HIDUPKATOLIK.com – Masalah HAM terus bermunculan. Sementara kasus-kasus lama belum terselesaikan. Sampai kapan?
Bulan November, 20 tahun yang lalu, mahasiswa semester V Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Unika Atma Jaya, Bernardinus Realino Norma Irmawan, ditembak di depan halaman (parkiran motor) kampusnya. Nyawa Wawan, demikian panggilannya, tak tertolong.
Wawan bukanlah demonstran yang turun ke jalan dan menolak Sidang Istimewa MPR. Dia adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Saat terjadi peristiwa, putra sulung Antonius Maria Jamari Arief Priyadi dan Maria Katarina Sumarsih itu tengah menyelamatkan seorang korban tembakan lain. Nahas, Wawan juga menjadi salah satu korban Tragedi Semanggi I.
November Berdarah
Setiap tanggal 13 November, acara tabur bunga diadakan di titik kejadian untuk mengenang gugurnya Wawan. Kini, setelah dua dasawarsa tragedi itu berlangsung, Sivitas Akademika Unika Atma Jaya tetap menjaga memori kelam yang menimpa mahasiswa di sana. “Gerakan ini masih relevan hingga sekarang. Sebab, meskipun reformasi sudah bergulir 20 tahun, tentu masih harus dikawal seperti dasar kepentingan bersama hak asasi manusia, kesetaraan hak, dan supremasi hukum,” ungkap Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Unika Atma Jaya, Tommy Nugroho Tanumihardja, Selasa, 13/11.
Berdasarkan data dari Sandyawan Sumardi, yang kala itu menjadi Sekretaris TruK, tragedi menelan 17 korban gugur, terdiri dari enam mahasiswa, dua pelajar SMU, dua aparat keamanan, seorang satpam, empat anggota Pam Swarkasa, dan tiga warga masyarakat. Sementara ada sekitar 456 korban lain yang mengalami luka-luka akibat tembakan senjata api dan pukulan benda keras, tajam, atau tumpul (HIDUP, nomor 48, tahun LII, 29 November 1998).
Beberapa hari setelah Tragedi Semanggi, masih pada bulan yang sama, terjadi kerusuhan Ketapang, Jakarta Pusat. Jauh sebelum kejadian tersebut, pada bulan November 1991, meletus peristiwa Santa Cruz. Tragedi itu berlangsung di Dili, Ibukota Provinsi Timor-Timur (Kini menjadi Republik Demokratik Timor Leste). Tentara Indonesia membantai para demonstran Timor-Timur dengan senapan mesin.
Menurut pihak Pro-Kemerdekaan Timor-Timur, seperti dilansir oleh Tirto.id, ada 271 orang tewas. Sementara versi Militer korban tewas berjumlah 50 orang.
Sejumlah kasus tersebut merupakan peristiwa yang terjadi “hanya” pada bulan November. Sebenarnya tak sedikit kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia pada waktu lain. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kompas.com, sampai saat ini, masih ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang “tertahan” di Kejaksaan Agung.
Tujuh kasus itu adalah Tragedi 1965; Penembakan Misterius (1982-1985); Peristiwa Talangsari di Lampung (1989); Kasus Penghilangan Orang secara Paksa (1997-1998); Kerusuhan Mei 1998; Penembakan Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II (1998-1999); serta Kasus Wasior dan Wamena di Papua (2000).
Rentetan kasus intoleransi keagamaan di Indonesia cenderung meningkat dalam era “kebebasan berdemokrasi”. Bahkan, intoleransi itu berujung konflik berbasis SARA dengan korban jiwa yang tak sedikit. Misal, konflik antar-agama yang terjadi di Ambon, Maluku, sepanjang 1999, dan konflik etnis yang terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah pada 2001.
Polemik di Papua pasca-reformasi juga harus menjadi perhatian. Berdasarkan laporan Setara Institute pada 2016, terjadi peningkatan pelanggaran HAM di Papua jika dibandingkan tahun sebelumnya.
