HIDUPKATOLIK.com – Namanya Giuseppe Melchior Sarto. Sejak kecil hidupnya berkekurangan. Ia menapaki panggilan imamat hingga dipercaya menduduki Takhta St Petrus. Sebagai Paus, ia dikenal saleh dan banyak membarui Gereja.
Melchior Sarto lahir pada 2 Juni 1835 di Riese, Kerajaan Lombardi-Venesia yang masuk wilayah Kekaisaran Austria (kini wilayah Venesia, Italia). Selang sehari, putra kedua pasangan Giovanni Battista Sarto (1792-1852) dan Margherita Sanson (1813-1894) ini pun dibaptis dengan menyematkan nama Giuseppe ebagai pelindungnya.
Sarto merupakan anak kedua dari sepuluh bersaudara. Namun kakak sulungnya meninggal pada usia enam hari, dan adik bungsunya pun mengalami hal yang sama pada usia enam bulan. Tak jarang orang sering menyebutnya sebagai putra sulung dari delapan bersaudara.
Akrabi Kemiskinan
Sarto tumbuh dalam keluarga dengan ekonomi lemah. Sang ayah bekerja sebagai kurir dan tukang pos di Riese. Sejak muda hingga membangun biduk rumah tangga, ia harus membanting tulang untuk menghidupi istri dan delapan buah hatinya dengan upah sebagai kurir. Kemiskinan keluarga itu membuat Sarto dididik untuk bekerja keras.
Orangtuanya menanamkan praktik kesalehan kristiani yang begitu mendalam agar hidupnya bisa menjadi panutan bagi adik-adiknya. Meski berkekurangan secara finansial, keluarga Sarto justru memiliki tradisi kuat dalam hal iman akan Kristus.
Sarto punya habitus berdoa di depan patung Bunda Maria “Madonna delle Cendrole” di gereja parokinya. Ia mengaku, kenangan terindah masa kecilnya ialah kebersamaan dengan Bunda Maria dalam doa selama berjam-jam. Baginya, Bunda Maria ialah figur teladan penyerahan diri total pada kehendak Allah. Maka ia pun bertekad menyerahkan hidupnya demi kemuliaan Tuhan seperti Bunda Maria.
Sejak kecil, Sarto sudah akrab dengan hidup yang serba terbatas. Meski demikian, orangtuanya tetap memiliki perhatian besar pada pendidikan anak-anaknya. Sarto harus berjalan kaki sejauh enam kilometer setiap hari untuk bersekolah. Tak jarang, ia harus menjinjing sepatu agar tidak cepat rusak. Ia berjalan dengan telanjang kaki dan baru mengenakan sepatu satu-satunya ketika sampai di sekolah.
Berlimpah Talenta
Sejak sekolah dasar, Sarto dikenal begitu aktif dan cerdas. Kemampuan intelektualitasnya cemerlang. Menginjak usia remaja, hidupnya sudah menampakkan kesalehan kristiani warisan keluarga.
Pada usia 10 tahun, Sarto sudah terbiasa melayani sebagai putra altar di parokinya. Bahkan ia dipercaya menjadi ketua sebuah komunitas akolit di Riese. Dalam sekejap, nama anak kurir sederhana itu dikenal penduduk Riese. Keterlibatannya dalam kegiatan paroki membuahkan impian untuk menjadi imam. Apalagi pasca pengalaman menerima Komuni Pertama pada usia 12 tahun dan Sakramen Krisma pada 1 September 1848. Panggilan hidup selibat itu seolah kian bergema dalam hati.
Ia aktif di paroki, hingga Sarto dekat dengan Pastor Parokinya, Don Tito Fusarini and Don Luigi Orazio, yang membimbingnya untuk belajar doktrin kristiani dan Bahasa Latin. Hati sang pastor terpikat kecerdasannya. Sarto pun mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di Castelfranco.
Selama bersekolah, Sarto mendapat suntikan dana dari Don Luigi. Kedekatan dengan sang pastor kian menambah gairah untuk menapaki panggilan calon imam. Kebiasaan berdoa pada Bunda Maria terus ia bawa rajin mengunjungi patung Bunda Maria di Katedral dekat sekolahnya.
Rahmat Imamat
Kecerdasan Sarto akhirnya sampai di telinga Uskup Treviso, Mgr Giovanni Antonio Farina (1803-1888). Uskup yang kelak digelari Beato oleh Paus Johanes Paulus II pada 4 November 2001 ini, memberikan beasiswa pada Sarto untuk melanjutkan pendidikan di Seminari Tinggi Padua. Ia menyelesaikan studi sastra, filsafat dan teologi dengan gemilang.
Pada 27 Februari 1858, Sarto ditahbiskan sebagai diakon. Lalu Mgr Farina menahbiskannya sebagai imam Diosesan Treviso pada 18 September 1858. Tugas perdananya ialah menjadi pastor rekan di Paroki Tombolo (1858-1867). Di sela-sela tugas pastoral, ia secara khusus mendalami pemikiran St Thomas Aquinas dan Hukum Gereja.
