HIDUPKATOLIK.com – Uskup Oscar Romero telah menjadi orang kudus. Meskipun terkesan “terlambat”, tetapi kanonisasi terhadapnya merupakan penghargaan/”oscar” yang membuktikan bahwa gerakan pembebasan yang dilakukannya juga merupakan salah satu cara Gereja melaksanakan ajaran Kristus. Ia menjadi bintang dalam sinetron kemanusiaan dengan cara mengambil peran sebagai aktor “antagonis” dalam setiap episode perjuangannya. Keunggulan pribadi diaktualisasikanya lewat sensibilitas sosial. Ia beriman dari dan dalam konteks.
Oscar Romero adalah seorang pendoa. Ia mengatakan: “orang yang tidak berdoa, tidak mengembangkan seluruh kekuatan manusiawinya; orang yang tidak berdoa, karena ia percaya bahwa tidak ada Tuhan, menjadi tumpul; orang yang tidak berdoa, karena menyembah materialisme, entah itu uang, politik atau apa saja, ia tidak memahami keagungan sejati keberadaannya sebagai manusia” (Maier, dalam Waton, penterj, 2008). Doa Romero tidak hanya untuk meningkatkan kesalehan pribadi, tetapi sebagai landasan baginya untuk melibatkan diri dalam proses restorasi sosial. Yesus yang selalu memulai gerakannya dengan doa (Mrk.1:35; Mat. 26:36), menjadi pedomannya. Maka, konstruksi teologi dan gerakan revitalisasinya selalu bermula dari doa. Dengan berdoa, ia mendapatkan energi Ilahi sekaligus memperlihatkan nilai Injili yang hendak diperjuangkannya lewat gerakan tersebut. Tetapi doanya selalu ditematisasi dari fakta tentang disparitas dan pelanggaran terhadap hakhak asasi manusia. Suata kali, ia mengatakan kepada Juan Macho, kawannya bahwa perjumpaan dengan para pemetik kopi telah menjadi tema doanya. Impian, kekalahan, perjuangan hidup dan seluruh hidup orang miskin telah menjadi dasar bagi setiap doanya.
Ya, praksis sosialnya kian emansipatif, karena berangkat dari doa. Baginya, doa tak sebatas pemalingan kepada “Wujud” lain, perkataan Aku kepada seorang “Engkau” (Heiler, 1997), tetapi juga merealisasikan kehendak sang “Engkau” itu dalam konteks hidup. Kristus yang membela orang-orang sederhanalah yang menginspirasi dan mendesaknya untuk membela kepentingan orang-orang tersingkir. Baginya, ada korelasi antara doa dan aktus sosial.
Romero telah menunjukkan dialektika antara doa dan praksis sosial. Bahwa doa mesti menjiwai keterlibatan sosial. Ada banyak orang beriman, entah itu kaum tertahbis maupun awam yang terlibat dalam gerakan sosial, tetapi terjebak dalam aktivisme. Gerakan mereka tidak dilandasi doa sebagai daya spiritual. Hanya mengandalkan kecerdasan individu. Mereka mengabaikan intervensi Allah sebelum bersuara atau melibatkan diri dalam gerakan sosial. Alhasil, gerakan tersebut ibarat membangun rumah diatas dasar pasir (Mat.7:26). Gerakan tersebut pun mudah kandas atau mengalami disorientasi. Mereka tidak sadar bahwa tanpa doa, gerakan ataupun segala bentuk keprihatinan serta keterlibatan sosial tidak akan memiliki efek transformatif. Tanpa doa, gerakan itu akan kering, kehilangan roh, tanpa spiritualitas. Padahal, sebagai orang beriman, apa pun yang dilakukan mesti direfleksikan dalam konteks spiritual, selalu ada keterkaitannya dengan Allah.
Atau juga orang berdoa hanya untuk memenuhi kesalehan pribadi, tetapi apatis terhadap realitas sosial. Hal seperti ini memang tidak selamanya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Mestinya ketika berdoa, kita mengintegrasikan realitas sosial sebagai temanya. Bahwasannya, doa tidak menjauhkan kita dari kontemplasi yang benar karena kontemplasi yang tidak memberi tempat kepada orang lain adalah suatu kebohongan” (EG no.281). Akhirnya, harus dikatakan bahwa setiap orang beriman mesti mengejar “awward”, mengejar “oscar” dalam hidup. “Oscar” yang paling bernilai adalah kebebasan/kesejateraan manusia dan kemuliaan Allah. Romero telah membuktikan itu. Maka, gelar orang kudus adalah “oscar” yang layak ia terima.
Pastor Inosentius Mansur
HIDUP NO.44 2018, 4 November 2018