HIDUPKATOLIK.com – Berdoa untuk arwah keluarga yang telah meninggal, mengingatkan akan adanya horizon hidup kekal. Dengan doa ini, manusia diingatkan pada kehidupan setelah kematian.
Ada satu yang mencolok mata saat melewati Jalan Raya Kampung Sawah, Pondok Melati, Bekasi, beberapa ratus meter sebelum Gereja St Servatius Kampung Sawah, setiap orang akan menemukan sebuah area pemakaman. Penanda yang berada di bagian depan area pemakaman itu bertuliskan “Pemakaman Katolik Kampung Sawah”. Sesekali terlihat beberapa orang yang berziarah ke pemakaman yang dikhususkan untuk umat Katolik itu.
Di pemakaman ini juga, dikebumikan Pastor Marius Mariatmadja. Semasa hidupnya, ia banyak untuk umat Katolik dan umat Islam di sekitar Kampung Sawah. Ketika ia wafat, pastor yang lahir di Muntilan, Jawa Tengah, 17 Mei 1905 ini pun akhirnya dikebumikan di sana. Selain Pastor Marius, masih ada tiga imam lain yang dimakamkan di sini. Hingga saat ini, beberapa umat masih saja berdatangan berziarah ke makam ini dan berdoa bagi setiap orang yang dikebumikan di sana.
Perjalanan hidup manusia boleh saja berhenti ketika ia berhadapan dengan kematian. Namun setiap jasa dan kenangan yang pernah ia buat, boleh jadi akan menjadi cerita dari waktu ke waktu. Kisah tentang keteladanan dan kebaikan seseorang akan tetap menjadi pelajaran bagi setiap orang yang masih berziarah di dunia. “Kebaikannya itu membuat banyak orang percaya dengan berdoa kepada Pastor Marius, Tuhan bisa mengabulkan doa umat,” ujar Kristiono pengurus Makam Marius Kampung Sawah.
Ziarah Makam
Sehari sebelum Peringatan Arwah Semua Orang Beriman yang jatuh setiap 2 November, keluarga-keluarga Katolik di Maluku sudah terlihat mendatangi pemakaman keluarga atau orang yang dikenal. Di area pemakaman, mereka umumnya bekerja membersihkan tempat itu dari aneka rerumputan dan gulma yang tumbuh.
Tidak saja dari kalangan Katolik, di Maluku kebiasaan ini juga keluarga yang membersihkan tidak saja dari kalangan Katolik tetapi juga keluarga non Katolik. Selama kunjungan ke makam ini, mereka membawa aneka makanan dan minuman untuk disantap bersama di kuburan. Tradisi ini menjadi kegiatan wajib dan setiap tahun selalu diadakkan. Ada istilah “piknik kuburan” menjelang Peringatan Arwah Semua Orang Beriman.
Pastor Ambrosius Wuritimur mengatakan, tujuan utama dari kegiatan ini adalah membangun komunikasi dan ikatan dengan orang meninggal agar mereka tidak merasa sendiri dan terlupakan. Hubungan tersebut merupakan relasi yang sangat intim, dibangun melalui perjumpaan di kuburan yang kemudian puncaknya perayaan ekaristi bersama di sana., perjumpaan ini ada anak-anak yang turut serta. Bagi keluarga, ini juga menjadi saat untuk mengajarkan anak-anak untuk mendoakan arwah orang meninggal, lewat doa ini, mereka diajarkan satu butir iman, bahwa ada kehidupan lain di balik kematian.
Di tengah arus konsumerisme dan materialisme ini, manusia membatasi pandangan hidup hanya pada kehidupan di dunia ini. Manusia melupakan kehidupan kekal. “Kematian adalah sebuah kepastian. Mendoakan arwah mengingatkan akan adanya horizon hidup kekal dan persiapan kita sendiri sejak di dunia ini, sekarang ini,” ujar Pastor Ambros.
