HIDUPKATOLIK.com – Di panti ini, anak-anak dilatih kreatif. Lewat aneka produk makanan, mereka diajak bermimpi.
Setiap akhir pekan, Pastor Antonius Effendi SCJ mengemudikan mobil pickup dari tempat ia berkarya di Panti Asuhan (PA) Santa Maria Pasang Surut, Sumatera Selatan menuju Palembang. Untuk tujuan ini, Pastor Pendi, begitu ia akrab disapa, harus menempuh sekitar 80 kilometer. Di Palembang, Pastor Pendi membeli kebutuhan sehari-hari bagi para penghuni panti, mulai dari sabun mandi, sayur-mayur, dan bumbu-bumbu dapur.
Di panti asuhan yang dikelola Kongregasi Hati Kudus Yesus (Congregatio Sacerdotum a Sacro Corde Jesu/SCJ) ini, anak-anak diajar mandiri. Mereka tidak hanya bergantung pada kemurahan hati para donatur, namun mereka juga berusaha kreatif menghasilkan aneka produk yang keuntungannya dimanfaatkan untuk kehidupan panti.
Aneka produk makanan dihasilkan anak-anak yang menghuni PA Santa Maria. Dengan cara ini, mereka berlatih bertanggungjawab terhadap kehidupan panti.
Latihan Kemandirian
Jiwa wirausaha yang dikembangkan PA Santa Maria bermula dari berjualan peyek dan kripik di Gereja Paroki St. Yoseph Palembang sebagai bentuk penggalangan dana untuk bangunan panti pada tahun 2016. Pastor Pendi mengingat, penjualan enam macam peyek dan kripik pada kali pertama itu menghasilkan Rp 10 juta. Sejak peristiwa itu, ia berpikir untuk melanjutkan usaha produksi makanan itu. “Kami produksi, berlatih dan bereksperimen bersama. Kami pelajari yang menarik bagi pasar di kota itu seperti apa,” katanya.
PA Santa Maria pun terus mencoba mengembangkan produksi panganan. Modal yang terkumpul kian banyak. Kini sudah ada 12 jenis makanan yang diproduksi, dikemas dengan apik dan diberi label “Sanma” akronim dari nama “Santa Maria”. Produk Sanma ini didistribusikan di gereja-gereja, kantinkantin rumah sakit, dan sekolah milik Suster Charitas. Panti juga memproduksi ikan asin. Untuk yang satu ini didistribusi bahkan sampai ke Jakarta.
Keberhasilan proses produksi panganan Sanma tak bisa dipisahkan dari semangat kreativitas yang tumbuh dalam diri anak-anaknya. Pastor Pendi mengisahkan, setelah lima hari aktivitas mereka dipenuhi dengan berdoa, belajar dan melaksanakan kerja piket harian, akhir pekan di PA Santa Maria dijadikan sebagai hari kreatif.
Setiap Sabtu dan Minggu, mereka dibagi dalam kelompok kecil. Ada yang di ruang kreatif, ada pula yang bereksperimen membuat olahan makanan dengan modal resep hasil googling. “Pokoknya masuk ruang kreatif, bahan dasar apa saja bisa mereka manfaatkan untuk menjadi aneka kerajinan, sesuai level anak-anak mereka. Sementara untuk makanan, mereka bereksperimen dari nol sampai tersajikan, lalu menjelaskan seluruh proses itu kepada teman-teman sebelum menyantapnya,” kata Pastor Pendi menjelaskan.
Hasil eksperiemen yang terbukti enak akan diproduksi massal dan dijual. Contoh produksi makanan hasil eksperiemen ini antara lain kripik buah naga dan aneka makanan basah. Aneka produk ini rutin dijajakan di Gereja Santo Yoseph Palembang sebulan sekali. Waktu ini juga menjadi kesempatan bagi anak panti untuk secara bergantian diajak ke kota.
“Yang ingin disasar adalah kreativitas dan semangat berwirausaha dalam diri anakanak,” ungkap Pastor Pendi.
Anak-anak Transmigran
PA Santa Maria berdiri sejak 1983. Pada masa itu, ada kebutuhan untuk melakukan pembinaan bagi umat Katolik di daerah pemukiman transmigran di Pasang Surut, Banyuasin. Di daerah itu Anakanak banyak yang tidak sekolah. Selain karena dari keluarga miskin, ada juga yang ditinggal orangtuanya merantau. Ada juga anak yang tidak punya bapak atau ibunya karena meninggal.
