HIDUPKATOLIK.com – Maaf kalau judul di atas terlalu vulgar. Namun, dalam berbagai tradisi umat Kristen, ada keyakinan, Bunda Maria itu hadir dalam kehidupan konkret manusia, khususnya saat ada kesusahan, kesulitan, atau bencana.
Para Mariologis (pakar studi tentang ‘Bunda Maria’) mencatat, sejak zaman para Rasul hingga saat ini, tedapat lebih dari 20.000-an “penampakan Bunda Maria” kepada para santo, santa, dan orang beriman biasa. Namun, hanya sedikit yang resmi diakui Gereja Katolik. Konsili Lateran V (1512-1517) menyatakan, hanya Takhta Suci yang memiliki hak memberi pengakuan. Sedangkan, Konsili Trente (154563) menambahkan, para uskup diberi kuasa menyelidiki dan menyetujui fenomena Ilahi itu, sebelum dapat diadakan kebaktian umum. Baru pada 1978, Paus Paulus VI menyetujui terbitnya Normae Congregationis, untuk membantu para uskup menentukan kredibilitas berbagai penampakan Ilahi yang bersifat pribadi.
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya ada 10 penampakan Bunda Maria, yang resmi diakui Takhta Suci, yaitu di Guadalupe, Meksiko (1531); Laus, Paris, Perancis (1664-1718); Rue de Bac, Paris, (1830); La Salette, Perancis (1846); Lourdes, Perancis, (1858); Pontmain, Perancis (1871); Knock, Irlandia (1879); Fátima, Portugal (1917); Beauraing, Belgia (1932-1933); dan Banneux, Belgia (1933). Menurut beberapa Mariologis, beberapa penampakan Bunda Maria, khususnya di Guadalupe, La Salette, Lourdes, dan Fatima, memiliki unsur “ideologi apokaliptik” (pernyataan Ilahi yang memakai bahasa dan lambang) lintas-budaya, yang sangat kentara (Sandra L. Zimdars-Swartz, 1991).
Ideologi itu kemudian ikut menentukan dan mempengaruhi arah perjalanan sebuah masyarakat menuju kesejahteraan umum. Ia menjadi semacam “perangkat” untuk membuat homo sapiens menjadi zoon politikon ‘hewan politik’, yang mampu menjadi “manusia” di antara sesamanya, hidup bersosialisasi dengan aturan hukum dan tradisi, serta mengembangkan dan mewujudkan kemampuannya ke tujuan akhir, yaitu eudaemonia, “kesejahteraan manusiawi yang baik” (Aristoteles, Etika Nikomakea, I,2). Inilah arti “politik” dalam kaitan dengan berbagai “kehadiran” Bunda Maria dalam kehidupan umat beriman. Pembahasan mengenai masalah ini hanya dilakukan atas Penampakan Ketiga di Fatima, 13 Juli 1917.
Rahasia Kedua
Penampakan ilahi kepada tiga gembala kecil, Lúcia de Jesus Rosa dos Santos (1907-2005) dan dua sepupunya, Francisco de Jesus Marto (1908-1919) dan Jacinta de Jesus Marto (1910-1920), sesungguhnya sudah terjadi dua kali, tahun 1915 dan 1916, demikian tulis Sr. Lucia Lúcia de Jesus Rosa dos Santos, O.C.D. Namun, baru pada 13 Mei 1917, saat ketiganya sedang bermain dan menggembalakan domba di Cova da Iria, tanah luas milik keluarga dos Santos, mereka melihat “seorang putri berpakaian putih” berdiri di atas pohon kecil. “Putri dari Sorga” itu kemudian meminta mereka untuk setiap tanggal 13 datang ke tempat itu. Enam kali, mulai Minggu 13 Mei 1917 hingga Sabtu 13 Oktober 1917, ketiga anak itu bertemu dengan “Putri dari Surga” tersebut.
Pada penampakan ketiga, Jumat 13 Juli 1917, “Sang Putri” itu mengungkapkan “Tiga Rahasia”. “Rahasia Pertama” (dibuka pada 1941) adalah gambaran “situasi neraka di mana manusia sangat menderita”. Kemudian “Rahasia Kedua” (yang juga dibuka pada 1941) mengungkapkan bahwa “perang akan berakhir; namun, bila manusia tidak berhenti menyakiti Allah, perang yang lebih buruk akan terjadi pada masa jabatan Paus Pius XI”. Untuk mencegah hukuman malapetaka ini, “saya (Putri Sorgawi) minta untuk mempersembahkan Rusia kepada Hatiku yang Tak Bernoda …. Bila dilakukan, Rusia akan bertobat dan ada perdamaian; bila tidak, Rusia akan menyebarkan kesesatan ke seluruh dunia, yang menyebabkan perang dan penganiayaan Gereja” (Sr. Lucia, Memoir Ketiga, 31 Agustus 1941).
“Rahasia Kedua” ini “unik”. PD I memang (kemudian) berakhir pada 11 November 1918. Revolusi Bolshevik yang mengubah Kekaisaran Rusia menjadi negara komunis Uni Soviet, terjadi pada 24-25 Oktober 1917. “Perang-perang yang lebih buruk”, yaitu perang saudara di Rusia, perang Cina vs Jepang, serbuan Italia ke Ethiopia, dan PD II (1 September 1939-2 September1945), terjadi di masa Paus Pius XI (1857-1939), yang terpilih pada 6 Februari 1922, lima tahun setelah “Fatima”!