Perbuatan Kasih
Masyarakat Toraja Sulawesi Selatan mengenal Rambu Solo sebagai upacara seputar kematian. Rambu Solo adalah upacara adat yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal dunia, kembali kepada keabadian.
Pastor Yans Sulo Paganna menjelaskan, upacara ini bertujuan selain mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam keabadian juga menjadi refleksi atas ketakberdayaan manusia di dunia. “Dengan tradisi ini orang merasa menyempurnakan kematian seseorang. Upacara ini berfungsi untuk menghantar arwah orang yang meninggal agar tidak meninggalkan kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan.”
Pastor yang bertugas di Paroki Hati Tak Bernoda Santa Perawan Maria Makale, Tanah Toraja ini melanjutkan, ada suatu pesan yang tak bisa dilepaskan dari ajaran Gereja soal kematian yang juga menjadi pegangan masyarakat Toraja. Yang menentukan ialah bahwa ajaran dan ritus doa itu berkaitan dengan seseorang yang telah mengalahkan kematian atau menang atas kematian. Iman Kristen menegaskan itulah Yesus Kristus yang bangkit.
Kristus adalah buah sulung kebangkitan. Maka, iman pada kebangkitan Kristus diteguhkan ulang setiap kali seseorang mendoakan para arwah. “Karena kita percaya bahwa para arwah akan menikmati juga kebangkitan karena pahala kematian dan kebangkitan Kristus yang kita mohonkan untuk mereka,” beber penulis buku Bisikan Suci Pasura ini.
Kematian dalam budaya Batak dimengerti dalam dua arti yaitu peristiwa duka (Tilaha) karena orang meninggal dan peristiwa kematian dilihat sebagai suasana sukacita. Sebagai duka secara umum semua orang meninggal di kala orang tuanya masih hidup (tilahon). Sementara peristiwa sukacita kala seorang yang meninggal dikala anaknya sudah menikah
semua dan suda selesai di dalam adat. Tidak ada keturunan yang meninggal mendahului dia.
Bila ditarik lebih jauh salah satu tradisi yang terus dipertahankan yaitu Mangokkai Holi yang berarti mengambil tulang-belulang dari leluhur mereka dari dalam kuburan. Kemudian tulang-tulang itu ditempatkan di dalam peti dan diletakkan dalam bangunan tugu khusus. Hampir Semua etnis Batak melaksanakan tradisi Mangokkal Holi, meski nama dari tradisi ini berbeda-beda tiap etnis, yaitu etnis Toba dan Simalungun menyebutnya Mangokkal Holi, pada etnis Karo disebut dengan Nampakken Tulan, serta etnis Pakpak mengenalnya tradisi Mengkurak Tulan.
Pastor Redemptus Simamora OFM Cap mengatakan, inti dari tradisi ini adalah ada usaha untuk mempertahankan garis keturunan marga, dan juga menunjukkan eksistensi dan taraf hidup keluarga yang melaksanakannya. Selain itu mereka percaya, dengan menempatkan leluhur di tugu adalah bukti bahwa para penerus dari leluhur tidak pernah lupa dengan nenek moyangnya. Begitu juga sebaliknya nenek leluhur dianggap menjadi pendoa bagi seluruh keturunannya.
Dalam konteks iman Kristen, lanjut pastor yang bertugas di Radio Maria Indonesia ini, ada pesan tertentu yang mau disampaikan bahwa kematian selalu dihubungkan dengan iman akan Kristus. Tentu dalam tradisi itu ada doa-doa yang diucapkan dalam acara adat. Mendoakan orang yang meninggal mengingatkan manusia pada ajaran iman yang diucapkan dalam doa Aku Percaya yaitu tentang “Persekutuan Para Kudus”. “Kita, Gereja yang berjuang atau musafir, tetap bersatu dengan saudari-saudara kita yang sedang menderita di Api Penyucian dan dengan para Kudus di surga. Kita sama-sama anggota Tubuh Mistik Kristus.”
