritas Muslim, Romo Yuli dan rekan-rekannya membangun gereja. Tidak seperti gedung gereja umumnya, gereja yang ia rancang sendiri itu memiliki atap tiga tingkat berbentuk segi lima sebagai simbol Pancasila. Sepintas gereja ini menyerupai Masjid Demak. “Saya memang menginginkan gereja yang tidak kebarat baratan,” ujarnya.
Renovasi Katedral
Romo Yuli kemudian dipindahkan ke Paroki Katedral St Gemma Galgani Ketapang. Melihat kerjanya di Gereja Nanga Tayap, uskup saat itu Mgr Blasius Pujaraharja memintanya untuk merenovasi Katedral Santa Gemma Galgani lama yang rusak parah. Mgr Puja membebaskan Romo Yuli mendesain seturut “keliaran jiwa seninya.” Belakangan, Mgr Pius Riana Prapdi yang terpilih menjadi uskup baru juga mendukung kerjanya merenovasi katedral.
Meski merasa uskup dan vikjen mendukung, namun ada juga umat yang kontra. Figur-figur menakutkan dan ukiran Hawa yang tak berbalut pakaian sempat menuai kontroversi. Ia mengatakan, itu memang harus dilihat dengan kacamata seni bukan erotis. “Orang sulit mengakui realita yang ada, malu mengakui atau susah melihatnya,” ujarnya.
Belakangan umat mulai paham bahwa apa yang ia kerjakan itu tidak bertentangan dengan iman dan kesusilaan. Iman yang mengakar pada budaya memang butuh waktu untuk diterima. “Ternyata ketakutan mereka bisa dibebaskan oleh pewartaan orang awam Tionghoa dan Yesus yang wafat di kayu salib,” katanya.
Budaya Dayak dan Tionghoa berupa ornamen-ornamen serta ukiran ditempatkan dengan teliti dan estetis. Karya ini benar-benar memberi warna khas pada interior Katedral Ketapang. Salah satunya adalah altar, yang menjadi pusat pandangan umat dalam gereja. “Pusat ini seperti inti kehidupan orang Katolik, yaitu Sakramen Ekaristi,” katanya. Itu sebabnya, ia mendesain bagian paling bawah sentral pandangan ini dengan relief kelahiran Yesus. Di sisi-sisinya ada relief simbol-simbol Injil serta karya penyeleamatan Tritunggal Maha Kudus.
Masih di bagian altar, pada bagian tengah ada Yesus yang mengorbankan diri di kayu salib. Romo Yuli menuturkan, Yesus yang telah mengorbankan dirinya di kayu salib menjadi sentral. Gambaran ini ingin mengatakan bahwa Perayaan Ekaristi sebagai puncak dan pusat kehidupan orang Katolik. “Itu dibingkai oleh lahiriah Yesus, Injil, dan karya Tritunggal Maha Kudus,” tambahnya.
Pelataran panti imam dipenuhi relief seni ukir dan pahat yang dirancang dengan penuh filosofi akan iman terhadap Kristus. Berbagai kisah penting dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang dekat dengan pemaknaan iman umat setempat digambarkan dalam relief-relief di pelataran. “Saat melihat ini semua orang Katolik ketika berhadapan dengan tabernakel itu selalu mengakui keberadaan Tuhan,” kata Romo Yuli menerangkan.
Sejak awal proyek Katedral Ketapang ini dijalankan, Romo Yuli menjadi desainer yang merancang semua interior gereja. Sementara eksekutornya adalah keponakan yang adalah anak dari kakak perempuannya, Petrus Kanisius.
Dari Alam
Romo Yuli memilih seni pahat karena abadi dengan materi kayu yang kuat tak akan dimakan rayap, selama itu dirawat. Ia mengatakan, ini seperti halnya Basilika St Petrus di Roma, Italia, yang terbuat dari batu pualam yang dipahat, materi ini berasal dari alam. “Orang Eropa tidak punya kayu, yang mereka punya batu. Di Kalimantan, kami punya kayu, kenapa ciri khas ini tidak dimanfaatkan? Maka niatan saya tidak ingin membuat gereja bergaya Barat karena ini akan menjadi warisan sejarah bagi anak cucu kita,” bebernya.
Meski demikian, Romo Yuli tidak ingin Katedral Ketapang hanya menjadi milik orang Dayak. Ia tetap menghadirkan Bhinneka Tunggal Ika dalam ukiran rumah-rumah adat semua etnis di Indonesia. Semua ukiran tetap berlatar ukiran dan malaikat Dayak. “Saya berpikir Katedral Ketapang bukanlah gereja suku yang hanya diperuntukkan bagi orang Dayak. Tetapi harus seperti kedatangan Yesus, terbuka kepada semua suku, sebagaimana keselamatan adalah untuk segala suku bangsa,” ungkapnya.
Kini, Romo Yuli sedang mengerjakan beberapa bagian gereja. Di panti kor akan ada relief orang Samaria yang murah hati. Bagian ini ingin merefleksikan pelayanan dalam kasih atau serviam in caritate. Semboyan tersebut juga merupakan motto Mgr. Pius Riana. Baginya, apa yang telah dikaidahkan dari pintu masuk sampai panti imam, jika tidak berbuah di dalam perbuatan dan amal kasih, akan menjadi iman yang sia-sia. “Iman kepercayaan orang Dayak yang berbuah adalah kepercayaan yang diwujudkan dalam kehidupan, yakni melakukannya dalam perbuatan baik. Tentu tidak hanya menolong orang sakit, ada banyak hal lain, itu hanya simbol,” katanya.
Hermina Wulohering
HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018