Rapor Merah
Persoalan Hak Asasi Manusia menjadi topik Sidang Sinodal Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun ini. Pertemuan para uskup seluruh Indonesia itu berlangsung mulai Senin-Rabu, 5-14 November 2018, di Pusat Pastoral Keuskupan Bandung, Jawa Barat. Menurut Ketua KWI, Mgr Ignatius Suharyo, tema tersebut untuk melengkapi Nota Pastoral KWI 2018 mengenai Panggilan Gereja dalam Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja yang Relevan dan Signifikan. “Saat ini ada berbagai macam peristiwa dan kasus di negara kita maupun dunia yang berujung pada persoalan HAM,” ungkap Mgr Suharyo.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan, lembaganya mengapresiasi pemerintah saat ini atas penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) 32 tahun 2018 mengenai reforma agraria. Namun, untuk penyelesaian masalah HAM berat, Komnas HAM memberi rapor merah kepada pemerintah dibawah Presiden Joko Widodo. “Ya, memang stagnan, tidak ada perkembangan (penyelesaian HAM). Tapi untuk lain, ada yang biru dan setengah merah,” ungkapnya saat menjadi pembicara dalam pembukaan Sidang Sinodal.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Ifdhal Kasim, menyebut Jokowi telah menunjukkan komitmen pada perkara HAM. Dia mengatakan pemerintah kini fokus untuk menyelesaikan kasus HAM di Wamena dan Wasior. “Ada progres yang dilakukan. Kalau dikatakan tidak ada sama sekali, jelas itu menyesatkan karena pemerintah ini bekerja. Memang belum sampai pada digelarnya pengadilan. Karena itu perlu waktu,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Penyelesaian HAM berat, lanjut Taufik, merupakan satu dari empat isu strategis yang dicatat oleh Komnas HAM. Persoalan HAM kedua mengenai konflik agraria. Persoalan ini paling banyak terjadi di Sumatera Utara, kemudian Kalimantan dan Pulau Jawa.
Catatan selanjutnya adalah intoleransi, radikalisme, ekstrimisme. Banyak orang menyadari persoalan HAM bila hanya menyangkut perlakuan negara terhadap masyarakat. Padahal seiring waktu, pelanggaran HAM kerap terjadi antar masyarakat namun terjadi pembiaran oleh negara. Contohnya, penutupan gereja atau masjid milik pengikut Ahmadiyah.
Kekerasan-kekerasan juga terjadi berlatar diskriminasi terutama kepada kelompok minoritas, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau transseksual.
Terkait hal itu, selain kepada pemerintah, Taufan juga berharap kepada para pemuka agama, secara khusus agama Katolik, agar senantiasa ikut berperan dalam membangun keadaban umatnya serta turut memperhatikan HAM di medan karya masing-masing.
Harapan hampir serupa juga disampaikan oleh Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits B. Ramandey. Dia meminta para uskup di luar Papua juga turut mendukung pembentukan serta usaha tim respon, cepat penanganan konflik sosial di Bumi Cenderawasih. “Uskup punya tugas memadamkan api yang menyala dan menghangatkan yang dingin,” terang Frits.
Narasumber lain, Pastor Peter C. Aman OFM, mengungkapkan, Gereja Katolik harus tetap menjadi pejuang dan pelindung martabat manusia. Setiap orang atau kelompok tidak pernah boleh memperlakukan manusia sebagai alat atau obyek dan dikorbankan demi kepentingan politik, ekonomi, dan sosial.
Keterlibatan kritis Gereja Katolik terhadap HAM merupakan contoh penting bagaimana Gereja menerima hal-hal baik dan menjadikan itu sebagai pokok utama dalam kerasulan sosialnya. “Hal yang patut diapresiasi adalah prestasi diplomatis Takhta Suci untuk terus-menerus mempertahankan konsep manusia sebagai pribadi. Konsep ini tetap tertera
dalam banyak dokumen PBB berkaitan dengan HAM,” beber Dosen Moral STF Driyarkara Jakarta ini.
Jelang penutupan Sidang Sinodal, KWI mengeluarkan pesan pastoral mengenai Panggilan Gereja Melindungi HAM. Dalam pesan tersebut, para uskup mengakui kondisi HAM di negara ini masih memprihatinkan. Situasi itu disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang HAM, lemahnya integritas para penegak, serta berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang diperjuangkan dengan menghalalkan segala cara.
Sudah Apa?
Seruan KWI terkait HAM di negara ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Pasca Tragedi Semanggi, KWI mengeluarkan delapan sikap terkait peristiwa yang menelan banyak korban. Salah satunya adalah menuntut pemerintah dan aparat agar kekerasan dan tindak brutal diakhiri.
Keseriusan KWI terhadap persoalan HAM juga tampak dalam peristiwa Santa Cruz. Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Ketua KWI waktu itu, Mgr Julius Riyadi Darmaatmadja SJ, para uskup seluruh Indonesia menyayangkan adanya korban dalam peristiwa itu. KWI amat mengharapkan peristiwa tersebut diselesaikan dengan cara yang sebaik-baiknya berdasarkan hukum dan Pancasila.
Kenyataannya, persoalan HAM masih menghiasai wajah negeri ini. Pelaku pelanggaran pun masih ada yang bebas berkeliaran. Sepenggal pertanyaan retoris yang terpampang di spanduk besar di Unika Atma Jaya setidaknya melukiskan kondisi pelik penanganan masalah HAM di Negeri ini. “20 Tahun Reformasi Sudah Apa?”
Yanuari Marwanto
HIDUP NO.47 2018, 25 November 2018