Mendoakan arwah dalam tradisi Batak menunjukkan dimensi komuniter dari hidup Gereja dan kepedulian kita kepada anggota Gereja yang menderita di api penyucian. Pastor Redemptus menegaskan, kesadaran akan dimensi komuniter hidup Gereja akan membuat setiap orang tidak pernah merasa sendirian. Kesatuan dengan Gereja yang mulia akan memberikan rasa aman berhadapan dengan dunia yang tak kelihatan. “Kita percaya bahwa para kudus akan menjadi saudara dan sahabat yang membentengi dan membela kita. Persekutuan para kudus sudah kita alami di dunia ini. Ini juga dilambangkan dalam tradisitradisi menghormati arwah di setiap daerah khususnya Batak,” pungkasnya.
Tanda Terima Kasih
Pemahaman akan keluarga yang akan mendampingi hidup manusia juga menjadi dasar masyarakat Tionghoa mengadakan tradisi Qingming jie (清明节), dalam dialek Hokkian di indonesia disebut Ceng Beng, sembahyang kubur yang dilaksanakan setiap 5 April. Ceng Beng dilakukan perayaan ini dengan datang berziarah ke makam orangtua atau leluhur. Tujuan doa ini untuk membawa makanan, membersihkan kuburan dan bersembahyang.
Pastor Agustinus Lee CDD mengatakan, dalam tradisi ini pesan penghormatan kepada leluhur menjadi pengerat keluarga. Bila diberi bobot kekristenan, tradisi Ceng Beng memberi pengajaran bahwa para arwah yang kita doakan adalah pribadi yang tahu berterima kasih. Maka, jika mereka suda menikmati kebahagiaan surgawi, pastilah mereka juga akan mendoakan keluarga yang ditinggalkan. Karena itu, pastinya sesudah para arwah menyelesaikan semua hutang dosa di Api Penyucian, mereka juga akan mendoakan orang-orang yang telah berjasa membantu mereka mencapai kebahagiaan surga.
Dosen STFT Widya Sasana Malang ini menambahkan, kesalehan populis seperti ini harus memperhatikan beberapa hal. Ceng Beng bukan berarti menyembah arwah keluarga yang meninggal seakan-akan mereka adalah dewa. Sembayang kubur dilakukan hanya membersihkan kuburan, menghormati orang tua dan mengingat jasa-jasa mereka.
Peringatan Arwah Orang Beriman bukan pula kesempatan untuk praktik pemanggilan arwah. Bukan juga ada usaha dari keluarga untuk menerjemahkan mimpi yang berkaitan dengan orang mati. Bukan pula sebuah efek imaginer sehingga ketakutan itu mengkondisikan orang Kristen untuk bertindak secara rasional tanpa iman. Pastor Agustinus menjelaskan, peringatan arwah bukan sebuah paham reinkarnasi dan penolakan kepada kekekalan jiwa. “Umat Katolik hendaknya menjadi familiar dan tenang berhadapan dengan realitas kematian dan menentang segala bentuk pemikiran dan kegiatan yang tidak memiliki pengharapan dan iman pada Kristus yang wafat dan bangkit.”
Maka memang, mendoakan jiwa orang-orang yang sudah meninggal bagi orang Katolik merupakan salah satu perbuatan kasih. Tentu saja, tidak bisa memaksakan hal ini kepada mereka yang tidak percaya. Namun bagi orang Katolik yang percaya, betapa indahnya pengajaran ini. Orang Kristen disatukan oleh kasih Kristus: kita yang masih hidup dapat mendoakan jiwa-jiwa yang di Api Penyucian, dan jika kelak mereka sampai di surga, merekalah yang mendoakan kita agar juga sampai ke surga.
Yusti H. Wuarmanuk
Laporan : Willy Matrona
HIDUP NO.44 2018, 4 November 2018