Pastor Petrus Abdi Putra Raharja SCJ memulai rintisan panti asuhan ini. Ia berusaha menjawab kebutuhan akan adanya wadah untuk mendidik anak-anak di daerah transmigran. Saat mulai berjalan, PA Santa Maria berada di bawah kelola Yayasan Pansos Bodronoyo. Baru pada 1 Maret 2003, pengelolaan panti asuhan ini diserahkan kepada Keuskupan Agung Palembang. Dari keuskupan, pengelolaan panti ini kemudian diserahkan kepada Kongregasi Hati Kudus Yesus (Congregatio Sacerdotum a Sacro Corde Jesu/SCJ).
Kini, PA Santa Maria mendampingi anak dari usia sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Untuk anak usia SMA, mereka dikirim ke beberapa sekolah di luar Pasang Surut. Beberapa lainnya kini sedang kuliah di Palembang. Mereka yang tinggal di PA Santa Maria hanya anak-anak usia SD, SMP, dan lulusan SMA. “Mereka yang telah lulus SMA kembali ke panti untuk pengabdian membantu adik-adiknya. Setelah setahun, beberapa kita kuliahkan,” ujar Pastor Pendi.
Untuk mengelola PA Santa Maria, Pastor Pendi juga dibantu Sr Redempta FCh. Total ada 86 anak yang saat ini didampingi. Sebagian besar anak datang dari keluarga yang tak mampu secara ekonomi. Ada juga yang berasal dari keluarga yang berkecukupan namun ingin anaknya mendapatkan pendidikan iman Katolik.
Berkesinambungan
Pastor Pendi menyadari tidak semua anak bisa kuliah karena keterbatasan dana. Itulah yang membuatnya ingin membangun jiwa wirausaha anak-anak sejak kecil. Prinsip dalam panti ini adalah kreativitas itu membahagiakan. Ia melihat, tidak mudah bagi anak-anak ini mempunyai mimpi yang tinggi. Untuk itu, ia mendorong anak-anak panti terus bermimpi tentang kehidupan yang lebih baik. “Saya ingin mereka berani bermimpi dan meyakini bahwa jarak antara impian dan kenyataan itu hanya tindakan.”
Mimpi ini dimulai dari hal yang sederhana. Pastor pendi mencontohkan, bahwa anak-anak pernah memiliki “mimpi touchscreen”. Ketika itum anak-anak yang baru lulus SMA ingin mempunyain smartphone. Dalam kurun waktu tiga bulan, sembilan anak yang sudah lulus SMA berusaha mendapatkan omzet penjualan makanan yang cukup banyak. Oleh karenanya, sebagian keuntungannya lalu digunakan untuk membeli smarthpone.
Kisah lain adalah “mimpi terbang” dalam enam bulan, di mana anak-anak ingin merasakan naik pesawat. Pastor Pendi menceritakan, cita-cita mereka saat itu ingin pergi ke Malang dan Surabaya. Untuk mencapai tujuan itu, setiap anak harus mengumpulkan minimal Rp 3 juta. Kerja keras mereka berbuah manis. Mereka ke Malang bahkan dapat bonus mampir ke Yogyakarta. “Mereka berjuang dengan jatuh bangun. Pagi harus membantu adik-adiknya, lalu sore membuat makanan,” kenang Pastor Pendi.
Ada mimpi lain di mana anak-anak yang masih mempunyai orang tua ingin membelikan kulkas atau TV. Dalam tiga bulan, mereka berhasi mewujudkan “frozen dream” tersebut. Kini mereka semakin berani bermimpi. Sejak September hingga Maret 2019, mereka bermimpi terbang ke Singapura atau Bali sebagai plan B. “Saya pikir mereka mau ke Malang seperti angkatan sebelumnya. Kalau Malang kan saya sudah tahu channel-nya jadi biayanya bisa lebih murah,” ujar Pastor Pendi.
Selain menanamkan semangat juang dalam diri anak-anak, Pastor Pendi juga ingin mengubah cara pandang masyarakat. Ia tidak ingin orang datang ke panti karena iba. Ia ingin, ketika mereka datang ke panti, mereka akan melihat anak-anak yang kreatif. “Saya ingin orang datang untuk melihat anak-anak yang penuh kreativitas dan impian ini, harapan dan masa depan Gereja dan masyarakat.”
Hermina Wulohering
HIDUP NO.43 2018, 28 Oktober 2018