“Sudah lama kenal Sekar?”
“Dulu saya hanya sempat bertemu dia sekali di rumahnya. Saya ingin mengenal Sekar lebih dekat. Setelah saya tahu kalau almarhum Ibunya pengen dia jadi Biarawati, saya ga pernah bertemu lagi dengannya. Saya terus berusaha melupakannya. Tapi ga bisa. Sekarang saya senang, dia sudah memenuhi panggilan hidupnya menjadi Biarawati.”
“Sekar tidak menjadi Biarawati disini.”
“Maksud Suster?”
“Dia memilih hidup selibat tapi tetap menjadi awam. Hidupnya dia persembahkan untuk mendampingi para lansia yang ditinggalkan oleh keluarga mereka. Dulu saat masih jadi model di Indonesia, Sekar sangat sibuk dan tidak memiliki waktu untuk neneknya..”
“Di saat neneknya meninggal, Sekar bahkan tidak bisa berada disampingnya. Justru pada puncak karer modelnya di Milan, dia akhirnya sadar. Sebenarnya bukan kemewahan dan ketenaran yang dia dambakan. Tapi dia ingin merasakan kebersamaan dengan nenek yang selalu mengasihinya. Sayang, neneknya sudah tidak bisa bersamanya. Di sini, Sekar mendampingi para manula seperti dia mengasihi neneknya.”
“Meski dia tidak bisa memenuhi keinginan Ibunya tuk jadi Biarawati, tapi saya yakin, Ibu dan neneknya pasti bangga akan dia,” kataku yang diiyakan Sr Clara.
Aku kembali memandang Sekar dari kejauhan. Kukeluarkan dari dalam tasku, sketsa bunga bougenville yang dulu aku buat sembari menunggu dia di teras rumahnya.
Akankah aku beri sketsa ini dan ungkapkan perasaanku ke Sekar yang sudah lama aku pendam dalam hati? Atau aku akan membiarkan dia tetap mendampingi para manula menjalani senja kala hidup mereka agar “Bunga Bougenville” itu terus bisa mekar di jantung kota Brescia?
Victor Puguh Harsanto
Sikat bro..!