Tahun 1867, Sarto didaulat menjadi Kepala Paroki Salzano (1867-1875). Ia bekerja keras untuk memperbarui Gereja lokal dan mengembangkan rumah sakit dengan mengumpulkan donasi sendiri. Awal 1870 an, namanya melambung akibat usaha dan kepeduliaannya yang besar untuk melawan wabah kolera yang melanda wilayah Italia Utara. Ia berpastoral di kalangan orang-orang sakit dan amat dekat dengan kaum papa.
Mgr Farina menugaskannya sebagai ahli Hukum Gereja di Treviso pada 1875. Lalu November 1875, posisi Rektor Seminari Tinggi Treviso diserahkan padanya. Ia juga menjadi Pembimbing Rohani bagi para seminaris selama sembilan tahun. Tahun 1879, ia diberi tanggung jawab dalam jajaran Dewan Imam Keuskupan, serta mengajar Teologi Dogmatik dan Moral di Seminari Tinggi Treviso.
Penerus St Petrus
Paus Leo XIII (1878-1903) menunjuk Sarto sebagai Uskup Mantova, Italia, pada 10 November 1884. Tahbisan uskup ia terima pada 16 November 1884. Lalu ia ditugaskan untuk menjadi Asisten Takhta Kepausan pada 19 Juni 1891.
Pada 12 Juni 1893, Paus Leo XIII menganugerahkan biretta merah dan memasukkannya dalam jajaran porporati, sebutan untuk para Kardinal karena memakai pakaian yang didominasi warna merah darah (porpora). Selang tiga hari, Sarto menerima gelar Kardinal-Imam San Bernardo alle Terme dan diangkat sebagai Patriakh Venesia. Sebagai Patriakh Venesia, ia amat dicintai dan disegani oleh kawanan domba gembalaannya. Ia dikenal sebagai Kardinal sederhana, rendah hati, dan dekat dengan kaum papa. Selama menggembalakan umat di Venesia, ia secara khusus memperhatikan bidang pendidikan, karya amal Gereja dan liturgi.
Tak disangka, keharuman namanya mengantar pada Takhta St Petrus. Kala Paus Leo XIII mangkat pada 20 Juli 1903, konklaf segera digelar sejak 31 Juli 1903. Pada putaran pemilihan ketujuh, 4 Agustus 1903, Kardinal Sarto dipilih sebagai Paus ke-257 dengan memilih nama Pius X dan mengambil motto “Instaurare Omnia in Christo” (1Kor. 15:28). Ia menduduki takhtanya pada 9 Agustus 1903. Pemilihan nama Pius ini dilatarbelakangi oleh kekaguman dan rasa hormatnya pada pendahulunya, Paus Pius IX (1846-1878).
Pembaru Gereja
Pius X dikenal sebagai Paus pembaru bidang liturgi, memberi contoh homili secara ringkas, jelas dan sederhana, menggalakkan lagu Gregorian, serta mendirikan Institut Kepausan untuk Musik Liturgi dan Kitab Suci. Ia juga merevisi Brevir (Ibadat Harian) dan Katekismus.
Pada masa kepausannya, umat dianjurkan untuk bisa menerima komuni dan membaca Kitab Suci setiap hari. Bahkan ia mempromulgasikan Dekrit tentang Penerimaan Komuni Pertama sejak usia 7 tahun yang sebelumnya pada usia 12 tahun. Itulah mengapa Pius X dijuluki “Paus Ekaristi”.
Selain itu, ia tergolong Paus yang melawan arus modernisme, yang salah satunya ingin mempertentangkan negara dan Gereja. Ia mereformasi Kuria Roma dan mendorong karya misi yang dilakukan oleh berbagai tarekat. Ia juga mengkodifikasi Hukum Gereja yang sudah ada secara sistematis.
Pada usia 78 tahun, Pius X mengalami serangan jantung yang tak tersembuhkan lagi. Selang setahun, pecah Perang Dunia I yang amat mempengaruhi kesehatannya. Akhirnya pada 20 Agustus 1914, ia wafat dalam situasi dunia yang bergejolak. Jenazahnya dimakamkan di bawah Kapel “The Presentation” di Basilika St Petrus Vatikan. Sebelum wafat, ia pernah mengatakan: “Aku lahir miskin; aku pun hidup miskin; dan aku ingin mati sebagai orang miskin.”
Paus Pius XII (1939-1958) menggelarinya Venerabilis pada 3 September 1950; dan Beato pada 3 Juni 1951. Paus yang sama akhirnya menjadikannya Santo pada 29 Mei 1954. Kanonisasi ini merupakan kanonisasi Paus yang pertama sejak kanonisasi Paus Pius V (1566-1572) pada abad XVII.
R.B.E. Agung Nugroho
HIDUP NO.05 2014, 2 Februari 2014