Makna Politik
Tampaknya, “Tiga Rahasia” apokaliptik pada Penampakan Ketiga Bunda Maria di Fatima itu menunjukkan bagaimana drama karya Ilahi terjadi dalam situasi kemanusiaan yang konkret. “Pesan Fatima” untuk berdoa Rosario, berpuasa, dan mengaku dosa, menjadi sesuatu yang politis, bernilai bagi kesejahteraan masyarakat di Portugal maupun dunia (Sandra L. Zimdars-Swartz, 1991).
Di Portugal misalnya, sejak jatuhnya monarki pada 1908, negeri itu diperintah oleh kelompok anti-Kristen, yang antara tahun 1911-1916 membunuh sekitar 1700 imam, biarawati, dan rahib. Dalam situasi yang gawat inilah, “Putri Rosario” (identitas diri ‘Putri Sorgawi’ yang dinyatakan pada penampakan terakhir, 13 Oktober 1917), hadir “mengubah keadaan”. Melalui gerakan ziarah ke Fatima, terjadi mobilisasi “massa” religius yang terus menerus. Situasi itu menjadi momentum bagi Carlos de Azevedo Mendes (1888-1962), seorang politikus Katolik yang gigih dan punya devosi tinggi kepada Bunda Maria, untuk pada tahun 1920-an mulai menggerakkan kesejahteraan rakyat melalui pertanian dan pendidikan. Portugal pun menjadi lebih maju, dan akhirnya memunculkan pemerintahan republik pertama yang stabil (Roy A. Varghese, 2000, danTiago Pires Marques, 2014).
Demikian pula, tanpa mengetahui isi “Rahasia Kedua”, Polandia di bawah Marsekal Józef Piłsudski (1867-1935)—justru pada pesta-pesta liturgis Bunda Maria (15 dan 22 Agustus 1920)—berhasil memukul mundur invasi tentara Uni Soviet sampai ke Belarus. “Lebih dari 400 tahun, Bunda Maria telah menjadi Ratu Polandia. “Kini, dia pun menjadi Hetmanka ‘panglima tertinggi’ bagi kami, apalagi bulan Agustus adalah bulan Maria,” kata Piłsudski kala itu. Sejak itu, selama 1920-1939, Polandia menjadi benteng Eropa Barat vs komunisme internasional.
Dalam kilasan sejarah, lima tahun setelah “Perang Dingin” mulai, pada 7 Juli 1952, Paus Pius XII (1876-1958), yang sudah mengetahui “Rahasia Kedua” pada Agustus 1941, “mempercayakan semua rakyat Rusia kepada Hati tak Bernoda Bunda Maria” (Surat Apostolik Sacro Vergente Anno, 7 Juli1952). Seluruh Gereja diminta untuk pada akhir Misa mendaraskan tiga kali “Salam Maria” untuk pertobatan Rusia. Pada 26 Desember 1991, negara komunis Uni Soviet runtuh!
Hati Bunda
Bagi umat Kristen, Bunda Maria adalah Theotokos, ‘Bunda Allah’, gelar yang didekritkan pada Konsili Efesus tahun 431. Menurut pakar konsili, St Cyrillus dari Aleksandria (376-444), “gelar Theotokos memberikan keabsahan dan keamanan bagi kehidupan Kristiani yang sederhana” (J.A.McGuckin, 1994).
Sebagai satu-satunya manusia, yang “Dikandung Tanpa Noda Dosa Asal” (Konstitusi Apostolik Ineffabilis Deus, 1854), dan telah “diangkat ke Sorga” (Ensiklik Munificentissimus Deus, 1950), Bunda Maria adalah pribadi manusia yang paling dekat dengan Allah. Kemanusiaan Bunda Maria menjadi “jalan” untuk memberi pesan kepada dunia dalam kesejarahannya. Dalam berbagai penampakan, Bunda Maria memperingatkan, penderitaan dan malapetaka terjadi, saat manusia berpaling dari kehendak Allah. Dia adalah sosok yang digambarkan dalam Why. 12:1-6: “perempuan berselubung matahari, dengan bulan di bawah kakinya, dan sebuah mahkota dari dua belas bintang di atas kepalanya”, yang sedang menghadapi seekor “naga merah yang besar”.
Sebagai “Ibu Umat Beriman” (lih. Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium (1964), Bab VIII), Bunda Maria tidak hanya berperan dalam kehidupan pribadi, namun juga dalam kehidupan bermasyarakat. Maka, pesannya juga memiliki karakter politik, untuk kesejahteraan umum masyarakat yang bersifat historis (Melanie Barbato, 2013).
Tatkala masih menjabat Ketua Kongregasi Doktrin Iman, Kardinal Joseph Ratzinger, mengatakan, “dalam berbagai penampakan pribadi yang telah diakui Gereja—termasuk di Fatima—titik utamanya adalah: ini semua membantu kita untuk memahami tanda-tanda zaman, dan menjawab tanda-tanda tersebut secara benar dalam iman.…. , ini artinya, melihat dan mengenali kehadiran Kristus dalam setiap zaman” (19 April 2000).
Henricus Witdarmono M.A. Rel. Stud
HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018